Mcd Pettarani
Aruna menghela napasnya panjang saat sosok yang harus berboncengan dengannya hari ini sudah terlihat. Dia bersandar pada motor merahnya sembari meliuk-liukkan kepalanya sangat jelas tengah menanti seseorang.
Bang Aje pasti udah ngasih tau pikir Aruna. Dia berhenti tepat di depan lelaki jangkung berjaket denim itu. Aruna menaikkan kaca helmnya menatap Kava malas.
“Naik buru!” Suruh Aruna, namun Kava hanya diam tak menghiraukan dirinya. Aruna mengerutkan kening. “Lo budeg apa gimana? Naik!” Aruna sedikit menaikkan suaranya, takut yang ditemani bicara memang memiliki gangguan pendengaran. Namun, sang Tuan tetap tak bergeming memaksa Aruna memarkirkan motornya dan turun untuk memukul kepala Kava.
Kava meringis. “Lo gila?” Akhirnya dia merespon.
“Lo yang gila! Gue udah kepanasan nyuruh lo naik malah diem aja, nanti telat tau ga!” Balas Aruna ketus, sungguh, kesabarannya sudah bagai lava yang siap untuk meledak.
“Emang ngapain si lo kesini?” Tanya Kava bingung. Ya, dia memang bingung. Yang dia tahu, dia menunggu bang Aje, bukan perempuan kasar ini. Lagipula, dimana juga bang Aje itu, kenapa belum sampai-sampai.
“Ya Allah Ya Rabbi, eh denger ya! Gue juga ogah pick up lo, apalagi gue cuma bawa motor yakali boncengan sama orang macam lo najis banget sumpah. Kalo bukan Bang Aje yang minta tolong, gabakal gue buang-buang waktu muter jauh banget kesini.” Jelas Aruna meledak-ledak.
Kava tertegun, ternyata bukan Bang Aje yang akan menjemputnya tapi perempuan ketus yang Kava bahkan lupa namanya siapa. Tangannya dengan cepat menggulirkan layar hp dan menelpon bang Aje.
Halo? Udah ketemu Aruna? Jawab Bang Aje diseberang sana.
“Yaelah bang, kenapa ga Abang aja sih?”
Ya gimana Kav, gue udah di garasi. Gaenak mau pergi lagi. Udah lo bareng Aruna aja ya, gue tunggu.
“Bang?” Kava mendecak kala Bang Aje memutuskan sambungan telfon secara sepihak.
Aruna yang melihat tingkah menyebalkan Kava memutuskan untuk pergi.
“Yaudah, lo tunggu aja Bang Aje, gue cabut.”
Baru saja Aruna menyalakan mesin motornya, Kava menahan gagang spion Aruna dengan ekspresi yang aneh.
Tanpa bicara, Aruna hanya menatap Kava kesal.
“Gue ikut lo.” Ucap Kava terpaksa.
“Yaudah buru naik, gue kepanasan!” Protes Aruna. Namun, lelaki itu tak kunjung naik. Aruna kembali menatapnya bingung. “Lo beneran budeg ya? Naik!”
“Gue yang bawa motornya.” Kava mencoba menarik Aruna turun dari motornya namun Aruna juga bersikeras untuk tetap mengemudikan motor itu.
“Ga! Gue aja, kan motor gue.” Tegas Aruna.
“Yaelah, gue aja. Yakali gue cowok dibonceng sama cewek?”
Aruna menatap Kava heran. “Lo tuh emang suka banget ya bawa-bawa gender matter in every convo?”
“Lo mau telat ga? Anak magang kalau telat kata gue mampus si, gue mah aman soalnya racer tetap. Kalaupun ga di Suzuki, banyak kok yang pengen nerima gue. Lah lo? Kalo gagal magang kan nilainya anjlok.” Jawab Kava enteng. Memang benar kan? Jika Kava keluar dari Suzuki karena terlambat pun, masih banyak tim pabrikan yang dengan senang hati akan menerimanya sedangkan perempuan itu? Dia harus kembali ke kampus dengan laporan yang tidak selesai.
Aruna terlihat memejamkan matanya, Kava yakin, perempuan itu tengah berusaha setengah mati meredam amarahnya.
Aruna akhirnya menyerah dan turun dari motor, memberi kuasa penuh kepada sang pembalap yang sedang naik daun itu mengemudikan motornya. Hanya satu yang perempuan itu harap, semoga dia selamat sampai tujuan.