yang mana?
Aruna menghela napas saat matanya menangkap sosok wanita yang melahirkannya. “Mama ngapain sih kesini?” Tanya Aruna malas, sebenarnya dia sudah paham betul alasan mamanya menemui dirinya.
Mama Aruna menyalakan pemantik lalu membakar sebatang rokok yang entah sudah yang keberapa. “Bagi mama duit dong.” Sejak 3 tahun terakhir, mamanya menggunakan dirinya sebagai atm berjalan. Kejadian fatal yang menghancurkan hidupnya membuat wanita yang Aruna panggil mama itu menjadi tidak terkontrol. Kelakuan kedua orangnya tuanya akhirnya memaksa Aruna untuk berjuang sendirian.
“Gada, mama kira aku pabrik uang?” Jawaban Aruna malah mendapat hembusan asap rokok tepat di wajahnya. Aruna hanya memejamkan mata mencoba menahan emosi.
“Pelit banget sih sama mama Run? Mentang-mentang udah sukses malah lupa sama orang tua.” Senjata mama Aruna adalah kalimat seperti itu. Dia heran, bagaimana bisa mamanya berubah 180 derajat menjadi orang yang tidak pernah Aruna ingat sebagai mamanya. Sebelum peristiwa menyedihkan itu terjadi, mamanya bukanlah sosok seperti ini.
Aruna menghela napasnya. Dia sudah ada di ambang kesabarannya. “Ma, sampai kapan sih kayak gini? Mama ga capek? Aku capek ma.”
“Kamu pikir mama ga capek? Mama kayak gini biar mama bisa lupa Run sama semua masalah yang ada. Kamu enak, bisa kuliah, bisa magang di tempat bagus, dapet duit. Sedangkan mama? Mama luntang lantung Aruna!” Nada bicara mama Aruna meninggi membuat putri semata-wayangnya itu semakin lelah menghadapi mamanya. Apalagi ini dilingkungan tempat dia harus bekerja. Apa jadinya jika ada orang yang mendengarkan? Aruna tidak bisa membayangkan jika hal itu benar terjadi.
“Enak mama bilang? Enak dari mana ma? Hidup aku berhenti 3 tahun lalu ma! Pas mama mutusin buat ninggalin rumah dan papa punya istri baru yang aku bahkan gatau kapan mereka nikah! Kalian milih jalan hidup masing-masing tanpa pernah mikirin aku kedepannya gimana. Mama sama papa pernah mikir ga sih dampaknya ke aku gimana? Aku hancur ma! Hancur! Tapi apa? Aku bahkan berjuang biar ga kelihatan menyedihkan nyalahin takdir kayak mama!” Saat itu juga, pipi kiri Aruna memanas akibat telapak tangannya mamanya yang mendarat disana begitu cepat. Aruna mencoba mengatur napasnya, menahan diri agar tangisnya tidak pecah.
“Dasar anak gatau diuntung! Kalau mama tahu kamu bakal kayak gini, gaakan mama lahirin kamu dulu. Ini nih, hasil didikan papamu yang ga bermoral. Anaknya ikutan ga bermoral.” Mama Aruna mendecih lalu melenggang pergi meninggalkan Aruna dengan perasaan kacau.
Dengan kepala tertunduk Aruna melangkah menuju toilet. Dia mematut dirinya di depan cermin. Bisa dia lihat pantulan dirinya yang terlihat sangat menyedihkan dengan pipi yang memerah. Aruna tertawa lega, setidaknya dia tidak menangis kali ini. Entahlah, antara semakin kuat atau sudah tahan banting, Aruna sendiri tidak tahu ada di bagian yang mana dirinya saat ini.