144
Lengkungan yang muncul diwajah dua sejoli ini kian merekah tatkala mereka saling melemparkan candaan yang membuat keduanya tersenyum geli lalu tertawa.
Semakin hari, Juan dan Kana semakin dekat. Mereka lebih sering menghabiskan waktu bersama.
Hingga suara dari notifikasi hp Juan menginterupsi mereka.
Juan mengerutkan keningnya melihat pesan yang masuk.
Dia membalas seadanya lalu pesan berikutnya membuatnya merasa malas dan memutuskan untuk tidak membalas lagi.
“Kenapa?” Tanya gadis di depannya membuat Juan menggeleng lalu tersenyum lagi.
“Gapapa.”
“Kita naik kincir angin yuk?”
“Ayo.” Juan menarik tangan Kana dan berjalan menuju lokasi kincir angin yang tak jauh dari tempat mereka berada.
Namun hp Juan kembali berdering.
“Bentar.”
Juan menatap layar hp nya. Papa.
Juan mendecak. “Halo pa.”
“Temenin adel.” Dua kata itu membuat Juan memejamkan mata kesal.
“Pa gabisa, Juan lagi sama Kana.”
“Nurut sama Papa.” Ucap pria paruh baya itu datar lalu memutuskan sambungan telepon itu.
Kana menatap Juan. “Kamu harus pergi ya?”
Juan menatap netra gadis itu tak tega.
“Yaudah kita pulang aja.” Ucap gadis itu pelan.
“Kana, maaf.”
Kana menggeleng dia menarik tangan lelaki itu lalu mengusapnya pelan. “Jangan minta maaf. Juan gasalah, ayo pulang. Biar ga dimarahin Papa.”
Juan tersenyum. Gadis ini layaknya seorang malaikat dan akan selalu menjadi malaikat untuk dirinya.