declipsee

• archetype

Kini Aksara dan Caca berada di taman. Setelah beberapa paksaan, akhirnya Aksara menyetujui ajakan Caca untuk jalan-jalan.

“Gimana rasanya? Beda kan sama ngapel di apart?”

Aksara mengangguk, memang ada sensasi baru yang ia rasakan.

“Lagian gue sering kesel tau kalo di ledekin Jean. Masa katanya 'ngapel kok di apart, ga modal banget' gue kan pen mukul.” Aksara menghela napas berat saat mendengar nama Jean.

Setiap kali bersama Caca, nama Jean juga tak pernah absen memasuki indra pendengarannya.

Caca menggandeng tangan Aksara namun sedikit di tepis oleh lelaki itu.

“Kenapasih?”

“Ada anak-anak Ca, malu diliatin.”

Demi Tuhan, Caca tidak mengerti dengan cara pikir Aksara yang seperti ini.

“Emang kenapa? Kan cuma gandengan doang?”

“Engga semua bisa dipamerin Ca.”

Lagi. Caca dongkol.

Dia ini sebenernya pacar atau barang koleksi doang? Barang koleksi aja dipamerin kok.

Tiba-tiba seseorang datang dengan senyum di wajahnya.

“Aksara? Lo bener Aksara kan?” Ucap gadis itu antusias.

“Iya.”

“Gue Riana Sa, kita dulu se SMA.”

Aksara terlihat berpikir sejenak. “Oh wakil ketos?” Gadis bernama Riana itu mengangguk semangat.

“Dih riang banget.” Gumam Caca.

“Lo apa kabar?”

“Baik Ri, lo sendiri?” Dan masih banyak obrolan lagi.

Saking asiknya, Aksara bahkan lupa jika dia sudah berjalan lebih dulu bersama Riana.

“Gue ngerasa jadi selingkuhan anjing.” Caca mendecak.

“Halo? Jemput dong, taman biasa. Oke.” Caca duduk di kursi taman menunggu orang yang baru saja dia hubungi. Siapa lagi kalau bukan Jean?

Aksara? Sudahlah, dia mungkin lupa kalau punya pacar.

Klakson mobil Jean terlalu bising sampai Aksara tersadar, Caca tak ada disampingnya.

“Balik yuk.” Ajak Caca kepada Jean.

Aksara sedikit berlari menghampiri keduanya.

“Loh mau pulang?”

Caca tak menjawab, hanya mengangguk.

“Yaudah sama gue aja.”

Caca lelah, sampai kapan laki-laki ini akan sadar?

“Gausah, gue sama Jean aja. Lo sana gih, temenin.wakil.ketos.lo.” ucap Caca dengan penekanan.

Jean hanya menggeleng saat matanya bertemu dengan milik Aksara yang menatapnya dengan tatapan yang Jean tidak tahu artinya.

• Archetype

Caca tersenyum melihat sosok yang sudah tiga hari tak nampak di depan matanya.

“Yuk masuk.”

“Peluk dulu, kangen.” Gadis itu tersenyum, menghambur ke dalam pelukan Aksara.

“Aksaaa kangen banget, lo sombong banget sih akhir-akhir ini.” Ucap Caca mendongakkan kepalanya agar bisa melihat Aksara.

“Ya emang lo ga bosen apa ketemu gue mulu?”

Kening Caca mengkerut. “Kenapa harus bosen? Kita kan pacaran? Gue kan mau ngabisin waktu sama lo.”

“Caa, pacaran tuh ga selamanya harus sama-sama terus. Kayak perangko aja.”

Caca langsung melepas pelukannya. Berjalan menuju sofa dengan perasaan sedikit (?) dongkol.

Aksara, lelaki yang sudah setahun lebih menjadi pacarnya adalah lelaki yang sangat santai, apa-apa gamau dibawa ribet. Definisi pacaran baginya sangat berbeda dengan pandangan Caca terhadap apa yang harus dilakukan orang yang sedang berpacaran.

Lelaki itu bahkan jarang mengajaknya jalan-jalan. Satu tahun mereka hanya pergi dan pulang bareng terus apel ke apart Caca. Hanya itu. Bahkan dengan kepribadian Caca yang sangat supel dan friendly ke semua orang tidak membuat Aksara sedikitpun merasa cemburu. Ya emang bagus sih, tapi hal itu membuat Caca berpikir Aksara tidak benar-benar menyayanginya. Aksara juga bukan tipe bucin dan sangat susah diajak deep talk padahal bagi Caca yang sering overthinking hal itu sangat penting.

“Tadi katanya mau ngomong.”

“Ohiya, Ca bisa ga lo agak... gimana ya ngomongnya..” Aksara menatap Caca ragu.

“Sedikit ngurangin intensitas kedeketan lo sama Jean?”

Caca mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa emang?”

“Ya gapapa, kan lo pacar gue?”

“Lo cemburu?”

“Engga sih, gue tau si Jean sahabat lo buat apa gue cemburu. Cuma Eric sama Jule kadang nanya kegue, soalnya lo keliatan lebih deket sama Jean daripada gue yang notabenenya pacar lo? Hehe.” Aksara cengengesan, dia merutuki dirinya.

“Oh, ya gue usahain.”

“Lo lagi overthinking kan? Mau peluk?”

“Mau.” Jawab Caca lalu menggeser badannya mendekati Aksara.

Gadis itu menyandarkan kepalanya di dada Aksara. Menghela napas kasar. Kapan Aksara bisa peka?

• Archetype

Di sudut cafe tiga orang lelaki tengah duduk dibarengi dengan helaan napas berat yang terdengar. Kebetulan cafe itu sedang sepi.

Aksara tersenyum kecut. “You know me so well ceunah bangsat.”

Eric mencoba mengelus pundaknya agar lelaki itu bisa merasa tenang. “Sabar Sa, lo tau kan Caca anaknya gimana. Apalagi kalo udah sama si Jihan.”

“Jean anjing Ric.” Tegur Julian

“Ya maap.”

“Gue tuh heran, setahun gue sama dia gue gapernah tuh nuntut banyak. Gue selalu nyoba jadi yang terbaik, tapi kenapa kalo ada masalah ujung-ujung ke Jihan? Gue dianggap ada ga sih? Si Jihan juga, gue curiga dia suka sama si Caca. Lo tau kan gada pertemanan yang murni diantara cowok sama cewek. Halah Jihan anjing.”

Julian menutup matanya kesal. “Jean Sa, Jean.”

“Alah, males gue nyebut Jean. Jihan aja udah.”

Ucapan Aksara diangguki Eric. “Bener, kali aja ada orang yang denger terus di cepuin gimana.”

“Omongin dulu Sa sama Caca, lo juga jangan terlalu cepet ambil keputusan. Jihan kan emang sobat nye dari orok.”

Aksara hanya menatap jendela cafe, pikirannya terbang entah kemana.

Semoga saja, cara yang diberikan oleh kedua temannya itu bisa membuahkan hasil.

“Nanti gue coba, dinginin otak dulu.”

  • maaf

Jayantara dirundung gelisah. Sudah tiga hari sejak Arumi menyuruhnya pergi dan selama itu juga dia selalu menunggu gadis itu di depan apartment-nya namun nihil. Tidak ada tanda-tanda kehadiran darinya.

“Arumi mana sih.”

Perasaannya kacau, sudah dua tahun gadis itu memperlakukannya seperti ini. Dia juga tidak mengerti apa kesalahan yang telah ia perbuat hingga gadis itu bersikap seperti ini.

Saat dia bertanya, Arumi enggan menjawab. Bahkan tak jarang gadis itu mengusirnya. Tetapi itu tidak cukup untuk membuatnya pergi karena Jayantara sangat menyayangi Arumi apalagi dia sudah berjanji kepada Bunda untuk menjaga Arumi selama sisa hidupnya.

Tiba-tiba..

“Halo?” Jayantara terkejut

  • khawatir

Luna berjalan perlahan saat bel rumahnya berbunyi.

Siapa?

Saat dia membuka pintu nampak sosok yang sepulug menit lalu dia beritahu bahwa dirinya tidak bisa ke sekolah hari ini.

“Loh? Kok kesini?”

“Ya mau jengukin lo, kan lagi sakit.” Jake berjalan melewati Luna lalu duduk di sofa.

“Lo gasekolah? Ini udah jam berapa anjir Jake.” Tanya Luna bingung.

“Gapapa gue kan anak kesayangan guru, aman kok.” Jake mengeluarkan dua kotak bubur dari kantongan yang dia bawa.

“Nih makan.”

Luna duduk disamping ketua kelasnya itu menatapnya tak percaya.

“Ya terus yang izinin gue siapa?”

“Ck tenang aja udah laporan sama pak Sihyuk, makan cepetan.”

“Ga, lo harus kesekolah Jake.” Luna menarik Jake lalu mendorong nya menuju pintu.

Tiba-tiba Jake berputar lalu memeluk dirinya.

“Gue tau ya lo kalo lagi sakit gimana, gausah ngeyel.”

Sedangkan Luna? Dia hanya diam.

“Bandel banget, untung sayang.”

  • khawatir

Sunwoo mengendarai mobilnya secepat mungkin menuju flat milik Caca sekarang.

Sesampainya di basement dia dengan terburu-buru memarkir mobil nya dan berlari dengan kantongan di tangannya berisi makanan dan obat.

“Ca? Ini gue.”

Pintu itu terbuka dengan pelan, tampak sosok gadis yang tengah mengenakan training dan hoodie. Gadis itu terlihat sangat pucat, bibirnya merenggut. Dia pasti merasa sangat pusing.

“Nu.” Panggilnya lirih, Sunwoo merasa sebentar lagi gadis itu akan menangis. Dia tahu betul, jika sedang sakit Caca akan sangat sensitif terhadap segala hal. Sangat mudah baginya untuk menangis.

“Iya gue disini.” Sunwoo menutup pintu lalu menarik gadis itu menuju sofa.

Tapi gadis itu mematung.

“Kenapa Ca? Duduk dulu, gue siapin buburnya buat lo.”

Gadis itu menggeleng.

Berjalan perlahan mendekati Sunwoo.

“Mau peluk.”

Demi Tuhan, Sunwoo merasa kehilangan kewarasannya saat ini juga.

Dia menarik gadis itu kedalam pelukannya.

Sunwoo terkejut saat tangannya menyentuh dahi Caca.

Demamnya tinggi.

“Ca badan lo panas banget, maka terus minum obat dulu ya?”

“Ih peluk aja.”

Beberapa menit berlalu gadis itu tiba-tiba menangis.

“Loh kenapa?”

“Kepala gue pusing.” Jawabnya tersedu.

“Ya kan gue bilang duduk dulu abis tuh makan bubur terus minum obat. Ngeyel sih.”

Gadis itu akhirnya menurut.

Berakhir Sunwoo harus menjaga gadis itu semalaman.

• 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑟𝑎𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛 𝘩𝑒𝑒𝑠𝑒𝑢𝑛𝑔

Heeseung membuka pintu rooftop apart tempat gadis itu tinggal.

Seperti biasa, gadis itu memeluk kedua lututnya.

Heeseung menghampiri gadis itu.

Dia menangis.

“Hee?” Gadis itu menyadari kehadirannya dan langsung memeluk lelaki itu.

“Beomgyu..”

“Ini pertama kalinya kita ketemu selama dua bulan, dan yang kata pertama yang lo ucapin harus banget nama dia?” Heeseung mendorong Aya agar pelukannya terlepas.

Aya terkejut. Ini kali pertama, Heeseung seperti ini.

“Hee..”

Heeseung tertawa.

“Aya, ngaku deh. Lo seneng kan liat gue kayak gini?”

Aya mengernyit. “Maksud lo?”

Heeseung menghela napas.

“Lo pikir, orang bego mana yang abis ditinggalin sama sahabatnya sendiri plus cewek yang dia sayang demi orang brengsek macam Beomgyu dan ngelewatin hari-hari berat selama dua bulan dengan rasa bersalah karena mikir semua ini gara-gara dia terus tiba-tiba cewek itu bilang hee pls, i need you here dan dengan tololnya dia lari kesini buat nenangin tuh cewek yang dia yakin sedih gara-gara cowok yang sama yang bikin dia bersikap egois denga ngebuang sahabatnya.”

“Iya Ya, gue bego dan lo tau itu.”

Aya menatap Heeseung nanar. “Hee, gue ga kayak gitu.”

“Gue mau nanya Ya sama lo, waktu hari dimana gue ngakuin kalau gue natap lo lebih dari sahabat lo bilang 'Hee, kita sahabat. Mau lo atau gue udah kenal satu sama lain dan lo tau pasti gue mandnag lo sebagai apa' gue mau mastiin lagi Ya. Emang lo mandang gue sebagai apa?”

Nafas Aya tercekat, Heeseung yang ada di depannya sangat berbeda dengan Heeseung yang dia kenal.

“Lo sahabat gue Hee.”

Heeseung berdecih. “Sahabat? Sahabat macam apa yang ngebuang sahabatnya dengan embel-embel egois, kelewat batas? Lo bilang lo kenal sama gue karena kita sahabat, nope Ya. Lo ga kenal gue. Lo bilang 'gamau ngerusak semuanya cuma karena perasaan egois yang minta buat dijadiin satu' kalau lo emang kenal sama gue, lo gabakal ngomong kayak gitu. Lo gabakal ngeraguin gimana perasaan gue. Cuma? Lo bilang cuma?” Tanya Heeseung dengan penekanan.

“Aya aya, yang egois tuh lo kalau lo mau tau.”

Aya mengusap air matanya, dia merasa Heeseung sudah keterlaluan.

“Maksud lo apaan? Kok lo malah nyalahin gue? Kan lo yang mulai ngerasa kita ini bisa lebih dari sahabat?”

Lelaki itu mengendikkan bahunya.

“Itu, itu bukti keegoisan lo. Gue ada disini bukti keegoisan lo. Lo mikir ga sih? Gue yang udah bertahun-tahun bareng sama lo dan akhirnya sayang sama lo lebih dari sahabat, nenangin lo kalau lagi nangis, bantu lo buat sembuh dari luka lo, tiba-tiba dibuang, di tampar di depan cowok brengsek yang ngetawain dia pas liat lo ngebuang sahabat lo gara-gara tuh cowok brengsek? Dan selama dua bulan, lo tiba-tiba ngechat lagi, dan yes, im here si bodoh Heeseung. Lo mau apa lagi? Mau gue meluk lo? Nenangin lo? Bilang kalau segalanya bakalan baik-baik aja? Ngusap air mata lo? Gimana Ya? Siapa yang egois?”

Aya terduduk, dia memutar kembali apa yang Heeseung katakan. Dia menemukan dirinya tak sadar diri, tak berterima kasih kepada orang yang selama ini ada untuknya. Air matanya mengalir, menatap Heeseung.

“Hee, maafin gue. Gue- gue sadar semuanya salah gue.”

“Telat Ya.” Heeseung menggeleng.

“Coba aja pas gue ke apart lo, lo nerima gue buat ngejelasin semuanya dengan kepala dingin. Semuanya ga kayak gini. Udah rusak Ya, persahabatan yang lo jadiin payung selama ini udah rusak.”

“Hee gue mohon.”

Heeseung tersenyum, mengusap air mata gadis itu.

Sorry Ya Selama dua bulan ini gue mikir, kalau apa yang gue lakuin selalu tentang lo dan gue gapernah mikirin diir gue sendiri. Inget kata orang? Lo terlalu ngejaga perasaan orang lain sampai lo lupa perasaan lo juga penting. Dan ya, gue mau ngelakuin itu sekarang. Lo tau kan gue juga berhak bahagia? Jadi please jangan halangin gue nyari kebahagiaan gue.”

“Lo jahat Hee, LO JAHAT!!!! LO BILANG LO MAU NEMENIN GUE PAS GUE LAGI SEDIH DAN SEKARANG? LO MAU NINGGALIN GUE.”

Aya menangis sejadinya. Entah mengapa rasanya sakit sekali melihat Heeseung tersenyum seperti itu.

Dia kehilangan Beomgyu, tapi rasa sakit melihat Heeseung mengatakan apa yang selama ini dia rasakan bahkan lebih sakit.

Dia menggeleng lalu berlari menuju tepi rooftop.

Terlalu cepat, hingga Heeseung tak sadar gadis itu melompat dari sana.

Heeseung menghampirinya namun terlambat.

Gadis itu sudah sampai di atas aspal yang ramai dalam beberapa menit.

Kaki Heeseung seakan tak punya tenaga. Dia merosot ke bawah. Menjambak rambutnya frustasi.

“ARGHHHHHH.”

“Bahkan sampai saat ini lo masih egois Ya.”

  • 𝑎𝑓𝑡𝑒𝑟 𝑡𝑤𝑜 𝑚𝑜𝑛𝑡𝘩𝑠

Heeseung menghela napas, sudah dua bulan sejak hari itu.

Aya, benar-benar tidak tampak dalam kesehariannya.

Bahkan saat Heeseung menghampiri apartnya, dia malah mengabaikannya dan menelfon Beomgyu agar Heeseung pergi dengan sendirinya.

Tiba-tiba sebuah notifikasi di hapenya membuat matanya melebar.

Dia langsung berlari tanpa ragu.

  • 𝘩𝑜𝑤 𝑐𝑜𝑢𝑙𝑑 𝑦𝑜𝑢?

Heeseung mengunjungi apart Aya untuk meluruskan kesalahpahaman diantara mereka karena chat bodoh darinya semalam.

Dia sadar, dia salah. Salah waktu, salah bicara, salah penyampaian. Dia terbawa emosi karena gadis itu masih saja memikirkan lelaki brengsek itu.

Tepat sebelum dia memasuki lift, terlihat gadis yang ingin dia temui itu keluar dari sana.

Bersama Beomgyu.

Tanpa sadar Heeseung menghampiri mereka.

Bugh

“HEESEUNG!!”

“LO APA APAAN SIH?!” Suara Aya meninggi.

Heeseung terkejut, gadis itu mendorongnya menjauh dan memilih memapah Beomgyu yang tersenyum mengejek dirinya.

“Aya, gue mau ngomong!” Heeseung hendak menarik Aya menjauh namun gadis itu menepis tangannya.

“Ga! Gue gamau ninggalin Beomgyu dengan keadaan kayak gini.”

Heeseung tak habis pikir. “Lo waras ga sih ya? Dia, orang brengsek ini. Udah jadiin lo barang taruhan Aya. Sadar!”

Aya menghela napas. “Dia udah minta maaf Hee.”

“Dan lo maafin?”

Aya terdiam.

“Aya, kamu sadar ga sih dia ini udah melewati batas pertemanan yang sebenernya? Sebuah hubungan tuh harus jadi privasi meskipun kalian sahabatan, dia gada hak buat ikut campur sama keputusan kamu.” Ujar Beomgyu membuat Heeseung menarik kerah bajunya.

“Heeseung lepasin ga?!”

Heeseung menatap lelaki itu dengan emosi.

“Lo.gapantes.buat.Aya.” ucapnya dengan penuh penekanan.

Aya mendorongnya ke belakang.

Plak

Beomgyu mengangkat alisnya saat gadis itu menampar Heeseung.

“Aya?”

“Hee, yang dibilang Beomgyu tuh bener. Lo udah kelewat batas. Kalo lo kayak gini terus mending lo gausah ketemu sama gue lagi.”

“Aya..” Gadis itu tak menghiraukan panggilannya.

Aya memapah Beomgyu, berjalan melewati Heeseung.

“Ya.. Aya..”

Nihil. Gadis itu benar-benar pergi.

FUCKKKKK” Dia memukul tembok melampiaskan amarahnya.

Bagaimana bisa seorang Aya melakukan ini padanya?

  • 𝑙𝑢𝑘𝑎

Heeseung menatap gadis yang memeluk lututnya di sudut tembok.

Aya, gadis itu.. gadis lemah yang terlalu menyayangi lelaki yang justru hanya mengundang air mata dan disinilah dia..

Menemani gadis itu, agar perih di lukanya mereda.

“Aya..”

Gadis itu mengangkat kepalanya, menatap Heeseung dengan mata penuh luka.

Dia menangis lagi.

“Gapapa, gue disini.” Heeseung menarik Aya ke dalam dekapannya membuat gadis itu mengerang melampiaskan segala sesak di dada yang sedari tadi dia tahan.

Di saat bersamaan, lelaki itu juga merasakan sakit.

Dia tidak suka jika gadis itu sedih.

Ya, kalian benar. Heeseung, sahabat kecil Aya kini tak lagi melihat gadis itu sebagai seorang anak kecil yang dulu membuatnya tertawa tetapi sebagai seorang gadis remaja yang menawan.

Naasnya, gadis itu tak melihat dirinya. Dia selalu mengatasnamakan persahabatan atas segala hal yang Heeseung lakukan untuknya.

Dan malam itu, saat Aya menceritakan betapa brengseknya Beomgyu. Lelaki yang memacarinya hanya untuk menang taruhan, membuat dirinya memutuskan untuk melakukan apa yang seharusnya dia lakukan dari dulu.