how if in another universe

image

Kava tersenyum menatap surai panjang yang tertiup angin. Sosok itu menatap derai ombak yang memerah karena bersatu dengan langit dan mengantar mentari menuju peristirahatannya. Sungguh sebuah nyaman dalam banyak kacau.

“Kava, sini.” Ditariknya tangan Kava membawa jemari mereka saling bertaut.

“At least there is a moment in my life that don't make me worried and its because i am here with you, Aruna.” Lesung pipi Aruna terlihat kala senyumannya mengembang.

Aruna menatap Kava tepat di matanya. “Same thing goes to me, Kava.”

Wajah Kava memerah membuat memalingkan pandangan. Mereka mengenang memori demi memori yang telah terpatri dalam angan sejak hari dimana mereka mengenal satu sama lain.

Salah dan benar, gundah dan gelisah, canda dan tawa, sedih dan bahagia, amarah dan kecewa membentuk jalinan yang kuat. “Lo inget pas hari dimana kita berantem hebat?” Pertanyaan Aruna sontak membuat Kava kembali menatapnya.

Dahi Kava berkerut, prakarsanya berkelana mencari potongan yang dia sadari telah memudar. “Sehebat apa Run? Kok gue ga inget?” Aruna menghela napas. Perempuan itu berdiri menghadap Kava dengan tangan terlipat di depan dadanya.

“Parah banget masa ga inget.” Aruna menatapnya bingung namun ekspresi Kava yang tidak kalah bingung membuat dia akhirnya menyadari bahwa memori itu luput dari angan Kava.

“At my first ever birthday party, we celebrate it. Lo nyiapin semuanya bareng temen-temen lo but ended up, i fucked it up just due to my ego. I am sorry, gue gapernah minta maaf buat hal itu so i decide i will apologize for it today. Since today's feel so amazing.” Raut wajah Aruna sedikit tidak yakin karena takut rasa kesal Kava hari itu kembali menimbulkan perdebatan diantara mereka, lagi.

Namun, anehnya Kava terus mencoba mengembalikan ingatan itu tetapi nihil. Dia merasa hal seperti itu tidak pernah terjadi dalam hidupnya. “Run, wait but i didn't remember any stuff related to that one. Sumpah.”

Reaksi Kava membuat Aruna menatapnya heran. “Kok bisa ya?”

Lelaki itu menggeleng tidak mengerti. Entah apa yang terjadi, rasanya seperti ada hal yang salah. “Just tell me about that day. I want to know.” Perempuan itu menatap Kava penuh ragu.

“I won't mad, I promise.” Kava mendudukkan dirinya diatas pasir pantai yang putih menarik lembut lengan Aruna yang ikut duduk disampingnya. “Abis itu gimana ceritanya?”

Kava menopang dagunya sambil menatap Aruna yang mulai bercerita.“So after that, we argue. I hate that part but still I have to tell. Gue ngomong banyak hal yang seharusnya ga pernah keluar dari mulut gue. Gue nyakitin lo banget malam itu. I don't even ask an explanation, I just blame you. I am out of control then yes you leave. Temen lo juga. Abis itu gue dapet telfon lo kecelakaan.” Bulir air mata Aruna mulai menetes lantas Kava panik setengah mati. Tangannya terulur mengusap air mata Aruna saat sebuah dentuman keras terasa menimbulkan pening yang hebat.

Sebuah kilatan memori melesat seperti angin masuk dengan paksa ke kepalanya. Aruna sontak panik dan memanggil nama Kava berulang kali.

Bayangan saat dirinya terlempar setelah body motornya terhantam truk. Rasanya waktu bergulir begitu cepat dan dia sudah terhempas ke badan jalan. Samar-samar dia dengar orang-orang mulai berkumpul dan kesadarannya mulai hilang.

Kava tersentak, badannya penuh peluh. Nafasnya memburu. Mimpi itu lagi, pikirnya. Kejadian enam tahun lalu, masih menjadi mimpi yang mengganggu. Kacaunya semakin parah, nyamannya lenyap. Kava hidup dalam ruangan tanpa celah, ruangan yang tidak mengizinkan setitik cahaya pun masuk menyinarinya. Andai saja, hari itu dia tidak marah. Andai saja, pertengkaran itu tidak pernah terjadi. Andai saja, dia tidak mencoba melangkah masuk ke dalam zona Aruna terlalu jauh. Rasa sesal yang menusuk dadanya tidak akan pernah bebas dan akan memberikan sengsara yang tiada duanya.