obrolan panjang

Dinda tersenyum kikuk saat menyadari dia menyebutkan nama panjangnya. UNTUK APA?

Dengan langkah yang tertatih, Zaki langsung duduk di sampingnya. Situasi ini juga tak kalah canggungnya bagi Zaki, dia akhirnya memaki Naufal di grup WA mereka. Jika saja Naufal bilang dari awal, dia akan mengganti baju agar terlihat lebih rapi. Tapi gue cakep sih, mau gimanapun pikirnya. Jadi yasudah gas aja.

“Eh namanya tadi Adinda Zara ya?” Tanya Zaki membuat pandangan Dinda beralih dari HP ke arahnya membuat lelaki itu sedikit terbatuk. Sekilas melirik Naufal dan Reyhan yang tertawa kearahnya meski sedang ngobrol dengan anggota Karang Taruna lain yang baru saja tiba.

Dinda mengangguk kecil, memperbaiki duduknya yang terlihat begitu canggung. Mungkin karena warung semangka dipenuhi beberapa lelaki.

Zaki mencoba mengajak Dinda mengobrol agar dia merasa nyaman. “Kalo gitu gue panggil Zara aja gapapa?” Pertanyaan itu sontak membuat Dinda mengangkat kedua alisnya. Baru pertama kali seseorang memanggilnya Zara.

Dinda pun mengangguk setuju. “Boleh kok.”

Sontak Zaki tersenyum. “Biar pas kan ya Zaki-Zara.”

“Hah?” Zaki menggeleng cepat saat Dinda menunjukkan ekspresi heran. Takut ilfill.

“Gapapa-gapapa.” Zaki menggaruk lehernya. Harus tanya apalagi biar mereka bisa ngobrol banyak?

“Eh kemaren nonton turnamen kan Zar?”

“Iya nonton kok. Lo nyetak gol kan?” Tanya Dinda membuat Zaki merutuki dirinya mengingat selebrasi yang dia lakukan.

Lelaki itu mengangguk sebagai jawaban. Dinda tersenyum lalu menunjukkan jempolnya. “Keren, meskipun sedikit cedera tapi tetep bisa nyetak gol.” Puji Dinda sambil melihat pergelangan kaki Zaki yang dibalut penyangga.

Zaki tertawa kecil. GADIBAHAS YA ALLAH SYUKUR DEH.

“Iya, ini aja abis dari desa sebelah buat di kompres.”

Dinda mengerutkan keningnya. “Kok jauh banget kompresnya sampe ke desa sebelah?”

Zaki kembali tertawa. “Ya gapapa, bareng sama temen gue soalnya. Kan berdua lebih baik daripada sendiri.”

Jawaban Zaki sontak membuat Dinda tertawa. Cheesy, pikirnya.

“Lo dari mana emang Zar? Abis dari jalan apa gimana? Kok bisa disini? Sama Naufal lagi.”

“Dari rumah pak Desa tadi, laporan cat buat batas dusun kan kebetulan abis. Jadi gue sama Jojo-” Dinda menatap Zaki sebentar dan melanjutkan perkataannya. “Maksudnya, temen gue ke pakde deh tapi ternyata cucu pakde langsung nempel gamau turun pas gue gendong. Jadi ya gitu, mau nyamperin temen gue pas lewat langsung dipanggil sama Naufal, sama pak Adi juga jadi mampir deh.” Jelas Dinda.

Jadi sebenarnya yang tadinya akan diantar oleh Zaki tuh Dinda juga? Jodoh dah kayanya, pikir Zaki. Mau bagaimana pun, dia tetap akan ketemu Dinda hari ini.

“Gitu ya.” Zaki mengangguk. “Jadi yang disuruh anter sama pakde tadi ternyata lo?”

Mata Dinda membulat sempurna. “Hah?”

“Iya tadi pakde WA gue suruh anterin anak KKN balik gitu karena ditahan sama Citra katanya.” Zaki tersenyum akan fakta ini.

“Ternyata anak bungsu pakde itu, lo?” Tanya Dinda tidak percaya.

Zaki mengangguk. “Ya iya? Kenapa emang?”

Perempuan itu menggeleng cepat. “Gapapa.”

Jadi tadi mau dijodohin sama Zaki?, batin Dinda.

“Lo ada hambatan ga Zar persiapan proker?” Tanya Zaki membuat lamunan Dinda buyar. Perempuan itu sontak menggeleng.

“Gada kok Ki, aman deh. Nanti kalo misal butuh bantuan gue bakal kabarin Naufal kok buat minta tolong.” Jelas Dinda yang langsung direspon gelengan kepala oleh Zaki.

“Mending minta tolong sama gue Zar, lebih cepet. WA gue free kok, gabayar.” Dinda tertawa mendengar perkataan Zaki.

Dinda pun menyodorkan hp nya kepada lelaki itu. “Yaudah nih mana WA lo.”

Lelaki itu langsung tersenyum lebar dan mengetikkan nomor WA nya disana. Tak lupa menekan fitur telfon untuk memastikan dia juga punya WA Dinda.

Obrolan mereka berlangsung begitu lama dan mereka menjadi semakin akrab seiring obrolan itu diselingi dengan tawa.

Ketika sadar langit sudah jingga tanda senja telah tiba. Dinda sedikit kelabakan. Mengobrol dengan Zaki membuatnya lupa waktu. Teman-temannya pasti sudah menunggu dirinya. Terlebih lagi, waktu makan malam sudah dekat dan dia belum menyiapkan apa-apa.

“Eh Ki, gue balik ya kalo gitu? Udah magrib, mau masak.” Dinda bergegas berdiri namun langit jingga yang indah menghentikan langkahnya untuk mengabadikan pemandangan indah itu.

“Dindaaa ya ampun lo lama banget.” Seru Juli yang tiba-tiba sampai dengan mengendarai motor yang dipinjamkan Pakde. Semua mata akhirnya menatap mereka berdua.

“Pantesan lo lama, lagi ngapel?” Ejek Juli dengan suara kecil takut Zaki mendengar. Dinda membulatkan matanya tak percaya Juli mengatakan itu.

“Apaan sih, engga.”

“Halo semua, maaf ya gue bawa Dinda dulu gada yang masak soalnya udah pada laper. Gue Juli btw, bendaharanya Dinda.” Juli turun dari motor dengan cepat lalu menjabat tangan mereka satu-satu.

Setelah itu mereka berdua pergi meninggalkan warung semangka meninggalkan Zaki dengan senyum lebar.