106
Juan merogoh hp nya yang bergetar. Dia melihat nama Doni disana.
Doni yang sama yang selalu mengajaknya balapan saat masih di Indonesia.
“Yo?”
“Tugas kemaren, clear“
Mata Juan membulat sempurna, pasalnya dia tahu tugas apa yang Doni maksud.
Netranya meneliti bodyguard yang mengawasinya sembari berpikir kata apa yang akan dia ucapkan selanjutnya karena jika dia salah menjawab dan orang-orang papanya yang mengawasi hpnya mendeteksi itu maka rencananya akan gagal. “At your home?“
“Yep” Juan mengangguk.
“Saya mau kerjain project kampus di rumah Doni.” Pria berbadan besar itu mengangguk lalu mengikuti Juan yang sudah melajukan motornya.
Juan berlari memasuki rumah Doni. “Gimana?”
Doni mengangguk. “Ini.” Ucapnya memberikan hp nya kepada Juan.
“Beneran?”
“Iya, buru telfon.”
Juan menarik napas, jantungnya berdegup kencang.
Jarinya bergerak men-dial nomor itu. Tersambung.
Jarinya sibuk bergerak menunggu pemilik nomor itu mengangkat telfonnya.
“Halo?“
Juan menatap Doni senang.
Suara yang tidak pernah didengarnya setahun belakangan kini akhirnya terdengar oleh indranya lagi.
Juan serasa akan menangis dan berlari untuk pulang ke Indonesia sekarang namun itu adalah hal yang mustahil.
“Ini siapa?“
Ini Juan-nya Kana ucapnya dalam hati.
Iya, orang yang ditelfon itu adalah Kanaya.
Juan tahu pasti sekarang Kana sedang bingung karena Juan tidak mengucapkan apapun. Juan takut jika dia berbicara kepada Kana maka akan menempatkan gadis itu ke dalam keadaan yang bahaya.
Doni menatapnya dengan tatapan menuntut. Kenapa ga ngomong? Tanyanya tanpa suara dan Juan hanya menggeleng.
“Halo? Aku matiin aja ya?“
Satu
Dua
Tiga
Tutt terputus.
Juan terkekeh. “Nih, thank you ya?”
“Bego.” Umpat Doni. “Kok ga ngomong si?”
“Lo tau sendiri gue disini gimana, pasti bokap gue gabakalan tinggal diam kalo dia tau.”
Doni mendecak. “Apes bener idup lo Ju.”
Juan hanya tersenyum. Setidaknya suara Kana bisa mencerahkan hari-hari nya lagi.