100% bad impression
Kava melangkahkan kakinya menyusuri garasi baru milik Suzuki yang akan dia tempati mulai saat ini. Matanya mengamati keadaan garasi mencoba menemukan ruang mekanik yang menyembunyikan calon motor yang akan dia gunakan.
“Katanya sih masih test drive ya.” Gumam lelaki berlesung pipi itu. Suara deru mesin terdengar membawa langkahnya menuju mini sirkuit tak jauh dari tempatnya berpijak.
Matanya fokus memperhatikan proses test drive motor yang dia yakini adalah miliknya. Sang mechanic designer yang dengan lihai mengelilingi mini sirkuit tersebut lalu kemudian laju motor tersebut melambat.
Sang mechanic designer memarkir motor tersebut di parking board lalu terlihat mencatat beberapa hal di lembar evaluasi.
Mechanic designer itu menatap ke arah Kava dan tangannya terangkat membuka helm yang dia gunakan. Helai demi helai rambut panjang bebas tepat saat helm itu lepas. Kava yang baru kali ini bertemu seorang mechanic designer perempuan memasang raut wajah yang tidak dapat diartikan namun perempuan itu yakin, tatapan itu tidak berarti baik.
Dia yang ditatap aneh balas menatap Kava tajam. “Lo siapa? Ngapain kesini?” Tanya perempuan itu sedikit tidak santai.
Ditanya dengan nada yang kurang enak, membuat Kava menghela napas kasar. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana lalu menatap perempuan itu dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Oh kalian udah ketemu?” Tanya Bang Aje yang telah tiba entah kapan memecah ketegangan diantara mereka berdua. Bang Aje menatap Kava dan perempuan itu bergantian lalu memutuskan untuk saling memperkenalkan kepada satu sama lain.
“Jadi, Kava, ini Aruna. Mechanic designer tim kita, dia anak magang tapi jangan diraguin skillnya bukan main.” Jelas Bang Aje lalu beralih menatap Aruna.
“Aruna, ini Kava, racer yang bakal lo urusin segala macam permesinannya mulai hari. Jadi, gue pengen kalian akur karena kita bakalan kerja sama dalam waktu yang lumayan lama. Inget, kepentingan tim diatas segalanya.”
“Yang bener aja bang, cewe?” Tanya Kava tidak yakin. Pertanyaan itu pastinya terdengar seperti sikap pandang enteng hanya karena dia perempuan.
“Gausah banyak ngomong, liat hasil aja.” Bukan Bang Aje melainkan Aruna yang menjawab Kava dengan nada sarkas membuat lelaki berlesung pipi itu mencibir.
“Better you did everything right, sampe nanti ada masalah terus lo bawa-bawa gender awas aja.” Sahut Kava.
Aruna tertawa. “Said the one who started to bring the gender matter on the table. Kocak lo.” Aruna hanya menatap Kava tidak suka lalu melenggang pergi.
Bang Aje menghela napas, kali ini bukan hanya Kava, tapi Aruna juga terlihat seperti orang yang sulit diberi tahu. Semoga saja dugaannya salah.
