— 45

“Baik Luna, sekarang lihat apa yang ada di depan kamu.” Titah Dokter Bian saat melakukan metode hipnoterapi untuk penyembuhan Luna yang sudah berjalan dua bulan lebih.

“Ayah..” Lirih Luna.

Riki menatap Dokter Bian yang mengangguk memberi jawaban bahwa tidak akan terjadi apa-apa.

“Ayah, ayah jangan kejar kucing nya ayah. Tolong stop.” Racau Luna, air matanya mulai mengalir.

Riki meraih tangannya, memberikan ketenangan untuk Luna.

Genggaman tangan Luna kian mengerat.

“Ayah.” Tangis Luna pecah.

“Luna, kamu harus kuat. Hadapi semuanya dan datangi Ayah kamu. Semuanya akan baik-baik saja, kamu harus ikhlas dan membiarkannya pergi dengan senyuman.”

“Ayah, Luna sayang ayah.” Ujar Luna bersamaan dengan melonggarnya genggaman tangannya pada Riki.

Dokter Bian tersenyum lalu menepuk pundak gadis itu.

Luna terbangun, dia mengusap jejak air mata di pipinya. Menatap Riki yang masih menggengam tangannya.

Dia tersenyum, menghaburkan diri kedalam pelukan lelaki itu.

Terdengar meongan seekor kucing yang dibawa Dokter Bian.

Luna menarik diri, menatap Riki ragu namun tatapan yang diberikan Riki adalah sebuah keyakinan.

“Lo pasti bisa.”

Luna menatap kucing cantik berbulu putih bersih itu, lalu meraihnya.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Tidak ada sesak napas, tidak ada kepanikan, tidak ada lagi bayangan yang muncul.

“Selamat Luna, kamu berhasil.”

Luna tersenyum senang, dia menatap Riki lalu beralih mengusap kucing itu dengan penuh kasih sayang sama seperti dimasa kecilnya dulu.

Did well Luna” Puji Riki sembari mengusap surai coklat milik gadis itu.