What actually happens

tw // violence

Zeva melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah hingga netranya menatap Ayahnya yang lagi-lagi berbuat ulah.

Neneknya menangis karena lelaki itu menghancurkan semua barang yang ada dirumahnya.

Zeva mengalihkan pandangan dan mendapati adiknya yang duduk memeluk kedua kakinya di sudut ruang tamu.

Zeva menarik napas berat, menahan air matanya agar tidak menetes.

“Oh sudah pulang rupanya anak ini.” Kata Ayahnya.

Zeva membuka mata, menatap ayahnya dengan tatapan yang tak bisa diartikan.

“Kenapa kamu natap saya kayak gitu? Sudah merasa hebat hah? Jangan sombong, kamu tidak akan hidup kalau bukan karena saya. Siapa yang membesarkan kamu?” Ayahnya menepuk dadanya dengan bangga.

Zeva tertawa. “Apa? Siapa yang ngebesarin aku? Jangan pernah berani ayah nyebut diri ayah sebagai orang yang ngebesarin aku karena ayah gapernah ngelakuin itu.”

Ayahnya mengeraskan rahang. “Berani kamu ngomong itu sama saya.”

Plak

Sebuah tamparan mengenai pipinya.

Dengan langkah tertatih, Nenek Zeva mendekat memeluk Zeva melindungi dirinya agar ayahnya itu tidak mengangkat tangannya lagi.

“Pukul yah, pukul aja terus.”

“Anak kurang ajar!” Ayahnya maju memukul dirinya bahkan sampai menghardik nenek Zeva yang notabenenya adalah ibunya sendiri agar tidak menghalanginya memukul gadis itu.

Zeva menahan tangisan menatap adiknya untuk memperingatkan dia agar tidak mendekat.

Zeva selalu menerima pukulan itu untuk melindungi nenek dan adiknya.

“Sudah, sudah ibu mohon sudah. Jangan pukuli cucu ibu lagi.” Nenek Zeva menarik ayahnya menjauh dari gadis yang sudah berantakan itu.

Ayah Zeva mundur lalu berjalan menjauh. “Makanya, ibu ajar cucu ibu itu biar ga jadi anak durhaka.”

Zeva mengangkat kepalanya menatap lelaki itu dengan sorotan kebencian. “Anak bisa disebut durhaka kalau dia kurang ajar sama orang tua yang bener-bener bersikap layaknya orang tua. Kurang ajar sama orang tua macam ayah itu bukan durhaka namanya tapi- argh.”

Sebelum menyelesaikan kalimatnya, Ayah Zeva kembali menendang punggungnya.

“Kamu memang pantas diperlakukan seperti ini.” Ucapnya lalu memasuki kamarnya.

Nenek serta adiknya menangis memeluk dirinya. Zeva berusaha sekuat tenaga menahan tangisannya.

“Nenek sama Jae udah makan?”

Zeva menerima anggukan sebagai jawaban. “Yaudah sekarang tidur ya? Nanti Zeva yang bakalan beresin ini.”

Zeva meringis saat menggerakkan lengannya. Pasti memar lagi pikirnya.

Dia berusaha sebisanya mengantar nenek serta adiknya menuju kamar.

Dia menghela napas berat menarik kaosnya keatas melihat pantulan dirinya di cermin kamarnya.

Sebuah tanda yang sudah mulai membiru menyelimuti sebagian punggungnya.

Tiba-tiba sebuah pesan masuk mengalihkan perhatiannya.

Dia tersenyum dari Kiel.

Zeva mengetikkan balasan dari pesan Kiel yang semakin lama semakin aneh hingga saat dia berjalan menuju jendela dia melihat anak itu disana menatapnya dengan tatapan sendu.

Dia sudah tahu.