Andai saja
Mahen berlari mengejar seorang wanita yang berpakaian serba putih itu.
“Mama?”
Wanita itu berbalik saat tangan Mahen menyentuh bahunya.
Wanita yang dia sebut mama itu tersenyum.
“Ma? Mama mau kemana?”
“Sayang, mama udah gabisa ada disini. Disini bukan tempat mama.”
Mahen menggeleng. “Engga, ma tolong temenin Mahen ma.”
Wanita itu mengelus lembut kepala Mahen.
“Kamu sudah ada pengganti mama kan? Sana, kembali dan jaga dia, dia butuh kamu.”
Wanita itu berbalik dan berjalan menjauh tak menghiraukan panggilan Mahen.
“MAMA!” Mahen membuka matanya. Peluh membasahi sekujur tubuhnya membuat napasnya terengah.
Cuma mimpi.
Mahen menatap dirinya di cermin. Dia tampak kacau. Sepekan dia luntang-lantung mencoba mengembalikan kewarasannya namun nihil. Dia bahkan tak bisa lagi melihat sebuah cahaya yang akan menuntunnya keluar dari masalah ini.
Selama ini, gadis yang selalu menjadi bagian dari hari-harinya, gadis yang tanpa sengaja masuk ke dalam hatinya bahkan gadis yang sempat dia cium itu adalah adiknya.
Kenyataan macam apa ini? Pikir Mahen.
Suara berisik di kepalanya menuntun Mahen berandai-andai.
Andai saja hari itu dia tidak menolong Agatha dari sentuhan lelaki kurang ajar.
Andai saja Jaevan tidak memberi Agatha nomornya.
Andai saja dia tidak dalam keadaan terdesak yang mengharuskannya mengiyakan tawaran Agatha untuk menjadi bodyguard.
Mahen meninju tembok di sebelahnya yang tanpa sadar memberi memar di tangannya.
Dia mengingat satu nama, Hendra. Andai saja rivalnya itu tidak menjebaknya hari itu, maka dia tidak akan terjebak di kantor polisi dan akhirnya bertemu Agatha.
Mahen berdiri menyambar jaketnya lalu mengendarai motornya menuju ke suatu tempat.