kepikiran

Kava termenung duduk di bangku kecil di samping motor yang nantinya akan menjadi teman balapannya. Motor yang beberapa menit yang lalu ingin dia rombak agar spesifikasinya cocok untuk latihan moto2. Agar dia semakin gigih dan bisa mencapai motogp dengan cepat. Hanya itu. Apakah salah? Kenapa Aruna bahkan Dirga tidak bisa melihat ambisinya? Toh ini juga demi nama tim, bukan hanya dirinya sendiri. Dia tidak merasa bersikap egois, tapi kenapa mereka mengatakan demikian? Apa kali ini bahkan tim engineer akan meninggalkannya?

Lelaki berlesung pipi itu menenggelamkan kepalanya kedalam lipatan tangannya. Ada banyak hal yang memenuhi kepalanya sehingga membuatnya pusing.

Tiba-tiba sebuah tangan memegang bahunya, Kava mengangkat kepalanya menatap sang Tuan.

“Dirga?”

Dirga hanya tersenyum, dia mengambil tempat disamping lelaki itu. “Kenapa? Kepikiran yang tadi?” Tanya Dirga.

Kava hanya diam, tak berniat menjawab. Melihat respon Kava, Dirga hanya menghela napas.

“Kav, i know you have a huge ambition, tapi untuk meraih ambisi itu lo gabisa sendirian. Lo butuh orang-orang yang bisa mendukung lo entah itu secara emosional atau material. Hal itu nyata, Kav. Let's say, you are the racer and i am the engineer. Mungkin kita cuma kenal sebatas itu, tapi dengan keberadaan masing-masing kita bisa sama-sama raih apa yang mau kita raih. Dunia ini berjalan seperti hukum sebab-akibat Kav.” Jelas Dirga. Dia kembali menoleh namun Kava terlihat seperti tak terganggu akan perkatannya. Dirga tersenyum.

Point gue adalah, semua orang punya hak dan kewajiban masing-masing. Kita gabisa cuma nuntut hak terus tapi kewajiban ga dilakuin. Hak lo adalah dapet motor yang lo mau tapi sebelum itu lo harus inget, kewajiban lo adalah berdiskusi sama engineer dan nemuin solusinya bareng-bareng, bukan memaksakan keinginan lo. Karena tanpa engineer jangankan motogp, lo bahkan gabisa nginjek sirkuit kecil Kav. Good luck.” Dirga berdiri dan menghilang dari sana. Meninggalkan Kava yang tanpa kata, memutar tiap ucapan yang dia ucapkan.