007

Kana mengernyitkan dahinya, mempertajam pendengarannya.

Dia mendengar sebuah tangisan tak jauh dari tempatnya berdiri. Iya, meski Tuhan tidak memberinya kesempatan untuk melihat tetapi dia diberi anugerah dengan indra yang lain yang lebih peka.

Dia melangkahkan kakinya dengan hati-hati. Kana memang sengaja tak memakai tongkat agar dia tidak dikasihani orang lain.

Dia menggerakkan tangannya dan tak sengaja mengenai seseorang.

Orang yang merasakan sentuhan tangan Kana menghapus air matanya dan berbalik.

“Loh? Lo cewek yang kemaren gue serempet kan?” Tanya orang itu.

Kana tersenyum, dia mengenali suara itu.

“Iya, kamu ngapain disini?” Kana melangkah memutari bangku taman dan duduk disebelah Juan. Ya, dia adalah Juan.

“Cari angin.” Jawab Juan singkat.

Tiba-tiba tangan Kana terangkat meraih pipi Juan.

Jari lentiknya mengusap beberapa kali disana. “Bohong, kamu nangis kan?” Cercah Kana saat merasakan pipi Juan yang basah karena bekas air mata.

Juan mengerjap, menatap mata coklat milik Kana yang terlihat sangat indah meski dengan kekosongan yang terlihat disana.

Juan menghela napas, menurunkan tangan Kana.

“Eh maaf, aku ga bermaksud lancang.” Gadis itu menunduk bersalah.

“Gapapa, gue agak kaget aja. Baru kali ini gue ketauan nangis sama orang.”

Hati Kana mengenyuh. “Kamu ada masalah?”

Juan menggeleng. “Gapapa.”

Kana tersenyum, dia paham. Lelaki di sampingnya ini pasti tidak percaya untuk mengeluh kepada orang baru yang tiba-tiba saja bertanya perihal masalah yang dialaminya.

“Apapun itu, kamu pasti bisa lewatinnya. Percaya deh, akan selalu ada hikmah dibalik semua yang terjadi. Everything happens with a reason.” Ucap Kana dengan sebuah senyuman.

Setelah bertahun-tahun mama Juan pergi akhirnya dia melihat lagi sebuah senyuman tulus yang menenangkan hatinya.

“Ohiya, gue Juan. Juan Ivander.” Tangan Juan terulur.

“Aku Kanaya Belvana, panggil Kana aja.” Jawab Kanaya masih dengan senyuman di wajah cantiknya.

Juan memiringkan kepalanya, menarik tangannya yang tadi menunggu sambutan dari tangan gadis itu. Dia lagi-lagi lupa bahwa Kanaya tidak bisa melihat.

“Lo ngapain disini?”

“Aku emang sering kesini kalau sore, kamu nyerempet aku kemaren kan disini juga.” Kana terkekeh mengingat kejadian beberapa hari yang lalu.

Juan meringis. “Sorry.”

Kana tertawa. “Gapapa kok.”

Lagi, Juan terpaku melihat tawa Kanaya. Bagaimana bisa gadis itu bisa tersenyum dan tertawa tanpa beban bahkan saat keadaannya yang seperti sekarang?

Juan penasaran, pernahkah gadis itu mengeluh dan merasa lelah hingga rasanya ingin menyerah dengan kehidupan?

Apakah setiap malam Kana menangisi kehidupan tidak adil yang diberikan Tuhan kepadanya?

Juan merasa kecil di dekat gadis ini.

“Kamu ini, anak sekolah ya?” Tanya Kana.

Juan mengangguk dengan spontan. “I-iya, SMA.”

“Seru pasti ketemu orang sebaya kamu.”

Juan tersenyum. Engga juga.

“Eh udah hampir gelap, gue anterin balik ya?”

“Gapapa? Ga ngerepotin kan?”

“Engga.”

Kana kembali tersenyum. “Yaudah, makasih ya Juan.”