tw // violence, harshwords

Elsa membuka pintu apartmentnya namun sebelum melangkahkan kakinya tangannya ditarik kencang memaksanya masuk ke dalam.

Dia di dorong kasar hingga terjatuh. Dia menatap orang itu nyalang.

“Ayah mau ngapain lagi sih?!” Suara gadis itu meninggi namun tetap ada getaran rasa takut disana.

“Bagi ayah uang Elsa!”

Elsa menggeleng, mencoba berdiri menatap ayahnya berani.

“Engga! Ayah kira aku bank pribadi ayah? Aku kuliah aja hasil kerja keras aku ngejar scholarship kenapa aku harus repot-repot ngasih ke ayah?”

Ayahnya menatap dia dengan dahi berkerut. “Anak kurang ajar!”

Plak

Pertemuan telapak tangan ayahnya dengan pipi mulus milim Elsa menghasilkan suara yang cukup nyaring di apartment Elsa yang tidak terlalu besar.

Mata Elsa memanas, dia mencoba menahan diri agar air matanya tidak menetes. Setidaknya, ayahnya bisa melihat bahwa dia bukan lagi gadis kecil yang akan merengek minta ampun saat ayahnya mulai bermain tangan.

“Ayah mending pergi atau aku telfon polisi.” Ancam Elsa.

Dia meraih hapenya, mencari sebuah kontak namun tiba-tiba ayahnya merampas benda pipih itu darinya.

Menatap nama yang tertera disana lalu menyeringai.

“Kamu pasti bohong soal scholarship kan? Kamu pasti ngejual diri kamu sama temen kamu yang laki-laki biar dapat uang? Anak ibu sama aja.” Tuduh ayah Elsa melempar hape milik Elsa ke sembarang tempat.

“Kamu memang anak ga berguna! Sudah tidur sama berapa laki-laki kamu hah?!” Ayah Elsa tertawa yang membuat hati Elsa nyeri, sangat menyakitkan mendengar kata-kata itu dari mulut ayah kandungnya sendiri.

Air mata yang sedari tadi ia tahan di pelupuk mata akhirnya turun tanpa permisi.

Dia menatap ayahnya dengan tatapan penuh luka. “Ayah mending pergi.” Suruhnya datar.

“Dasar anak sombong! Uang hasil jual diri aja bangga.”

Elsa tidak kuat lagi mendengar kata-kata itu. Dia mendorong ayahnya sekuat tenaga.

“AYAH PERGI!”

Namun, seorang gadis hanyalah seorang gadis. Ayahnya justru kembali menghardiknya keras dan memberikan tamparan yang membuat pipinya memanas.

Anehnya rasa sakit di pipinya tidak sebanding dengan benda tak kasat mata yang menusuk di dadanya.

Ya, benda itu adalah kalimat yang dikatakan ayahnya beberapa menit yang lalu.

Dia terduduk, menangis dengan pilu. Mengeluarkan semua sesak yang dia tahan sejak tadi.

Elsa menatap ayahnya yang berjalan menjauh.

Tertatih menutup pintu apartmentnya, menyandarkan diri disana.

Memikirkan hal yang sangat menyakitkan.

Menangisi nasibnya yang sangat malang. Dia terbiasa membaca novel dimana pemeran utamanya juga memiliki masalah yang serius di keluarganya namun dia bisa menemukan seseorang yang menerima segala kekurangan serta tangisannya. Namun, novel tetaplah novel. Sebuah cerita fiksi yang hanya terjadi dalam sebuah angan dan imajinasi.

Elsa memeluk lututnya sendiri, sisi lain dari dirinya mencoba menguatkan diri meski sangat sulit.