In a Fitting Room
“Jihoon!”
Pria yang merasa dipanggil itu menoleh ke arah wanita yang sedang berlari menghampirinya di bawah deras hujan. Tangannya terangkat untuk mengelus rambut itu lembut, “Kamu bisa minta aku buat jemput ke dalam, loh.”
Caca menggeleng, “Di dalam ada temenku. Itu loh yang pernah nanya-nanya kamu ke aku. Masa dia bilang kalo kamu itu cocok jadi Kakak-ku? Kan lucu.”
Kini Jihoon tertawa, kemudian merengkuh bahu sempit Caca untuk ikut masuk ke dalam payungnya. Mereka berdua melangkah masuk ke dalam mobil, dengan Jihoon yang tentu saja lebih dulu memastikan kekasihnya duduk dengan nyaman. Setelahnya, baru pria itu mengitari mobil untuk masuk ke kursi pengemudi.
“Kamu udah pilih gown-nya? Warna apa jadinya?” tanya Jihoon, mengendarai mobilnya untuk segera sampai ke Mall di pusat kota. Pria itu melirik untuk menatap Caca yang sibuk dengan ponselnya lewat ekor mata. Helaan nafas terdengar setelahnya, tangannya lagi-lagi terangkat untuk mengambil alih ponsel Caca. “Aku lagi ngomong sama kamu.”
“Astaga, Jihoon!” Caca berusaha mengambil lagi alih ponselnya yang diletakkan di atas dashboard oleh Jihoon. Wanita itu hapal betul kalau Jihoon bukan tipikal orang yang suka dicuekin. “Ini aku lagi cari gambar gown yang aku lihat di web mereka, sabar sebentar bisa enggak?”
Walaupun kata teman-temannya Jihoon adalah pria yang sangat galak, tapi di depan Caca Jihoon bukan pria yang semacam itu. Bahkan, untuk dibentak sedikit pun ia sudah merasa takut dengan Caca. Aneh, tapi itu dia Park Jihion. Sekarang pria itu diam, hanya fokus pada jalan Jakarta yang diguyur hujan. Sedangkan wanita di sampingnya kembali sibuk dengan ponsel, sengaja.
“Kamu ikut turun enggak?” tanya Caca ketika Jihoon sudah dengan sempurna memarkirkan mobilnya di basement Mall.
Jihoon hanya mengangguk, kemudian ikut keluar mobil dan melangkah jauh di belakang Caca. Sesekali pria itu menunduk takut, takut sekali kalau Sesilia akan diam padanya selama satu minggu seperti kejadian dua bulan lalu. Masalahnya hanya karena Jihoon kembali ikut balap liar lagi bersama teman-temannya. Padahal, berkali-kali Caca sudah jelaskan bahwa pertunangan mereka tinggal dua bulan lagi dan itu artinya Jihoon harus bisa menjaga diri
“Ji, sini!”
Jihoon berjalan mendekat ke arah Caca dan satu customer service yang sedang menjelaskan detail gown berwarna biru langit—warna kesukaan Caca. Pria itu hanya mengangguk-angguk saja.
“Suka, kan, Ji?” tanya Caca, masih dengan senyum yang terangkat penuh. Bisa-bisanya wanita itu tersenyum, padahal Jihoon sedang tersiksa karena kejadian di mobil tadi.
Jihoon hanya mengangguk, “Iya sayang. Punyaku yang mana?”
Satu pekerja di butik itu berjalan untuk mengambil pasangan gown Caca, dengan warna senada. “Di sana ada fitting room, boleh dicoba dulu. Semua ukuran sudah disesuaikan sama pesanan, kalau ada kekurangan bisa complaint secepatnya. Untuk Mbak Caca, mau dibantu pakai gown-nya atau enggak perlu?”
“Enggak perlu deh, Mbak. Lagian ini gown juga kaya long dress doang jadi enggak begitu susah.” balas Caca sambil mengangkat gown biru itu dengan senyumnya.
Pekerja itu tersenyum ramah, “Baik. Nanti kalau Mbak Caca sama Mas Jihoon ada yang ingin dibantu, panggil kita aja.”
Jihoon dan Caca mengangguk, kemudian berjalan ke arah fitting room di sudut ruangan. Hanya ada satu fitting room yang kosong. Itu artinya Jihoon dan Caca harus bergantian.
“Kamu dulu sayang.” kata Caca, ia berjalan menjauh untuk duduk di kursi sambil menunggu Jihoon selesai.
Jihoon menoleh, tatapannya mengikuti pergerakan Caca. “Kamu aja duluan.”
“Ji?” Sesilia menatap heran pria itu.
Jihoon melangkah, berdiri tepat di hadapan Caca. “Kalau kamu enggak mau duluan, kita masuk barengan.”
Caca menatap ruang persegi itu (fitting room) bergantian dengan Jihoon yang sekarang juga menatapnya dingin. Bulu kuduk gadis itu meremang, kemudian lanjut berdiri dan jalan masuk ke dalam fitting room
Tangan Caca terangkat untuk mengunci pintu, kemudian meletakkan gown di gantungan yang telah disediakan. Dia menghela, tidak ada tempat untuk menyampirkan hand bag-nya. Tanpa basa-basi Caca membuka pintunya sedikit untuk memanggil Jihoon—sekedar ingin menitipkan tas pada pria itu.
“Ji! Jihoon?”
Jihoon mengalihkan pandangan dari layar ponselnya, kemudian berjalan ke arah ruang persegi itu. “Kenapa?”
“Nitip—” Kalimat Caca terhenti ketika Jihoon menerbos masuk ke dalam fitting room. Gadis itu tidak bergeming bahkan di saat Jihoon menggantungkan sepasang pakaiannya di gantungan.
“Aku mau lihat kamu pakai gown” ucap pria itu kelewat santai, bahkan disaat Caca sudah menatapnya penuh telisik.
Caca menghela, “Aku nanti juga ke—”
“Jangan berisik, ruang sebelah ada orang. Cepet ganti baju sayang.”
Biasanya, Caca adalah orang yang selalu menang di setiap perdebatan mereka. Bukan hanya karena Caca egois, tapi karena Jihoon yang selalu mengalah dan menuruti apapun kemauan Caca. Begitu terus selama enam tahun hubungan mereka, tidak pernah satu kali pun Jihoon mengeluh walau ia harus selalu meredam egonya. Tapi hari ini, Jihoon sangat tidak ingin dibantah. Jihoon mau ia adalah orang pertama yang melihat Caca menggunakan gown untuk pertunangan mereka.
Netra kecokelatan Jihoon terus menatap ke arah cermin di depan sana, menunjukkan Caca yang mulai membuka kaus hitamnya. Nafas pria itu terengah, telapak tangannya sudah mulai basah. Pandangannya beralih ke mana-mana, namun sekarang berlabuh ke bokong tubuh bagian belakang kekasihnya.
Sebelum Caca mengambil gown-nya untuk dipakai, Jihoon sudah lebih dulu melingkarkan tangannya di pinggang perempuan itu. Caca menatap Jihoon yang sudah meletakkan kepala di pundak perempuan itu, dengan bibir yang sudah mulai mengecup lehernya penuh gairah.
“Jihoon ah stop..” Caca berusaha menghindari kecupan-kecupan Jihoon, tangannya terangkat untuk melepaskan lingkaran di pinggangnya.
Mata Jihoon menatap cermin, “Main di sini sebentar, gimana? Tantangan baru, kan sayang?”
Sebelum mendapat jawaban, tangan Jihoon bisa dengan mudah masuk ke celana dalam Caca, bermain-main sambil sesekali menyentuh klitoris perempuan itu. Mata Jihoon tidak pernah lepas dari setiap ekspresi Caca dari cermin. Pelan-pelan tangan kirinya yang bebas bergerak untuk melebarkan paha Caca agar memberi ruang untuk jarinya lebih bebas. Sedangkan bibir pria itu tidak pernah berhenti mengecup bahkan mengulum leher Caca tanpa meninggalkan jejak.
“Ji... Jihoon aahh...” Caca menggenggam erat kaus hitam milik Jihoon erat, menyalurkan rasa gelinya di sana.
Jihoon berbisik, “Jangan kenceng-kenceng, ruang sebelah ada orang.” Bersamaan dengan kalimatnya, jari tengah pria itu sudah masuk dengan sempurna ke dalam vagina Caca.
Sedang Caca memundurkan tubuhnya, bersandar penuh ke arah Jihoon karena kakinya perlahan melemas. Satu menjadi dua, dua menjadi tiga. Tiga jari Jihoon sudah sepenuhnya masuk ke salam vagina Caca, pria itu mengaduknya secara acak yang membuat Caca mendongakkan kepalanya dengan wajah yang memerah.
“Ssssh Jihoon..” Caca mulai membekap mulutnya, untuk meredam suara sendiri. “Ben-bentar, jangan tig—ashhhhh!”
Jihoon menambah kecepatan gerakan jarinya di dalam sana, sampai akhirnya berhenti sebentar ketika ada yang mengetuk pintu itu pelan.
“Mbak Caca, ada yang bisa saya bantu?”
Caca membulatkan matanya, ia menatap Jihoon yang menggeleng kecil. Wanita itu berdeham sebelum akhirnya, “Eng-enggak, Mbak. Ini sebentar lagi—sssh sele—sshai kok!”
“Ah, Okay. Mas Jihoon kemana, ya? Ini ruang sebelah sudah kosong, mungkin Mas Jihoon mau coba.”
Caca menatap Jihoon kesal lewat cermin ketika tiga jari pria itu bergerak secara brutal lagi. “Enggak tau, Mbak. Ini... it—uh, di toilet kayaknya.”
“Yasudah, saya tinggal lagi ya Mbak Caca.”
Caca hanya mengangguk, kembali menjatuhkan kepalanya di perpotongan leher Jihoon. Wanita itu mendongak ketika gelombang yang sedari tadi ia tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Pahanya terasa ngilu bersamaan dengan kemaluannya yang berkedut.
“A-ahh!” Tubuh Caca lemas, makin bersandar ke arah Jihoon yang sekarang sudah melepaskan ketiga jari itu setelah Caca sampai pada puncaknya.
“Buka dulu celana dalamnya.” bisik Jihoon, menurunkan celana dalam berwarna merah yang senada dengan bra Caca, kemudian ia juga menurunkan jeans yang dikenakan. Perlahan tangan Jihoon bergerak untuk mengangkat satu kaki Caca untuk naik ke atas bangku kecil di dekat cermin.
“Sayang, geraknya pelan-pelan aja biar kerasa.” Caca menyukai bagaimana ia menahan setiap pelepasannya, terlebih saat Jihoon bergerak perlahan yang membuat birahinya semakin naik ke atas puncak.
Jihoon tersenyum, menatap kekasihnya dari pantulan cermin. Pria itu tau betul kalau Caca selalu suka kalau vaginanya menyempit dan menahan pelepasan. “Tapi desahannya tahan dulu, ya Ca? Nanti ketahuan.”
Wanita itu mengangguk setuju, matanya tidak pernah lepas dari pergerakan Jihoon yang sedang menuntun penis besarnya. Pertama, Jihoon hanya menggosokan penis itu di antara bibir vagina Caca, mempermainkan wanitanya yang sudah bersuhu panas.
“Ji... i— hate y-youhmp!” Protes Caca terhenti ketika Jihoon dengan tiba-tiba meraup bibirnya. Seiring dengan pergerakan penis Jihoon —yang sengaja— tidak masuk ke dalam vagina Caca, pria itu justru menarik puting payudara Caca dengan gemas.
Jihoon melepaskan pagutannya, kemudian lagi-lagi menatap ekspresi Caca di cermin. Kekasihnya mendongak dengan bibir yang sedikit terbuka, menahan desahan dan tersiksa sendirian. Lagi-lagi Jihoon harus berbisik, “Aku masukin, ya?”
Tidak ada jawaban, maka Jihoon tidak bergerak. Hal itu justru membuat tangan Caca bergerak sendiri untuk meraih penis Jihoon dan memasukkan benda besar nan panjang itu ke dalam vaginanya. “Jihoon ahh, kok— besar banget—ah!” Tanpa sadar berteriak kecil, karena tiba-tiba Jihoon mendorong pinggulnya sampai penis pria itu masuk ke vagina Caca dengan sempurna.
“Ohhh.” Akhirnya Caca mendengar desahan berat yang sedari tadi ia harapkan lagi, ia menggigit bibir bawahnya sendiri saat Jihoon menunjukkan ekspresi panasnya di cermin. “Aku gerak, hold your moan.”
Setelah itu, Jihoon benar-benar bergerak secara perlahan sesuai dengan permintaan Caca sebelumnya. Tangan kanan Jihoon beralih untuk mengocok klitoris Caca agar perempuan itu merasakan kenikmatan yang tiada tara. Jihoon tidak pernah mau kalau Caca kecewa setiap mereka melakukan sex, itu sebabnya ia sebisa mungkin membuat kekasihnya merasa puas.
“Ah, a-hh, Jihoon- Sayang...” Caca merasakan vaginanya ditusuk-tusuk dengan penis kekar itu, tangannya meremas kuat kaus milik Jihoon. Wanita itu menengadah, menatap Jihoon yang terlihat lebih tampan dengan peluh yang mengalir di dahinya.
Sedang Jihoon menunduk, sebelah sudut bibirnya terangkat ketika melihat Caca yang tersiksa menahan desahannya sendiri. Kemudian wajahnya didekatkan, melumat bibir wanitanya lembut—lidahnya berjelajah masuk ke dalam bibir itu. Setelah beberapa menit, Jihoon merasakan vagina Caca yang semakin berkedut.
“F-faster, Ji ah!” Caca berbisik, membuat Jihoon semakin menambah tempo gerakannya. Tatapan pria itu tidak pernah lepas, ia suka melihat Caca tersiksa atas kendalinya.
Kaki Caca sudah mulai gemetar, ia hampir menangis karena tidak dapat menyalurkan kenikmatan lewat desahan sedari tadi. “D—di dalem aj—ah, ahh, Jihoon sayang.”
Jihoon mengangguk, kemudian menyemprotkan spermanya sesaat setelah Caca sampai pada puncak rasa nikmat itu. Wanita itu squirt yang membuat cermin di hadapannya ikut basah seperti pangkal pahanya.
“Ahhhhh.” Nafas Caca terengah, ia merasakan hangat di dalam vaginanya—tapi penis besar milik Jihoon masih ada di dalamnya. “Ji, udah. Keluarin—jangan main-main!”
Jihoon terkekeh saat melihat mata Caca yang membola karena ia mulai bergerak perlahan lagi. Tapi beberapa detik ia langsung mengeluarkan penisnya dari dalam sana, “Thank you, sayang.”
Caca mengangguk, kemudian kembali berdiri untuk segera memakai dalamannya yang sudah berserakan kemana-mana namun tertahan eh Jihoon.
“Foto dulu biar ada kenang-kenangan kalau kita make out di fitting room and you look so sexy with your horny face“
Tangan kekar Jihoon memegang dua payudaranya dan dengan malas Caca mengeluarkan handpone nya dan berpose panas bersama lelakinya.
Caca berdiri mendorong Jihoon. “Sana, keluar. Nanti mereka bingung kamu enggak balik-balik dari kamar mandi.”
Jihoon terkekeh, Caca si pemarah yang lucu sudah kembali lagi. “Okay. Tapi di Apart nanti lanjut, ya?”
“Jihoon!”
