Dinda keluar dari posko dan langsung melihat Jojo yang sudah siap dengan motor yang dipinjamkan oleh Pak Desa kepada mereka.
Sekretarisnya itu tersenyum. “Dah siap?”
Dinda mengangguk sebagai jawaban. Dia langsung saja duduk di bagian belakang motor dan Jojo menarik gas menuju batas dusun yang menjadi bagian mereka untuk di cat.
Dalam perjalanan, Dinda melewati warung semangka dan Jojo menyalakan klakson motor saat melihat Pak Adi yang sedang mengatur semangka jualannya.
Dinda melambaikan tangan dan dibalas oleh Pak Adi dengan senyum ramah.
“Jauh juga ya Jo tempatnya.” Ucap Dinda setengah teriak karena kencangnya angin.
“Iya Din, dusun terluar desa kita kan ya.”
Setelah beberapa menit, akhirnya mereka sampai dan langsung memulai mengecat batas dusun.
“Din, gue yang sebelah sini lo yang itu ya?” Saran Jojo yang langsung direspon Dinda dengan menunjukkan jempolnya.
Kegiatan mengecat batas dusun itu berjalan tenang tanpa obrolan. Mereka berdua melakukannya dengan serius sampai tidak sadar bahwa cat yang mereka bawa ternyata tidak cukup.
“Yah Jo, abis catnya.” Ucap Dinda menatap Jojo bingung.
Dengan sigap Jojo segera merapikan peralatan yang mereka bawa lalu meletakkannya di sudut batas dusun sedikit tertutup.
“Kita ke Pak Desa kalau gitu Din. Laporan kalau catnya abis.” Jojo langsung menaiki motor disusul Dinda.
Di rumah Pak Desa, seorang anak kecil langsung berlari menghampiri Dinda.
“Kakakkk.” Anak itu memeluk kaki Dinda membuat gadis itu langsung berjongkok mensejajarkan tingginya.
“Citraa.” Dinda memeluk anak itu dengan gemas. Citra adalah cucu dari Pak Desa. Dia menjadi dekat dengan Dinda karena sering ikut kakaknya ke masjid saat mengaji.
“Eh ada apa nak? Ada perlu?” Tanya Pak Desa yang keluar dengan memegang botol susu Citra.
“Ini pak, catnya ternyata udah abis.” Jawab Jojo.
“Oh astaga, yang baru bapak sudah beli ada di gudang belakang.”
Dinda langsung berdiri dengan tangan kanannya menggendong Citra. “Sini pak, susunya biar Dinda aja yang kasih ke Citra.”
Pak Desa tersenyum sambil memberikan botol susu Citra kepada Dinda.
Jojo akhirnya mengikuti Pak Desa menuju gudang.
Tak lama kemudian, Jojo dan Pak Desa kembali.
“Citra ayo turun, kakaknya ada urusan.” Pak Desa mencoba membuat Citra turun dari gendongan Dinda namun dia menolak. Spontan Dinda langsung menatap Jojo yang mengangguk.
“Gapapa pak, saya titip Dinda aja disini. Saya lanjutin ngecat dulu, nanti kalau kelar saya jemput Dinda deh.” Dinda langsung menatap Jojo tidak enak.
“Eh jangan Jo, kan tugas kita berdua.”
Jojo menggeleng. “Gapapa Din.”
“Nak Jojo gausah khawatir. Nanti bapak suruh anak bapak yang anterin Dinda pulang ya. Dia bentar lagi pulang, paling lagi main sama yang lain.”
“Gapapa pak?” Tanya Dinda tidak enak namun Pak Desa hanya mengangguk ramah sambil mengetik sesuatu di hpnya; mungkin mengabari anaknya.
“Yaudah, tapi kalau saya kelarnya cepat saya aja yang jemput Dinda pak. Kecuali kalau agak lama gapapa sama anak bapak aja.” Jojo tersenyum lalu segera meninggalkan Dinda bersama Citra.
“Nak Dinda duduk dulu, capek itu gendong Citra.” Tawar Pak Desa.
“Iya pak terima kasih. Gapapa kok”
Beberapa menit kemudian, orang tua Citra pulang dan anak itu langsung melompat turun.
“Ya Allah Citra, kakak Dindanya dibuat capek lagi ya?” Ucap Ibu Aya yang langsung menggendong anaknya yang lari dari Dinda.
Perempuan itu hanya tersenyum. “Gapapa bu, saya juga seneng kok sama Citra.”
“Anak kecil kalau sama Dinda emang anteng bu, kalau di masjid tuh pada antri buat ngaji sama Dinda doang.” Sambung Pak Rudi, anak Pak Desa- ayah Citra.
Tak henti-henti dipuji, pipi Dinda sedikit memerah.
“Cocok pa jadi menantu.” Goda Ibu Aya membuat Dinda menggeleng malu.
“Iya Din, kamu kira-kira kalau bapak jodohin sama anak bapak yang bungsu mau ga ya?” Tanya Pak Desa sedikit ketawa.
“Aduh bapak bisa aja, saya masih kuliah.”
“Anak bapak juga masih kuliah Din, kayanya sekampus deh sama kamu. Iyakan Di?” Tanya Pak Desa kepada Pak Rudi.
Pak Rudi mengangguk. “Iya Din, sekampus sama kamu tau. Arsitek lagi. Ga jelek-jelek juga adik saya.”
Bisa gawat kalau lama-lama, pikir Dinda.
“Yang ada anak bapak gamau sama saya.” Dinda menggaruk lehernya yang tidak gatal. “Eh pak, kalau gitu saya susul Jojo ya. Gaenak kalo dia ngecat sendirian.”
Pak Desa langsung mengangguk. “Oh iya kalo gitu Rudi nganter kamu ya?” Namun Dinda menggeleng. “Eh gapapa pak, Dinda jalan kaki aja. Kan deket, sekalian mau mampir ke warung semangka Pak Adi.” Jelas Dinda.
“Oh yaudah kalau gitu, hati-hati ya nak.” Dinda mencium tangan pak desa lalu melenggang pergi setelah berpamitan dengan Citra dan orang tuanya.
Dinda kini berjalan menuju batas dusun yang memang tidak begitu jauh dari rumah pak desa. Hanya butuh beberapa menit.
Dia juga melewati warung semangka Pak Adi yang ternyata ada Naufal dan Reyhan disana.
“Eh Dinda? Kok jalan kaki?” Tanya Naufal.
“Gapapa Naufal, mau ke batas dusun sana. Ngecat hehe.” Dinda menunjuk ke arah utara yang membuat Naufal ber-oh ria.
“Mampir sini aja dulu Din, cobain nih semangka Pak Adi baru dateng. Manis banget lagi.” Tawar Naufal.
“Iya Din, sini dulu aja.” Sambung Reyhan.
Dinda terdiam sebentar. “Tapi gaenak gue Jojo sendirian.”
“Gapapa, nanti gue suruh anak-anak yang deket sana bantuin Jojo. Yuk duduk sini.” Naufal menepuk bangku kayu di sampingnya.
“Iya nak Dinda, mampir dulu aja.” Kata Pak Adi.
Tidak enak menolak, akhirnya Dinda memutuskan untuk mampir.
Pak Adi memberikan Dinda satu piring semangka yang sudah diiris. Sebenarnya, sebelum ke desa ini, Dinda tidak begitu suka makan semangka namun sejak KKN dia jadi suka. Mungkin karena semangkanya gratis kali ya? pikir Dinda.
“Gimana proker ngajar Din? Udah jalan?” Tanya Naufal yang dibalas anggukan oleh Dinda.
“Ada hambatan ga? Atau perlu bantuan?” Dinda menggeleng. “Aman kok Naufal, nanti kalau misal butuh sesuatu gue pasti hubungin deh.”
Naufal hanya mengangguk paham sambil celingak-celinguk yang membuat Dinda ikut melihat kiri dan kanan.
“Nunggu orang ya?” Tanya Dinda penasaran namun Naufal hanya tersenyum.
Tiba-tiba sebuah motor berhenti di depan warung semangka. Sang pengendara langsung turun dan matanya bertemu dengan mata Dinda.
“Akhirnya dateng. Sini Ki, ada Dinda nih.” Mata Zaki langsung beralih kepada Naufal meminta penjelasan namun lelaki itu hanya cengegesan.
Mau tidak mau, Zaki langsung duduk disamping Dinda karena hanya itu tempat yang kosong.
“Halo? Dinda ya?” Sapa lelaki yang tidak asing bagi Dinda.
Koordes itu langsung tersenyum kikuk namun mengangguk mengiyakan. “Iya, Dinda- Adinda Zara.”