127
“Pantesan chat gue ga dibaca.”
Mata Kana membulat sempurna, tubuhnya menegang. Dia tidak bermimpi kan? Dia kenal suara ini.
Suara yang dia rindukan setiap hari, suara yang menyimpan banyak kenangan, suara yang pemiliknya selalu ada dalam doa milik Kanaya.
Gadis itu berdiri perlahan, berbalik menatap ke asal suara.
Di dapatinya sebuah wajah yang tersenyum lebar, wajah yang selama 5 tahun ini hanya bisa ia pandangi melalui foto yang lelaki itu tinggalkan di akun twitternya.
Netranya meneteskan bulir-bulir bening. “J-juan?”
Pemilik nama yang ia panggil mengangguk senang. “Iya, ini Juan. Juannya Kana.”
Seketika kaki Kanaya terasa lemas. Dia memejamkan matanya, meyakinkan diri bahwa ini bukanlah sebuah mimpi.
Hingga sebuah tarikan membuatnya tersadar. Juan menarik dirinya kedalam rengkuhan lelaki itu. “Juan kangen banget sama Kana.”
Kalimat itu berhasil membuat Kana menangis haru. Dia melingkarkan tangannya membalas pelukan itu. Pelukan hangat yang sama seperti hari-hari dulu – lima tahun lalu.
“Kana juga kangen banget sama Juan.” Lirih gadis itu.
Juan mengerutkan dahinya, menatap Kana yang menangis.
Tangannya terulur mengusap pipi gadis itu. Netra mereka bertemu. Senyuman Juan tak luput dari tempatnya.
Akhirnya, waktu dimana Juan sangat merindukan keindahan tatapan mata dari Kana yang kosong kini terlihat semakin indah dengan bayangan dirinya disana.
Kini, tatapan itu tidak kosong lagi. Sudah ada kehidupan yang tergambar disana.
“Ayo.”
Kana mengernyit. “Kemana?”
“Inget whislist yang Juan buat dulu? Sekarang Juan bakalan nepatin janji.”
Juan menarik tangan gadis itu namun Kanaya tidak bergerak sedikitpun. “Kenapa?”
“Kamu apa ga capek?” Juan menggeleng.
“Engga, ayo.”
Kanaya tersenyum, berjalan sejajar dengan Juan serta menatap lelaki itu lekat adalah keinginannya sejak dulu.
Senyuman Juan yang selalu ingin dia lihat secara langsung akhirnya kini nampak oleh indranya.
Sore itu, kedua insan itu saling melepas rindu tanpa tahu seseorang telah menunggu.