016

tw // violence

Juan mengetuk pintu ruang kerja papanya.

“Masuk.” Suara berat dari dalam membuat dirinya gemetar.

Apalagi saat ini penampilannya acak-acakan dan luka di bibirnya. Ah Travis brengsek

Juan masuk dengan ragu.

“Darimana kamu?” Tanya Papa nya dingin.

Juan tidak sanggup menjawab, lidahnya kelu. Bahkan dengan dia menjawab pun tidak akan merubah apa yang akan dia alami beberapa menit kemudian.

Juan hanya berlutut dan menatap lantai. Bersiap dengan segala kemungkinan yang ada.

“Kamu itu kalau ditanya ya jawab.” Bisa Juan tau rahang Papanya mengeras.

Juan menutup mata hingga lecutan dari ikat pinggang Papanya mengenai punggungnya.

Juan meringis, rasa perih datang begitu cepat secepat lecutan kedua.

Tubuh Juan tersentak karena lecutan ketiga menyusul dengan cepat.

Air matanya mulai menetes. Tangannya mengepal.

“Papa mati-matian nyari uang buat kamu sekolah biar masa depan kamu cerah tapi kamu malah gak becus! Emang anak ga berguna!”

Lecutan demi lecutan kembali terasa seiring dengan makian yang diberikan Papanya.

Rasa perih yang tadi dia rasakan di punggungnya berpindah ke dadanya.

Papanya sudah seringkali memaki dirinya namun mengapa hatinya masih sakit.

Bahkan punggungnya hanya terasa kebas, tak ada lagi rasa perih disana.

Tetapi dadanya sesak, tenggorokannya sakit karena menahan tangisannya agar tak terdengar.

Papanya menghela napas kasar. “Papa capek negur kamu, gada habisnya kamu berulah.”

Langkah kaki Papanya menjauh disertai bantingan pintu dan dengan waktu yang sama tubuh Juan menjadi lemas.

Tangisannya kemudian memenuhi ruang kerja ayahnya.