declipsee

Hari kedua PKKMB berjalan seperti hari sebelumnya. Permainan, aktifitas fisik ringan dan misi dilakukan para mahasiswa baru Fakultas Ekonomi dan Bisnis EN- University ini.

Setelah kegiatan yang cukup melelahkan, kini mereka semua sedamg menghabiskan waktu istirahat. Kava, Rivandra dan Dafa berjalan memasuki kantin FEB yang telah ramai dipenuhi mahasiswa yang lain.

Kava berjalan memasuki aula tempat para mahasiswa baru fakultas ekonomi bisnis berkumpul. Mata menyusuri sudut demi sudut aula mencari keberadaan Rivandra.

Saat sebuah lambaian tangan terlihat olehnya, dia langsung bergegas mendekat. Rivandra bersama dengan mahasiswa baru lainnya. “Eh mana si Cecil?” Tanya Kava membuat lelaki disamping Rivandra sedikit membulatkan mata terkejut.

“Lu akrab sama kak Cecil?” Tanya lelaki itu dengan suara pelan.

Kava mengendikkan bahu. “Kenapa emang?”

“Kok lu manggilnya gapake 'kak' sih?” Lelaki itu kembali bertanya kepada Kava yang mengerutkan keningnya.

Melihat itu, Rivandra langsung memperkenalkan lelaki itu kepada Kava. “Kenalin Kav, sobat baru gue, Dafa. Sejurusan sama kita juga.” Rivandra tersenyum sambil menggerakkan alisnya.

Kava menjulurkan tangannya yang disambut baik oleh lelaki bernama Dafa itu. “Gue Kava.”

“Dafa. Eh lu belum jawab pertanyaan gue Kav.”

Kava hanya cengengesan sambil menunjuk Cecil yang berdiri tak jauh dari tempatnya. “Liat aja noh dia mungil gitu, masa gue manggil 'kak' sih.”

Dafa hanya tercengang mendengar jawaban lelaki berlesung pipi itu. Rivandra hanya menggeleng memberi kode kepada Dafa untuk memaklumi. “Naksir dia Daf sama KAK Cecil.” Rivandra sengaja menekankan kata 'kak' agar Dafa tidak bertanya hal yang sama kepadanya.

“Serius?”

“Kaga anjir. Gue mau ngumpulin ini dulu lah.” Kava melenggang pergi mendekati Cecil yang sedang mengobrol bersama dua kating lain.

Kating yang berbincang bersama Cecil memberi kode bahwa Kava ada disana membuat Cecil berbalik. Melihat Kava yang cengengesan membuat perempuan itu menghela napas pelan. “Kelar?”

Kava mengangguk lalu menyodorkan lembaran polio dengan tulisan tangannya disana. Cecil mengeceknya sebentar lalu mengangguk. “Okey, besok jangan telat.”

“Kalau telat lagi, gimana?” Pertanyaan Kava membuat Cecil kembali menoleh ke arahnya dengan tatapan kesal.

“Lu gue hukum lah?”

“Iyadah Cil kaga telat, yaelah.”

Mata Cecil membulat saat kedua temannya tertawa. “Ga sopan lu ya? Gue bilang panggil 'kakak'?”

“Ga ah, mini gini ko- EH ga kena.” Kava langsung melipir pergi setelah menghindari Cecil yang mencoba menginjak kakinya lagi.

Wajah kesal Cecil membuat Kava tertawa membuat Rivandra menggeleng. “Naksir beneran gue ketawain lu.”

Kava hanya menghela napas lalu duduk di kursi kosong samping Rivandra dan Dafa.

“Eh lu maba telat, sini.” Panggil perempuan berambut coklat sebahu itu.

Kava berjalan mendekat dengan langkah pendek membuat gadis itu berdecak.

“Lelet amat jalannya? Sini cepetan!” Tangga nada yang mulai naik membuat Kava mau tidak mau berlari kecil. Kini dia berdiri tepat di hadapan perempuan itu, mata Kava melirik id card miliknya lalu menangkap nama perempuan itu disana.

Bener Cecil ucapnya dalam hati.

Cecil mengerutkan kening melihat adik tingkatnya hanya diam. Perempuan itu bertolak pinggang dan sedikit menengadah menatap Kava heran. “Lu tuh ya, udah telat masih santai aja kayak gini?”

“Terus gue harus ngapain?” Tanya Kava.

Cecil hanya memberinya 5 lembar kertas polio dan sebuah pulpen. Kava menatap Cecil heran. “Apaan nih?”

“Gado-gado.” Jawab Cecil asal sambil menulis sesuatu di buku kontrol. Dia menatap nametag Kava sekilas lalu kembali fokus kepada buku tebal itu. “Nama lu Kava?”

“Ngapain nanya dah, kan udah baca nametag gue? Aneh lu Cil.” Mendengar kalimat Kava barusan membuat Cecil mengalihkan pandangannya menatap Kava dengan mata membulat kesal.

“Cil? Gasopan banget lu ya sama kating? Kak Cecil!”

Kava menghela napas menatap Cecil lalu menatap ke depan mengedarkan pandangan seakan-akan dia mencari seseorang.

“Duh siapa tuh yang ngomong? Kaga keliatan- ADUH.” Kava meringis saat kakinya diinjak keras oleh Cecil membuatnya melompat kecil.

“Rasain lu.”

“Kenapa Cil?” Suara berat terdengar membuat Kava mendongak. Kali ini dia langsung berdiri tegak tatkala yang punya suara bukan orang yang asing.

“Gapapa Van, ini gue baru ngasih kertas sama pulpennya ke dia.” Evan, ketua Komdis FEB EN University yang juga kakak kelas Kava di SMA. Dia memang terkenal tegas dan berwibawa sejak SMA. Sehingga Kava segan dan langsung diam.

“Oh yaudah, Kava kan? Ini nanti lu tulis tangan alasan lu telat apa sampe kertasnya penuh semua.” Ucap Evan membuat Kava mengangguk.

“Iya kak.” Jawaban Kava membuat Cecil mendelik ke arahnya kesal namun Kava hanya memutar bola matanya malas.

“Oke, nanti kalau kelar langsung kumpulin ke Cecil ya.” Evan kini berjalan menjauh meninggalkan Kava dan Cecil. Namun sebelum Kava sempat mengejek perempuan itu, dia langsung melenggang pergi tak menghiraukan Kava.

“Woi Cil ini nanti gue kumpulnya gimana?”

Cecil hanya melambaikan tangannya tak menjawab. Kava tertawa kecil. “Galak apaan jir kayak gitu. Hoax ah.”

Lelaki berlesung pipi itu lalu mengambil tempat dan melaksanakan hukumannya.

Kava mendecak sebal saat tak mendapati sosok jangkung yang membersamainya sejak tk itu di tempat yang dia sebutkan sebelumnya. Matanya menatap jam yang melingkar ditangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 7.45 dimana dia sudah terlambat 15 menit. Dia terus mencoba menghubungi Rivandra namun tak ada jawaban.

“Kemana sih anjir, telat ini mampus dah.” Lelaki dengan seragam putih-hitam khas mahasiswa baru itu menggaruk kepalanya kesal.

Dia pun memutuskan untuk pergi dari sana menuju kampus meski tahu dirinya pasti akan jadi bulan-bulanan kakak tingkat karena terlambat.

Dinda tersenyum kikuk saat menyadari dia menyebutkan nama panjangnya. UNTUK APA?

Dengan langkah yang tertatih, Zaki langsung duduk di sampingnya. Situasi ini juga tak kalah canggungnya bagi Zaki, dia akhirnya memaki Naufal di grup WA mereka. Jika saja Naufal bilang dari awal, dia akan mengganti baju agar terlihat lebih rapi. Tapi gue cakep sih, mau gimanapun pikirnya. Jadi yasudah gas aja.

“Eh namanya tadi Adinda Zara ya?” Tanya Zaki membuat pandangan Dinda beralih dari HP ke arahnya membuat lelaki itu sedikit terbatuk. Sekilas melirik Naufal dan Reyhan yang tertawa kearahnya meski sedang ngobrol dengan anggota Karang Taruna lain yang baru saja tiba.

Dinda mengangguk kecil, memperbaiki duduknya yang terlihat begitu canggung. Mungkin karena warung semangka dipenuhi beberapa lelaki.

Zaki mencoba mengajak Dinda mengobrol agar dia merasa nyaman. “Kalo gitu gue panggil Zara aja gapapa?” Pertanyaan itu sontak membuat Dinda mengangkat kedua alisnya. Baru pertama kali seseorang memanggilnya Zara.

Dinda pun mengangguk setuju. “Boleh kok.”

Sontak Zaki tersenyum. “Biar pas kan ya Zaki-Zara.”

“Hah?” Zaki menggeleng cepat saat Dinda menunjukkan ekspresi heran. Takut ilfill.

“Gapapa-gapapa.” Zaki menggaruk lehernya. Harus tanya apalagi biar mereka bisa ngobrol banyak?

“Eh kemaren nonton turnamen kan Zar?”

“Iya nonton kok. Lo nyetak gol kan?” Tanya Dinda membuat Zaki merutuki dirinya mengingat selebrasi yang dia lakukan.

Lelaki itu mengangguk sebagai jawaban. Dinda tersenyum lalu menunjukkan jempolnya. “Keren, meskipun sedikit cedera tapi tetep bisa nyetak gol.” Puji Dinda sambil melihat pergelangan kaki Zaki yang dibalut penyangga.

Zaki tertawa kecil. GADIBAHAS YA ALLAH SYUKUR DEH.

“Iya, ini aja abis dari desa sebelah buat di kompres.”

Dinda mengerutkan keningnya. “Kok jauh banget kompresnya sampe ke desa sebelah?”

Zaki kembali tertawa. “Ya gapapa, bareng sama temen gue soalnya. Kan berdua lebih baik daripada sendiri.”

Jawaban Zaki sontak membuat Dinda tertawa. Cheesy, pikirnya.

“Lo dari mana emang Zar? Abis dari jalan apa gimana? Kok bisa disini? Sama Naufal lagi.”

“Dari rumah pak Desa tadi, laporan cat buat batas dusun kan kebetulan abis. Jadi gue sama Jojo-” Dinda menatap Zaki sebentar dan melanjutkan perkataannya. “Maksudnya, temen gue ke pakde deh tapi ternyata cucu pakde langsung nempel gamau turun pas gue gendong. Jadi ya gitu, mau nyamperin temen gue pas lewat langsung dipanggil sama Naufal, sama pak Adi juga jadi mampir deh.” Jelas Dinda.

Jadi sebenarnya yang tadinya akan diantar oleh Zaki tuh Dinda juga? Jodoh dah kayanya, pikir Zaki. Mau bagaimana pun, dia tetap akan ketemu Dinda hari ini.

“Gitu ya.” Zaki mengangguk. “Jadi yang disuruh anter sama pakde tadi ternyata lo?”

Mata Dinda membulat sempurna. “Hah?”

“Iya tadi pakde WA gue suruh anterin anak KKN balik gitu karena ditahan sama Citra katanya.” Zaki tersenyum akan fakta ini.

“Ternyata anak bungsu pakde itu, lo?” Tanya Dinda tidak percaya.

Zaki mengangguk. “Ya iya? Kenapa emang?”

Perempuan itu menggeleng cepat. “Gapapa.”

Jadi tadi mau dijodohin sama Zaki?, batin Dinda.

“Lo ada hambatan ga Zar persiapan proker?” Tanya Zaki membuat lamunan Dinda buyar. Perempuan itu sontak menggeleng.

“Gada kok Ki, aman deh. Nanti kalo misal butuh bantuan gue bakal kabarin Naufal kok buat minta tolong.” Jelas Dinda yang langsung direspon gelengan kepala oleh Zaki.

“Mending minta tolong sama gue Zar, lebih cepet. WA gue free kok, gabayar.” Dinda tertawa mendengar perkataan Zaki.

Dinda pun menyodorkan hp nya kepada lelaki itu. “Yaudah nih mana WA lo.”

Lelaki itu langsung tersenyum lebar dan mengetikkan nomor WA nya disana. Tak lupa menekan fitur telfon untuk memastikan dia juga punya WA Dinda.

Obrolan mereka berlangsung begitu lama dan mereka menjadi semakin akrab seiring obrolan itu diselingi dengan tawa.

Ketika sadar langit sudah jingga tanda senja telah tiba. Dinda sedikit kelabakan. Mengobrol dengan Zaki membuatnya lupa waktu. Teman-temannya pasti sudah menunggu dirinya. Terlebih lagi, waktu makan malam sudah dekat dan dia belum menyiapkan apa-apa.

“Eh Ki, gue balik ya kalo gitu? Udah magrib, mau masak.” Dinda bergegas berdiri namun langit jingga yang indah menghentikan langkahnya untuk mengabadikan pemandangan indah itu.

“Dindaaa ya ampun lo lama banget.” Seru Juli yang tiba-tiba sampai dengan mengendarai motor yang dipinjamkan Pakde. Semua mata akhirnya menatap mereka berdua.

“Pantesan lo lama, lagi ngapel?” Ejek Juli dengan suara kecil takut Zaki mendengar. Dinda membulatkan matanya tak percaya Juli mengatakan itu.

“Apaan sih, engga.”

“Halo semua, maaf ya gue bawa Dinda dulu gada yang masak soalnya udah pada laper. Gue Juli btw, bendaharanya Dinda.” Juli turun dari motor dengan cepat lalu menjabat tangan mereka satu-satu.

Setelah itu mereka berdua pergi meninggalkan warung semangka meninggalkan Zaki dengan senyum lebar.

Dinda keluar dari posko dan langsung melihat Jojo yang sudah siap dengan motor yang dipinjamkan oleh Pak Desa kepada mereka.

Sekretarisnya itu tersenyum. “Dah siap?”

Dinda mengangguk sebagai jawaban. Dia langsung saja duduk di bagian belakang motor dan Jojo menarik gas menuju batas dusun yang menjadi bagian mereka untuk di cat.

Dalam perjalanan, Dinda melewati warung semangka dan Jojo menyalakan klakson motor saat melihat Pak Adi yang sedang mengatur semangka jualannya.

Dinda melambaikan tangan dan dibalas oleh Pak Adi dengan senyum ramah.

“Jauh juga ya Jo tempatnya.” Ucap Dinda setengah teriak karena kencangnya angin.

“Iya Din, dusun terluar desa kita kan ya.”

Setelah beberapa menit, akhirnya mereka sampai dan langsung memulai mengecat batas dusun.

“Din, gue yang sebelah sini lo yang itu ya?” Saran Jojo yang langsung direspon Dinda dengan menunjukkan jempolnya.

Kegiatan mengecat batas dusun itu berjalan tenang tanpa obrolan. Mereka berdua melakukannya dengan serius sampai tidak sadar bahwa cat yang mereka bawa ternyata tidak cukup.

“Yah Jo, abis catnya.” Ucap Dinda menatap Jojo bingung.

Dengan sigap Jojo segera merapikan peralatan yang mereka bawa lalu meletakkannya di sudut batas dusun sedikit tertutup.

“Kita ke Pak Desa kalau gitu Din. Laporan kalau catnya abis.” Jojo langsung menaiki motor disusul Dinda.


Di rumah Pak Desa, seorang anak kecil langsung berlari menghampiri Dinda.

“Kakakkk.” Anak itu memeluk kaki Dinda membuat gadis itu langsung berjongkok mensejajarkan tingginya.

“Citraa.” Dinda memeluk anak itu dengan gemas. Citra adalah cucu dari Pak Desa. Dia menjadi dekat dengan Dinda karena sering ikut kakaknya ke masjid saat mengaji.

“Eh ada apa nak? Ada perlu?” Tanya Pak Desa yang keluar dengan memegang botol susu Citra.

“Ini pak, catnya ternyata udah abis.” Jawab Jojo.

“Oh astaga, yang baru bapak sudah beli ada di gudang belakang.”

Dinda langsung berdiri dengan tangan kanannya menggendong Citra. “Sini pak, susunya biar Dinda aja yang kasih ke Citra.”

Pak Desa tersenyum sambil memberikan botol susu Citra kepada Dinda.

Jojo akhirnya mengikuti Pak Desa menuju gudang.

Tak lama kemudian, Jojo dan Pak Desa kembali.

“Citra ayo turun, kakaknya ada urusan.” Pak Desa mencoba membuat Citra turun dari gendongan Dinda namun dia menolak. Spontan Dinda langsung menatap Jojo yang mengangguk.

“Gapapa pak, saya titip Dinda aja disini. Saya lanjutin ngecat dulu, nanti kalau kelar saya jemput Dinda deh.” Dinda langsung menatap Jojo tidak enak.

“Eh jangan Jo, kan tugas kita berdua.”

Jojo menggeleng. “Gapapa Din.”

“Nak Jojo gausah khawatir. Nanti bapak suruh anak bapak yang anterin Dinda pulang ya. Dia bentar lagi pulang, paling lagi main sama yang lain.”

“Gapapa pak?” Tanya Dinda tidak enak namun Pak Desa hanya mengangguk ramah sambil mengetik sesuatu di hpnya; mungkin mengabari anaknya.

“Yaudah, tapi kalau saya kelarnya cepat saya aja yang jemput Dinda pak. Kecuali kalau agak lama gapapa sama anak bapak aja.” Jojo tersenyum lalu segera meninggalkan Dinda bersama Citra.

“Nak Dinda duduk dulu, capek itu gendong Citra.” Tawar Pak Desa.

“Iya pak terima kasih. Gapapa kok”

Beberapa menit kemudian, orang tua Citra pulang dan anak itu langsung melompat turun.

“Ya Allah Citra, kakak Dindanya dibuat capek lagi ya?” Ucap Ibu Aya yang langsung menggendong anaknya yang lari dari Dinda.

Perempuan itu hanya tersenyum. “Gapapa bu, saya juga seneng kok sama Citra.”

“Anak kecil kalau sama Dinda emang anteng bu, kalau di masjid tuh pada antri buat ngaji sama Dinda doang.” Sambung Pak Rudi, anak Pak Desa- ayah Citra.

Tak henti-henti dipuji, pipi Dinda sedikit memerah.

“Cocok pa jadi menantu.” Goda Ibu Aya membuat Dinda menggeleng malu.

“Iya Din, kamu kira-kira kalau bapak jodohin sama anak bapak yang bungsu mau ga ya?” Tanya Pak Desa sedikit ketawa.

“Aduh bapak bisa aja, saya masih kuliah.”

“Anak bapak juga masih kuliah Din, kayanya sekampus deh sama kamu. Iyakan Di?” Tanya Pak Desa kepada Pak Rudi.

Pak Rudi mengangguk. “Iya Din, sekampus sama kamu tau. Arsitek lagi. Ga jelek-jelek juga adik saya.”

Bisa gawat kalau lama-lama, pikir Dinda.

“Yang ada anak bapak gamau sama saya.” Dinda menggaruk lehernya yang tidak gatal. “Eh pak, kalau gitu saya susul Jojo ya. Gaenak kalo dia ngecat sendirian.”

Pak Desa langsung mengangguk. “Oh iya kalo gitu Rudi nganter kamu ya?” Namun Dinda menggeleng. “Eh gapapa pak, Dinda jalan kaki aja. Kan deket, sekalian mau mampir ke warung semangka Pak Adi.” Jelas Dinda.

“Oh yaudah kalau gitu, hati-hati ya nak.” Dinda mencium tangan pak desa lalu melenggang pergi setelah berpamitan dengan Citra dan orang tuanya.

Dinda kini berjalan menuju batas dusun yang memang tidak begitu jauh dari rumah pak desa. Hanya butuh beberapa menit.

Dia juga melewati warung semangka Pak Adi yang ternyata ada Naufal dan Reyhan disana.

“Eh Dinda? Kok jalan kaki?” Tanya Naufal.

“Gapapa Naufal, mau ke batas dusun sana. Ngecat hehe.” Dinda menunjuk ke arah utara yang membuat Naufal ber-oh ria.

“Mampir sini aja dulu Din, cobain nih semangka Pak Adi baru dateng. Manis banget lagi.” Tawar Naufal.

“Iya Din, sini dulu aja.” Sambung Reyhan.

Dinda terdiam sebentar. “Tapi gaenak gue Jojo sendirian.”

“Gapapa, nanti gue suruh anak-anak yang deket sana bantuin Jojo. Yuk duduk sini.” Naufal menepuk bangku kayu di sampingnya.

“Iya nak Dinda, mampir dulu aja.” Kata Pak Adi.

Tidak enak menolak, akhirnya Dinda memutuskan untuk mampir.

Pak Adi memberikan Dinda satu piring semangka yang sudah diiris. Sebenarnya, sebelum ke desa ini, Dinda tidak begitu suka makan semangka namun sejak KKN dia jadi suka. Mungkin karena semangkanya gratis kali ya? pikir Dinda.

“Gimana proker ngajar Din? Udah jalan?” Tanya Naufal yang dibalas anggukan oleh Dinda.

“Ada hambatan ga? Atau perlu bantuan?” Dinda menggeleng. “Aman kok Naufal, nanti kalau misal butuh sesuatu gue pasti hubungin deh.”

Naufal hanya mengangguk paham sambil celingak-celinguk yang membuat Dinda ikut melihat kiri dan kanan.

“Nunggu orang ya?” Tanya Dinda penasaran namun Naufal hanya tersenyum.

Tiba-tiba sebuah motor berhenti di depan warung semangka. Sang pengendara langsung turun dan matanya bertemu dengan mata Dinda.

“Akhirnya dateng. Sini Ki, ada Dinda nih.” Mata Zaki langsung beralih kepada Naufal meminta penjelasan namun lelaki itu hanya cengegesan.

Mau tidak mau, Zaki langsung duduk disamping Dinda karena hanya itu tempat yang kosong.

“Halo? Dinda ya?” Sapa lelaki yang tidak asing bagi Dinda.

Koordes itu langsung tersenyum kikuk namun mengangguk mengiyakan. “Iya, Dinda- Adinda Zara.”

Dinda keluar dari posko dan langsung melihat Jojo yang sudah siap dengan motor yang dipinjamkan oleh Pak Desa kepada mereka.

Sekretarisnya itu tersenyum. “Dah siap?”

Dinda mengangguk sebagai jawaban. Dia langsung saja duduk di bagian belakang motor dan Jojo menarik gas menuju batas dusun yang menjadi bagian mereka untuk di cat.

Dalam perjalanan, Dinda melewati warung semangka dan Jojo menyalakan klakson motor saat melihat Pak Adi yang sedang mengatur semangka jualannya.

Dinda melambaikan tangan dan dibalas oleh Pak Adi dengan senyum ramah.

“Jauh juga ya Jo tempatnya.” Ucap Dinda setengah teriak karena kencangnya angin.

“Iya Din, dusun terluar desa kita kan ya.”

Setelah beberapa menit, akhirnya mereka sampai dan langsung memulai mengecat batas dusun.

“Din, gue yang sebelah sini lo yang itu ya?” Saran Jojo yang langsung direspon Dinda dengan menunjukkan jempolnya.

Kegiatan mengecat batas dusun itu berjalan tenang tanpa obrolan. Mereka berdua melakukannya dengan serius sampai tidak sadar bahwa cat yang mereka bawa ternyata tidak cukup.

“Yah Jo, abis catnya.” Ucap Dinda menatap Jojo bingung.

Dengan sigap Jojo segera merapikan peralatan yang mereka bawa lalu meletakkannya di sudut batas dusun sedikit tertutup.

“Kita ke Pak Desa kalau gitu Din. Laporan kalau catnya abis.” Jojo langsung menaiki motor disusul Dinda.


Di rumah Pak Desa, seorang anak kecil langsung berlari menghampiri Dinda.

“Kakakkk.” Anak itu memeluk kaki Dinda membuat gadis itu langsung berjongkok mensejajarkan tingginya.

“Citraa.” Dinda memeluk anak itu dengan gemas. Citra adalah cucu dari Pak Desa. Dia menjadi dekat dengan Dinda karena sering ikut kakaknya ke masjid saat mengaji.

“Eh ada apa nak? Ada perlu?” Tanya Pak Desa yang keluar dengan memegang botol susu Citra.

“Ini pak, catnya ternyata udah abis.” Jawab Jojo.

“Oh astaga, yang baru bapak sudah beli ada di gudang belakang.”

Dinda langsung berdiri dengan tangan kanannya menggendong Citra. “Sini pak, susunya biar Dinda aja yang kasih ke Citra.”

Pak Desa tersenyum sambil memberikan botol susu Citra kepada Dinda.

Jojo akhirnya mengikuti Pak Desa menuju gudang.

Tak lama kemudian, Jojo dan Pak Desa kembali.

“Citra ayo turun, kakaknya ada urusan.” Pak Desa mencoba membuat Citra turun dari gendongan Dinda namun dia menolak. Spontan Dinda langsung menatap Jojo yang mengangguk.

“Gapapa pak, saya titip Dinda aja disini. Saya lanjutin ngecat dulu, nanti kalau kelar saya jemput Dinda deh.” Dinda langsung menatap Jojo tidak enak.

“Eh jangan Jo, kan tugas kita berdua.”

Jojo menggeleng. “Gapapa Din.”

“Nak Jojo gausah khawatir. Nanti bapak suruh anak bapak yang anterin Dinda pulang ya. Dia bentar lagi pulang, paling lagi main sama yang lain.”

“Gapapa pak?” Tanya Dinda tidak enak namun Pak Desa hanya mengangguk ramah sambil mengetik sesuatu di hpnya; mungkin mengabari anaknya.

“Yaudah, tapi kalau saya kelarnya cepat saya aja yang jemput Dinda pak. Kecuali kalau agak lama gapapa sama anak bapak aja.” Jojo tersenyum lalu segera meninggalkan Dinda bersama Citra.

“Nak Dinda duduk dulu, capek itu gendong Citra.” Tawar Pak Desa.

“Iya pak terima kasih. Gapapa kok”

Beberapa menit kemudian, orang tua Citra pulang dan anak itu langsung melompat turun.

“Ya Allah Citra, kakak Dindanya dibuat capek lagi ya?” Ucap Ibu Aya yang langsung menggendong anaknya yang lari dari Dinda.

Perempuan itu hanya tersenyum. “Gapapa bu, saya juga seneng kok sama Citra.”

“Anak kecil kalau sama Dinda emang anteng bu, kalau di masjid tuh pada antri buat ngaji sama Dinda doang.” Sambung Pak Rudi, anak Pak Desa- ayah Citra.

Tak henti-henti dipuji, pipi Dinda sedikit memerah.

“Cocok pa jadi menantu.” Goda Ibu Aya membuat Dinda menggeleng malu.

“Iya Din, kamu kira-kira kalau bapak jodohin sama anak bapak yang bungsu mau ga ya?” Tanya Pak Desa sedikit ketawa.

“Aduh bapak bisa aja, saya masih kuliah.”

“Anak bapak juga masih kuliah Din, kayanya sekampus deh sama kamu. Iyakan Di?” Tanya Pak Desa kepada Pak Rudi.

Pak Rudi mengangguk. “Iya Din, sekampus sama kamu tau. Arsitek lagi. Ga jelek-jelek juga adik saya.”

Bisa gawat kalau lama-lama, pikir Dinda.

“Yang ada anak bapak gamau sama saya.” Dinda menggaruk lehernya yang tidak gatal. “Eh pak, kalau gitu saya susul Jojo ya. Gaenak kalo dia ngecat sendirian.”

Pak Desa langsung mengangguk. “Oh iya kalo gitu Rudi nganter kamu ya?” Namun Dinda menggeleng. “Eh gapapa pak, Dinda jalan kaki aja. Kan deket, sekalian mau mampir ke warung semangka Pak Adi.” Jelas Dinda.

“Oh yaudah kalau gitu, hati-hati ya nak.” Dinda mencium tangan pak desa lalu melenggang pergi setelah berpamitan dengan Citra dan orang tuanya.

Dinda kini berjalan menuju batas dusun yang memang tidak begitu jauh dari rumah pak desa. Hanya butuh beberapa menit.

Dia juga melewati warung semangka Pak Adi yang ternyata ada Naufal dan Reyhan disana.

“Eh Dinda? Kok jalan kaki?” Tanya Naufal.

“Gapapa Naufal, mau ke batas dusun sana. Ngecat hehe.” Dinda menunjuk ke arah utara yang membuat Naufal ber-oh ria.

“Mampir sini aja dulu Din, cobain nih semangka Pak Adi baru dateng. Manis banget lagi.” Tawar Naufal.

“Iya Din, sini dulu aja.” Sambung Reyhan.

Dinda terdiam sebentar. “Tapi gaenak gue Jojo sendirian.”

“Gapapa, nanti gue suruh anak-anak yang deket sana bantuin Jojo. Yuk duduk sini.” Naufal menepuk bangku kayu di sampingnya.

“Iya nak Dinda, mampir dulu aja.” Kata Pak Adi.

Tidak enak menolak, akhirnya Dinda memutuskan untuk mampir.

Pak Adi memberikan Dinda satu piring semangka yang sudah diiris. Sebenarnya, sebelum ke desa ini, Dinda tidak begitu suka makan semangka namun sejak KKN dia jadi suka. Mungkin karena semangkanya gratis kali ya? pikir Dinda.

“Gimana proker ngajar Din? Udah jalan?” Tanya Naufal yang dibalas anggukan oleh Dinda.

“Ada hambatan ga? Atau perlu bantuan?” Dinda menggeleng. “Aman kok Naufal, nanti kalau misal butuh sesuatu gue pasti hubungin deh.”

Naufal hanya mengangguk paham sambil celingak-celinguk yang membuat Dinda ikut melihat kiri dan kanan.

“Nunggu orang ya?” Tanya Dinda penasaran namun Naufal hanya tersenyum.

Tiba-tiba sebuah motor berhenti di depan warung semangka. Sang pengendara langsung turun dan matanya bertemu dengan mata Dinda.

“Akhirnya dateng. Sini Ki, ada Dinda nih.” Mata Zaki langsung beralih kepada Naufal meminta penjelasan namun lelaki itu hanya cengegesan.

Mau tidak mau, Zaki langsung duduk disamping Dinda karena hanya itu tempat yang kosong.

“Halo? Dinda ya?” Sapa lelaki yang tidak asing bagi Dinda.

Koordes itu langsung tersenyum kikuk namun mengangguk mengiyakan. “Iya, Dinda- Adinda Zara.”

Dinda keluar dari posko dan langsung melihat Jojo yang sudah siap dengan motor yang dipinjamkan oleh Pak Desa kepada mereka.

Sekretarisnya itu tersenyum. “Dah siap?”

Dinda mengangguk sebagai jawaban. Dia langsung saja duduk di bagian belakang motor dan Jojo menarik gas menuju batas dusun yang menjadi bagian mereka untuk di cat.

Dalam perjalanan, Dinda melewati warung semangka dan Jojo menyalakan klakson motor saat melihat

Naufal menyenggol bahu Zaki saat melihat Dinda dan teman-temannya berjalan memasuki area turnamen.

“Ki! Dinda Ki!” Zaki yang mendengar itu langsung berbalik menjauh.

“Sialan si Naufal, gue kalo ketemu Dinda sekarang takutnya beneran grogi anjir.” Gumam Zaki.

Disisi lain, Dinda dan kelima temannya kini melihat kesana-kemari bermaksud mencari keberadaan orang yang dia kenal. Sampai pada akhirnya dia melihat Pak Desa juga ada disana.

Mereka berenam menghampiri Pak Desa yang berdiri di tribun milik tim dari desa. Tanpa basa basi mereka langsung mencium tangan Pak Desa.

“Assalamualaikum pak.” Ucap Jojo.

“Eh iya, bapak lupa nginfoin kemarin.”

Juli tersenyum. “Gapapa pak.”

“Terus kalian tau tempatnya dari mana?” Tanya Pak Desa yang membuat kelima mahasiswa itu kembali menatap koordes mereka.

“Aman pak, koordes kita udah punya banyak koneksi. Gabakal ilang.” Ucapan Hanan mengundang gelak tawa dari mereka.

Dari jauh Zaki yang tengah pemanasan menatap Dinda yang tengah tertawa. Bahaya banget anjir ini cewe.

“WOI!” Siapa lagi kan ya? Tidak lain dan tidak bukan pasti Naufal.

Zaki hanya menoleh malas menatap Naufal kesal. “Lu akhir-akhir ini ngeselin banget sumpah Pal.”

“Gue ngeselin karena gue ngebaca lu naksir Dinda kan?” Goda Naufal menggerakkan alisnya naik-turun yang membuat Zaki mendorong kepalanya menjauh.

“Zaki!” Suara lengking terdengar. Membuat Zaki menghela napas.

“Pal, anying. Kok ada dia mulu sih?” Zaki sontak berdiri bermaksud pergi namun yang menjadi topik pembahasan sudah ada diantara mereka.

“Mau kemana sih Ki?” Tanya perempuan itu.

Zaki hanya tersenyum kecil mencari alasan agar bisa menjauh. “Ke toilet bentar Kak Qila. Maaf ya, misi.”

Naufal menggeleng. Temannya itu sebenarnya merupakan most wanted di kampus bahkan di desa. Tapi dia tampaknya masih gagal move on dengan mantannya yang putus 2 tahun lalu.


“Baiklah, sekarang kita akan memulai pertandingan antara Desa Sukamana dan Desa Parati. Disini kita sudah ada dua pentolan dari tim masing-masing yang akan melempar koin untuk menentukan siapa yang akan memulai kick-off” Wasit pun melempar koin dan tim Desa Parati yang akan memulai.

Pertandingan dimulai dengan santai namun memanas seiring waktu. Apalagi saat Zaki terus menerus mencoba shoot ke gawang lawan namun tetap dijangkau oleh keeper.

Di tribun penonton, meski Dinda, Juli dan Caterine tidak terlalu paham peraturan mereka tetap merasa tegang dan bersorak layaknya suporter sejati.

“Aduh anjir kok ga tembus mulu sih?” Juli yang sudah tidak sabar kini menepuk-nepuk pahanya saat tim Desa Sukamana terus menyerang.

Ada Caterine yang termenung menonton pertandingan dengan khidmat lengkap dengan sebungkus siomay di tangannya.

Sedangkan Dinda yang terus menatap sang striker andalan desa Sukamana itu. Zaki ya? tanyanya dalam hati. Entah mengapa, sosok itu begitu menarik di mata Dinda sehingga yang bisa dia ingat hanyalah bagaimana lelaki itu menyisir rambutnya yang basah dengan jari atau bagaimana lelaki itu mengumpat kesal karena serangannya tidak kunjung menciptakan poin.


“Rey kalau deket gawang terus ragu, shoot ke gue aja ok.” Reyhan mengangguk mengerti menerima instruksi dari Zaki. Dia sudah sadar bahwa kini Zaki sudah kehilangan kesabaran. Dia menepuk punggung temannya itu lalu tersenyum.

“Kalem aja Ki. Kita pasti menang kok.” Ucap Reyhan singkat lalu berjalan menjauh mengambil posisinya kembali.

Zaki menghela napas saat sumpritan kembali berbunyi. SEMANGAT WOI SUKAMANA! Zaki berbalik ke sumber suara dan sontak tersenyum saat tahu yang menyoraki timnya adalah Dinda.

Tim Sukamana terus mengoper bola dan akhirnya sampai pada Zaki. Sekilas dia menoleh menatap Dinda yang terlihat cemas di tribun penonton yang menurut Zaki dia tengah menantikan gol.

Dengan senyum lebar Zaki menggiring bola namun tidak melihat salah satu pemain lawan yang menyangga kakinya membuat dirinya terbanting cukup keras dan kesakitan.

Spontan Dinda berdiri melihat kejadian tersebut. “Eh anjir itu curang soalnya emang sengaja tekel.”

Juli mengangguk setuju. “Woi jangan main kasar dong!” Serunya tak mau kalah.

“Ngeri banget main futsal.” Caterine bergidik ngeri.

Sementara di lapangan, Zaki mencoba berdiri meski pergelangan kakinya terasa sakit. Naufal menghampirinya dengan wajah cemas. “Aman Ki?”

Zaki hanya mengangguk. Rasanya sakit sekali namun jika dia mundur sekarang maka timnya akan kekurang pemain yang pastinya akan menguntungkan Tim Parati.

“Bengkak-bengkak dah lu.” Zaki berlari pelan sambil meringis dan melanjutkan permainan.

Sumpritan kembali berbunyi dan mereka kembali menguasai bola. Mulai dari Naufal, Reyhan, kembali ke Naufal yang langsung passing ke Zaki.

Dengan satu tendangan kuat ke pojok kanan, Zaki berhasil mencetak poin. Suporter tim Sukamana bersorak begitupun Dinda.

Zaki yang tanpa sadar langsung berlari dan melakukan selebrasi ke arah dimana Dinda duduk. Mata mereka bertemu membuat Zaki tersenyum lalu mengangkat kedua tangannya membentuk hati dan mengarahkannya kepada Dinda lalu berbalik dengan cepat.

Dinda yang sadar akan hal itu mematung dengan mata melebar. Dia tak bergeming meski Juli mengguncang badannya heboh. “Anjir Dinda itu lo kan? Gila aja udah dapet cem-ceman mana pentolan lagi.”

Perempuan itu hanya mematung bingung harus bereaksi seperti apa. Dia hanya menatap satu orang saja, Zaki- yang kini sedang dipiting oleh Naufal entah apa alasannya.

Pak Desa mengantar keenam mahasiswa itu lalu mereka berpamitan. “Eh itu bukit pak?” Tanya Caterine saat tak sengaja melihat bukit di belakang rumah pak Desa.

Pak Desa mengangguk. “Sebenernya itu cuma timbunan tanah, tapi karena udah lama jadi tumbuh rumput terus keliatan kayak bukit. Kalau mau main kesana, sore-sore gini cocok.” Tawar Pak Desa membuat keenam mahasiswa itu saling menatap lalu mengangguk.

“Yaudah pak kita mau kesana dulu sebelum balik posko.” Ucap Daniel.

“Bisa lewat gang kecil disamping itu ya. Hati-hati.” Satu persatu mencium tangan Pak Desa lalu bergegesa menuju bukit tersebut.

“Sekalian rapat ga si kita? Buat bahas proker ngajar basing.” Saran Juli.

“Boleh deh, biar sampe posko bisa langsung istirahat.” Sambung Dinda.

Mereka berjalan dengan riang menuju buki yang ternyata menampilkan pemandangan yang begitu indah apalagi di waktu yang hampir senja ini.

“Gila keren banget.” Takjub Juli melihat langit orange dari puncak bukit yang tidak terlalu tinggi itu. Dari tempatnya berdiri dia juga bisa melihat puncak gunung yang entah terletak dimana.

“Foto Jul.” Ucap Caterine yang sontak membuat Juli berpose. Dinda hanya tersenyum, dia berdiri merasakan angin sepoi-sepoi. Tak lupa memotret langit seperti biasa.

Sedangkan Hanan, Jojo dan Daniel berlarian dan saling mengejar.

“Aduh bentar Ko, gue capek stop kejar gue anjir.” Keluh Hanan yang sudah tertatik namun tetap berlari menjauhi Daniel.

“Bagus ya Din langitnya?” Tanya Jojo yang entah sejak kapan berdiri di samping Dinda. Perempuan itu hanya mengangguk tanpa menoleh.

“Langit sore emang gapernah gabagus ga sih Jo?”

“Bener sih.”

“Woi, Jodin! Rapat dulu yuk.” Teriak Juli membuat mereka berbalik lalu mendekati keempat temannya yang kini duduk melingkar.

“Apaan Jodin?” Tanya Dinda.

“Jojo Dinda lah.” Celetuk Caterine lalu tertawa.

“Ada-ada aja lu.” Ucap Jojo.

“Dah cepet mulai rapat.” Dinda duduk disamping Juli lalu membuka rapat. “Jadi hari ini kita atur jadwal buat ngajar di sekolah ya.”

“Din, kita kan ada tugas dari pakde juga nih. Gue ada saran, gimana kalo yang ga lagi ngajar bisa mulai ngecat batas dusun. Biar cepet kelar juga kan.” Jelas Jojo.

Hanan mengangkat tangan. “Boleh juga Din ide Jojo, jadi kita kan ada 6 orang nih. Kita bagi aja 2 orang pair gitu biar ada yang balance cowo cewe. Gimana?”

Dinda mengangguk menimbang-nimbamh masukan Jojo dan Hanan. “Menurut kalian bertiga gimana?”

“Boleh sih Din, jadi lebih efektif aja gitu nanti kerjanya. Soalnya ya kalo misal lo nyatuin gue sama Keket mah bisa dijamin itu batas dusun kaga bakal kelar.” Jelas Juli sambil cengengesan.

“Yaudah kalo gitu, kita pair. Nah terus cara baginya?” Dinda menatap satu per satu temannya menunggu saran. Hampir 5 menit tidak ada suara, Dinda berdehem. “Kita undi aja kalo gitu, gimana?”

Semuanya mengangguk setuju. Jojo sebagai sekretaris menuliskam nama mereka pada masing-masing kertas kecil lalu digulung. Mereka pun mengambil satu per satu kertas lalu membukanya.

Dinda bersama Jojo. Caterine bersama Hanan, dan Daniel bersama Juli.

Pair yang ini sekaligus buat ngajar di sekolah juga ga sih Din?” Tanya Daniel.

“Ohiya juga, yang lain gimana?” Semuanya mengangguk setuju.

“Kalo gitu, udha fix ya jadwal ngajar sama pembagian kelompoknya.”

“OKE DINNN.” Jawab mereka serentak.