Deeptalk

Di malam yang gelap, Rara duduk termenung memeluk kedua kakinya di ujung koridor kampus.

Tanpa dia sadari seseorang telah berdiri di sampingnya entah sejak kapan.

“Gue boleh duduk disini ga?” Tanya nya hati-hati.

Cahaya mendongak, menatap pemilik suara. Jeno.

Gadis itu mengusap bekas air matanya lalu mengangguk.

“Kenapa dihapus? Gue tau kok lo lagi nangis. Nangis aja gapapa, gue temenin.”

“Gue capek banget Jen. Orang tua gue, pergi. Ninggalin gue. Gue sendirian disini, gatau mau kemana. Harus ngapain. Gue udah berusaha yang terbaik tapi gue gabisa. Gue capek banget.” Jelas Rara yang menjelaskan segalanya entah dorongan dari mana.

“Wajar kok capek. Tapi tolong, abis itu semangat lagi. Gue tau lo orang yang kuat kok, gue ada disini temenin lo. Lo ga sendirian.”

Rara tersenyum. “Iya, gue tau kok. Gue cuma capek aja, pengen ngeluarin semuanya.”

Jeno memandang langit gelap tanpa ada satupun bintang. “Ra? Pernah denger kata-kata jangan pernah takut buat berusaha meskipun lo berada di titik tergelap?”

Gadis itu menggeleng menatap Jeno lekat.

“Katanya meskipun lo ada di titik itu dan bisa bertahan maka lo adalah orang hebat. Cahaya bakalan keliatan kalo lagi gelap kan?”

Rara mengangguk.

“Percaya atau engga, dalam kegelapan itu bakalan ada orang yang bakalan jadi cahaya buat lo. Nuntun lo biar bisa kuat lewatin kegelapan sampai lo ketemu cahaya yang sebenernya.”

“Gue cuma takut Jen, cahaya itu gabakal dateng. Lo tau keadaan keluarga gue gimana kan? Gue ragu, ada orang yang bisa nerima semua itu. Nerima keadaan gue, nerima masalah gue. Gue jadi ngerasa ga layak buat siapapun.”

Jeno meraih tangan Rara dan mengenggamnya lembut. “Ra. Gue Ra. Gue disini, gue udah bilang gue bakalan ada buat nemenin lo.”

Rara menatap Jeno terharu.

“Gue bakalan jadi cahaya buat hari-hari gelap lo, jadi penyemangat disaat lo ngerasa capek, gue bakalan pinjemin bahu gue buat lo pas lagi nangis.” Ucap Jeno mencoba meyakinkan gadis itu.

Namun perasaan tidak pantas itu masih memenuhi hatinya. Orang sebaik Jeno tidak seharusnya bersama dengan dirinya.

“Engga Jen, gue gapunya apa-apa. Jangan buang waktu ko buat jadi cahaya gue. Lo- mmpphh.” Mata Rara membola saat Jeno tiba-tiba membungkamnya.

Ya, membungkamnya dengan bibir Jeno.

Bibir itu masih menempel pada miliknya membuat jantung Rara berdetak lebih kencang.

Dia tidak tahu harus melakukan apa.

Sedangkan Jeno? Karena tidak menerima perlawanan dari gadis itu, dia menarik tangan Rara agar gadis itu mendekat. Tangannya beralih dari menggenggam tangan gadis itu menjadi menahan tengkuk Rara dan mulai memagut bibir gadis itu.

Rara masih terdiam, ini pertama kali baginya. Dia hanya memejamkan matanya erat.

Pagutan mereka hanya berjalan satu pihak hingga akhirnya Jeno menarik diri.

Mata Rara terbuka, menahan napas karena Jeno masih ada kurang dari 10 cm di depannya.

Ibu jari Jeno beralih menyentuh bibir Rara yang basah.

“Lo kenapa diem? Lo marah?”

Rara menggeleng pelan. “Gue.. cuma gatau harus ngapain.” Ucapnya ragu.

Lelaki itu tersenyum, menuntun tangan Rara ke lehernya dan kembali mencium Rara.

Jeno menggigit bibir bagian bawah Rara membuat gadis itu memekik dalam pagutannya dan berhasil membuat lidahnya lolos mengabsen disana.

Rara yang terbawa suasana mengalungkan satu tangannya ke leher Jeno dan mencoba membalas ciuman itu.

Di sela-sela pagutan mereka Jeno tersenyum senang.

Ciuman Jeno beralih ke rahang Rara, mengecup dan menghisap meninggalkan tanda kebiruan disana.

Mata Rara kembali terbuka karena terkejut sehingga tanpa sadar dia mendorong Jeno lalu berlari menjauh.

“Ra? Kok kabur?”

“Bodo.”

“Raaa tungguin gueeee.”

“Ga dengerrrr.”