rumah pohon
cw // mentioning of kiss
Agatha menghela napas, dadanya bergemuruh sejak tadi karena menahan emosinya agar tidak meledak.
Hingga saat pintu rumah pohon itu diketuk.
“Masuk aja, ga dikunci.”
Sebuah sosok muncul dari balik pintu. Sosok itu tertatih menatap Agatha pilu.
Tatapan Agatha terpaku pada sudut bibirnya yang sobek.
“Mahen.”
Lelaki itu tetap terdiam dan berhenti di depan Agatha.
Nafasnya tersengal. Dia akhirnya bisa melihat gadis itu.
Tanpa tunggu lama, Mahen menarik Agatha ke dalam pelukannya.
“Mahen.”
“Diem. Gausah bantah.” Ucapnya dingin dan menusuk.
Namun, entah kenapa mendengar itu membuat air mata Agatha mengalir.
Mahen menutup matanya, tangisan ini adalah tangisan paling pilu yang pernah dia dengar dari seorang Agatha.
Malam itu, Mahen akhirnya sadar bahwa ada perasaan yang timbul di dalam dirinya untuk gadis itu.
“Maafin Jaevan, harusnya lo tau semuanya secara baik-baik. Ga kayak gini.”
Agatha menggeleng di dada bidang milik Mahen. “Bukan salah siapa-siapa, jangan dipukul anaknya. Lagian apa bedanya sih? Sama-sama nyakitin.”
Jelas gadis itu menarik diri dan menatap Mahen lekat.
“From now on, rely on me Tata.“
Agatha tersenyum. “Already did it, Sir.“
Mahen mengangkat tangannya mengusap bekas air mata di pipi Agatha.
Dia menatap manik indah milik gadis itu seakan tenggelam di dalamnya.
Tatapannya turun ke bibir gadis itu. Bibir manis milik Agatha yang telah dia cium sebanyak dua kali.
Dia mengusap bibir Agatha dengan ibu jarinya.
Mahen kembali menatap mata Agatha menurunkan tangannya dan memegang tengkuk gadis itu.
Agatha menatap luka sobek di sudut bibir Mahen, dia menyentuhnya membuat lelaki itu meringis.
Gadis itu tersenyum.
“Ta.”
“Hm.”
“Pengen belajar berantem ga?”
Agatha memasang ekspresi bingung.
“Katanya tongue is the strongest muscle in human's body. Wanna fight?” Tanyanya menatap bibir kecil milik gadis itu, kata 'iya' atau bahkan anggukan kecil darinya dan Mahen akan kembali merasakan betapa manisnya bibir milik Agatha.
Namun, Agatha menginjak kakinya sehingga dia melepas pelukan mereka.
“Gue capek, mau tidur.” Ucap gadis itu dan langsung mengambil posisi dibatas matras yang sudah ada disana.
Mahen menghela napas, dia duduk bersandar di dinding kayu menatap Agatha.
“Lo ga tidur?”
“Tidur bareng?”
Agatha mendecak. “Dah sana gausah tidur sekalian.”
Mahen terkekeh, dia mengamati wajah tenang milik gadis yang entah sejak kapan mengisi hatinya itu.
Harus Mahen akui, dia memang jatuh hati pada gadis ini.