declipsee

Zaki berjalan mendekati kursi taman tempat Naufal dan Reyhan duduk dan menatapnya.

“Dari mana si? Lama amat katanya bentaran doang?” Protes Naufal.

Zaki mendudukkan dirinya di bangku yang terbuat dari batang pohon itu dengan kedua sikunya bertumpu pada kedua lututnya.

“Nama koordes tahun ni siapa ya? Lupa gue.” Tanya Zaki membuat wajah kesal Naufal berubah 180 derajat.

“Kenapa? Naksir?” Tuduh Naufal membuat Zaki berdecak.

“Cuma nanya gila.”

“Dinda, Ki.” Bukan Naufal, tapi Reyhan yang jawab.

“Oh Dinda.” Zaki mengangguk kecil membuaf Naufal menatapnya dengan mata memicing.

“Kenapa sih emang? Abis papasan?”

“Kepo amat lu.” Jawab Zaki ketus.

“Dihhhhh.” Naufal mendorong lutut Zaki dengan kakinya membuat lelaki itu sedikit terhuyung.

Dinda, Jojo, Hanan dan Daniel (ya Daniel juga ikut ke masjid katanya mau bantu dokumentasi) sudah sampai di masjid.

Ibu Intan menyambut mereka dengan ramah. Begitupun para anak-anak yang terlihat bersemangat melihat mereka.

“Oke, anak-anak mulai hari ini sampai dua bulan kedepan, kakak-kakak mahasiswa KKN akan membantu ibu mengajar kalian.” Tepat saat Ibu Intan selesai dengan ucapannya, anak-anak langsung ber-yey ria membuat Dinda, Jojo, Hanan dan Daniel tersenyum senang.

“Sekarang, kakak-kakak akan memperkenalkan diri dulu. Silahkan.” Ibu Intan mempersilahkan mereka memperkenalkan diri dimulai dari Hanan.

“Assalamualaikum adik-adik, nama kakak Hanan.”

“Halo kak Hanaaaannnnn.” Sapaan itu sontak membuat keempatnya tertawa gemas.

“Kakak, namanya Kak Jojo.” Sambung Jojo.

“Halo kak Jojooooooo.”

“Kalau kakak, Kak Daniel.”

“Halo kak Danieelllllll.”

“Kak Daniel paling ganteng.” Teriak salah satu anak yang langsung mengundang riuh.

Daniel tersenyum senang lalu berpose dengan jari telunjuk dan ibu jari yang diletakkan di dagunya.

“Kalau kakak, namanya Kak Dinda. Salam kenal ya adik-adik.”

“Halo Kak Dinda cantikkkkkkkk.”

Ibu Intan tersenyum dan menggeleng kecil. “Sudah-sudah, kita langsung mulai aja ya ngajinya. Dinda sama yang lain, bisa duduk berjejer aja ya nanti di datengin kok sama anak-anak.” Dinda, Hanan dan Jojo mengangguk paham lalu langsung mengambil tempat.

“Mau sama kakak cantikkkkk.” Seorang anak lelaki langsung berlari ke depan Dinda yang bahkan belum duduk. Dia menatap Dinda sumringah sambil memeluk Iqra nya.

“Ayo sini sama kakak.” Dinda tersenyum lebar melihat antusias anak-anak ini.

Setelah anak lelaki itu. Satu persatu anak yang lain mulai berbaris rapi membentuk antrian panjang.

“Jo, liat tuh antrian Dinda panjang banget lah kita cuma seorang sedih banget ga laku.” Ucap Hanan membuat Jojo sekilas menatap ke arah Dinda dan tersenyum.

“Emang Dinda tuh magnet Nan. Mau yang lebih tua, yang lebih muda pasti seneng sama dia.” Jelas Jojo yang langsung kembali memperhatikan anak di depannya.

“Nama kamu siapa sih?” Tanya Dinda kepada murid pertamanya itu.

Anak itu tersenyum malu. “Adit kak hehe.”

“Adit kelas berapa?” Yang ditanya langsung menunjukkan jari telunjuknya lalu melanjutkan membaca huruf-huruf hijaiyah di iqranya.

Suasana masjid hari itu begitu ramai. Sampai mengundang perhatian seseorang yang melihat sudut masjid.

Kini, keenam mahasiswa itu duduk teratur di ruang tamu Pak Desa. Mereka menikmati kue kering dan juga sirup rasa jeruk yang disajikan.

“Jadi maksud bapak manggil kalian kesini adalah mau ngasih tugas tambahan. Tapi, bapak mau tanya dulu kalian bersedia ga punya tugas tambahan?” Tanya Pak Desa menatap para mahasiswa yang mengarahkan pandangannya kepada satu orang. Koordes mereka, Dinda.

Dinda yang dipandangi sekaligus bergerak kikuk kembali memberi sinyal menanyakan pendapat para teman-temannya.

Jojo tertawa kecil. “Kalau saya bersedia aja kok pak, tapi keputusan ada sama koordes kita.”

Dinda tersenyum. “Balik ke kalian lagi, baiknya gimana?” Gadis dengan rambut sebahu yang dikuncir bebas itu menatap menunggu jawaban yang langsung diangguki kelima temannya.

“Kita bersedia kok pak.” Jawab Dinda singkat.

“Iya pak, bapak sisa bilang aja tugasnya apa?” Sambung Caterine.

“Ga berat kok, bapak cuma mau minta tolong kalian bantu ngecat perbatasan tiap dusun. Nanti bapak yang siapin alat dan bahannya, kalian sisa ngecat. Bisa?”

“Itumah gampang pak, sekalian kita masukin jadi proker di laporan nanti gapapa kan pak?” Tanya Juli.

Pak Desa sontak mengangguk. “Maka dari itu saya minta kalian aja yang lakuin, biar nambah-nambah halaman laporan.”

Daniel mengangguk setuju. “Aman itu pak.”

Pak Desa tersenyum lega. “Kalian bisa mulai besok kan? Pelan-pelan aja ngecat nya kalau lagi senggang gapapa. Prioritasin yang utama dulu. Nanti saya pinjemin motor sama Karang Taruna biar kalian ga caprk jalan. Batas antar dusun kan lumayan jauh.”

“Terima kasih pak.” Ucap mereka bersamaan.

“Saya yang harusnya bilang terima kasih. Yaudah, lanjut dimakan dulu kuenya, abisin ya.”

“Aman ini pak, ada Juli sama Keket yang demen makanan manis.” Ucap Daniel yang mengundang tawa mereka.

Dinda dan teman-temannya berdoa menundukkan kepala meminta kelancaran untuk acara hari ini. Semuanya sudah siap meski dalam waktu singkat. Mereka telah mengikis jam tidur untuk memberikan kesan pertama yang baik dan dapat diterima oleh warga desa. Semoga semuanya bisa berjalan lancar.

Mereka kini saling menatap dan saling menyemangati lalu mengambil posisi masing-masing. Dinda duduk di meja Koordinator Desa bersama Kepala Desa dan perangkat penting desa yang lain. Juli, ke sebelah kanan sebagai MC. Caterine, disebelah Juli sebagai dirijen untuk lagu Indonesia Raya. Hanan, sebagai operator dan Jojo serta Daniel sebagai dokumenter.

Dinda menarik napas panjang dan matanya tak sengaja bertemu dengan Naufal dan Rayhan yang tersenyum padanya memberi semangat. Dinda membalas dengan senyum ramah.

“Gila cakep banget mana senyum lagi.” Puji Naufal tak henti-hentinya.

“Si Zaki kok belum sampe Pal?” Tanya Reyhan celingak-celinguk mencari keberadaan pentolan itu.

“Kebelet katanya tadi.” Jawab Naufal.

Acarapun dimulai, setelah pembukaan dan menyanyikan Indonesia Raya kini giliran Dinda untuk menyampaikan sambutannya. Disaat yang sama Zaki masuk kedalam aula dan langsung mengambil tempat di samping Naufal.

Lelaki itu menyikut Zaki pelan. “Tuh, yang itu koordes kita tahun ini Ki. Keren kan.” Mata Zaki terarah menatap Dinda yang terlihat gugup memulai sambutannya.

“Dengan ini, saya mengucapkan banyak terima kasih atas waktu yang telah Bapak, Ibu, serta teman-teman Karang Taruna berikan dan sempatkan untuk menghadiri penyambutan sekaligus seminar program kerja KKN hari ini.” Dinda berhenti sejenak lalu kembali menarik napas, berjalan menuju screen agar lebih nyaman dalam menyampaikan presentasinya.

“Untuk mengefisienkan waktu, saya akan langsung memaparkan program kerja yang telah saya dan teman-teman saya telah susun. Berdasarkan program utama dari kampus kami dengan tema Pembangunan Masyarakat yang terbagi atas dua bidang yaitu Pendidikan dan Ekonomi. Kami menyusun tiga program kerja, yaitu untuk bidang pendidikan, kami akan memberikan kelas bahasa inggris di sekolah SD desa. Mengingat setelah melakukan riset, kami mengetahui bahwa sudah tidak ada mata pelajaran bahasa inggris yang diajarkan maka kami memutuskan untuk memasukkan program ini. Yang kedua, program di bidang ekonomi, dimana kami akan mengadakan pelatihan untuk ibu-ibu desa dalam mengolah dan membuat produk dari sumber daya yang dihasilkan di desa ini seperti jagung dan semangka. Dari situ, produk yang dihasilkan akan kami pamerkan di festival KKN antar kecamatan di akhir masa KKN kami. Program ketiga, kami akan mengadakan lomba 17 Agustus yang dimana saya sudah berdiskusi dengan Pak Kepala Desa dan nantinya akan bekerja sama dengan Karang Taruna.” Dinda menoleh ke arah Kepala Desa yang mengangguk menyetujui perkataan Dinda.

“Baik, mungkin itu saja penyampaian dari saya, mohon maaf jika ada salah kata, terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Tutup Dinda sedikit menunduk sopan lalu duduk kembali diiringi dengan tepuk tangan dari para undangan yang datang.

“Baik, terima kasih kepada saudara Dinda atas pemaparannya. Selanjutnya, adalah sesi tanya jawab atau sesi kritikan dan masukan. Jika ada yang mau memberi tanggapan, saya persilahkan.” Jelas Juli. Dinda kini dengan gugup menunggu kalau-kalau ada yang mengangkat tangan. Namun, para undangan hanya menggumamkan pujian setuju dengan program kerja yang ditawarkan.

Setelah 5 menit menunggu dan tidak ada tanggapan, Juli sebagai MC memutuskan untuk menutup acara. Tamu undangan bergiliran meninggalkan aula. Dinda menghela napas lega, akhirnya selesai. Rasa gugup yang menghantuinya sejak tadi kini lenyap. Teman-temannya saling berterima kasih dan memuji. Setelah ini mereka akan mulai menyiapkan pelaksanaan program kerja dengan dibantu perangkat desa dan anggota karang taruna.

Kedua pemuda tak asing mendekatinya membuat Dinda sontak berdiri menyambut mereka.

“Keren banget Din, gue ga nyangka tahun ini kita ketemu koordes cewe yang 100x lebih keren dari yang biasanya kita liat.” Puji Naufal membuat Dinda menggeleng.

“Tadi gue gugup banget sumpah, jangan terlalu muji nanti gue bisa kepedean.”

“Emang keren sih Din.” Tambah Reyhan. “Eh Zaki mana dah Pal? Ilang mulu.” Reyhan kembali celingak-celinguk mencari keberadaan temannya itu.

“Gatau dah, dia kayanya salah makan. Bolak balik WC mulu dari tadi.” Naufal mengendikkan bahunya.

“Ohiya Din, yang proker 17an itu nanti kabarin gue atau Reyhan aja nanti kita bantu kalau butuh apa-apa. Terus nanti kita bakal kabarin juga waktu rapat sekalian kita kenalin ke anak Karang Taruna yang ga sempat hadir hari ini.” Jelas Naufal membuat Dinda tersenyum senang. “Makasih banget ya Pal.” Naufal hanya cengengesan sambil mengangkat jempolnya.

“Oh hai? Lo Naufal sama Rayhan ya?” Tanya Juli yang bergabung.

Dinda mengenalkan mereka pada semua anak-anak posko, mencoba saling mengakrabkan diri dan membahas proker yang nantinya akan dilaksanakan.

“Kalau 2 bulan mah lama Din, gausah buru-buru. Mending Jumat nanti lu sama yang lain nontonin kita ke Desa sebelah. Ada turnamen bola gitu tiap tahun, seru.” Tawar Naufal.

Dinda terlihat berpikir. “Gue liat nanti ya Pal, gaenak juga kalo ditunda lama-lama. Kalau emang nanti bisa gabung, gue kabarin dah.”

Naufal mengangguk paham. “Yaudah kalo gitu, kita cabut ya guys. Masih ada urusan habis ini.”

Mereka semua akhirnya mengucapkan terima kasih sebelum Naufal dan Reyhan meninggalkan aula.

Dind berbalik menuju podium untuk beres-beres saat sebuah suara baru terdengar.

“Sorry, gue mau tanya. Lo liat dua orang yang wakilin karang taruna hari ini ga?” Tanya Zaki pada Hanan yang tengah menyusun kursi.

“Oh Naufal sama Reyhan? Baru aja keluar.” Jawab Hanan.

Thank you.

Dinda berbalik penasaran namun pemuda itu sudah tidak ada. “Siapa Nan?”

Hanan menoleh kearah Dinda. “Itu Din, kayanya temen Naufal sama Reyhan. Gue liat dia dari WC kayanya makanya ketinggalan sama mereka.” Dinda hanya ber-oh lalu kembali mengerjakan bagiannya.

Zaki memarkir motornya di depan warung semangka milik pak Adi. Tempat dirinya, Naufal, Rayhan dan anak cowo karang taruna sering berkumpul tentunya dengan instruksi Zaki. Sebenarnya, ada banyak tempat lain yang sering mereka tempati. Hanya saja tergantung situasi dan mood saja.

“Ye lu kabarin kek, basa-basi gitu Ki. Pantes aja jomblo mulu, gangerti ngasih kabar gimana.” Gerutu Naufal.

“Enak aja, gue jomblo karena gue milih jadi jomblo. Ribet pacaran.” Protes Zaki.

“Bukannya lu gamon?” Tanya Rayhan membuat Zaki mencoba menendangnya namun berhasil mengelak. Mereka tertawa, begitupun Pak Adi yang hanya menggeleng melihat tingkah tiga sekawan itu.

“Jadi gimana?” Tanya Zaki.

“Oh penyambutan anak KKN nya besok Ki. Kan gue udah ngomong Jumat jir gimana sih.” Ucap Naufal sambil menyendok potongan semangka yang sudah selesai dia kupas.

“Maksud gue turnamen jir. Otak lu mah cewe mulu.” Zaki memutar bola matanya.

“Paling latihan senin, di tempat biasa.” Jawab Rayhan.

“Kemarin koordesnya dateng kesini loh mampir gitu.” Sela Pak Adi mendengar mereka menyinggung keberadaan anak KKN di desa.

“Loh iya pak? Bukannya cuma yang cewe itu ya yang mampir? Saya kok galiat ada cowo.” Tanya Naufal.

Pak Adi tertawa. “Ya dia koordesnya.”

Zaki mengerutkan kening. “Koordesnya cewe pak?” Pak Adi sontak mengangguk. “Keren juga.”

Naufal menganga setengah tak percaya. “Gila sih, udah cakep, ramah, leadership tinggi. Tipe lu ga si Ki?”

“Lah, gue kira lu pengen ngomong tipe lu Pal.” Sela Rayhan, Naufal hanya menggeleng.

“Dari yang gue liat dan gue denger, dia terlalu hebat kalo gue yang maju buat deketin. Mending Zaki lah, biar ga malu” in.” Jelas Naufal membuat Pak Adi kembali menggeleng.

“Awas ya anak orang digangguin, dia keliatan baik jangan aneh-aneh.” Tegur Pak Adi membuat Naufal cengengesan.

“Emang pak si Naufal tuh.” Ucap Zaki sambil mendorong bahu Naufal dengan kakinya (lagi).

“Gue sumpahin lu demen se demen-demennya Ki kalo ketemu dia serius dah.” Balas Naufal tak mau kalah sambil melempar kulit semangka ke arah Zaki.

Sedangkan Rayhan? dia hanya menggeleng melihat kelakuan teman-temannya ini.

Senyum lebar menghiasi wajah Dinda sebaliknya ia dari warung semangka. Dia senang sebab dihari pertamanya, dia sudah bisa berkenalan dengan beberapa warga desa.

Tak jauh dari posko, dia melihat Juli dan Caterine sedang bersenda gurau di warung yang ia lewati tadi. Namun, karena sebelumnya tidak ada orang setelah mengintip beberapa kali, Dinda memutuskan untuk terus berjalan. Sekarang, sepertinya pemilik warung sudah ada. Dengan langkah riang, Dinda mendekat dan mendapati kedua temannya sedang duduk bersama wanita paruh baya yang dia tebak adalah pemilik warung.

“Nah ini bu, koordes kita. Namanya Dinda.” Jelas Juli, membuat Dinda reflek mencium tangan Ibu tersebut.

“Din, ini ibu ratna, yang punya warung.” Ucap Caterine. Dinda ber-oh ria.

“Ternyata koordesnya cantik ya.” Ucap ibu tersebut membuat Dinda tersenyum malu. Entahlah, pujian dari ibu-ibu lebih berhasil membuat dirinya memerah. “Duduk nak, ini ada kue dimakan ya. Jangan malu-malu.”

“Iya, makasih bu.” Jawab Dinda sopan.

Ditengah keseruan itu, Jojo pun lewat dan tertarik untuk ikut bergabung.

“Eh kalian pada disini?” Tanya Jojo, tak lupa mencium tangan ibu Ratna. “Saya Jojo bu, anak KKN juga.”

Ibu Ratna langsung menarik Jojo untuk duduk. “Jojo dari mana nak?” Tanya ibu Ratna.

“Abis nyari masjid bu.”

Ibu Ratna mengangguk paham. “Di masjid itu ada TPA juga, biasanya yang KKN kesini ikutan ngajar ngaji disana biasanya.”

Mendengar itu Dinda langsung menatap kearah Jojo yang kebingungan.

“Kalau kita mau ngajar ngaji, lapor kemana bu?” Tanya Dinda yang langsung diangguki oleh Jojo yang akhirnya paham.

“Biasanya lapor ke Ibu Intan, dia yang ngurus TPA masjid. Rumahnya pas dibelakang sini, tapi kamu lewat lorong kecil disana.” Jelas Ibu Ratna menunjuk sebuah lorong tak jauh dari tempat mereka.

“Bagus tuh Din, lo, Jojo sama Hanan bisa kesana buat ngajar juga.” Saran Caterine yang diangguki Juli yang tengah sibuk mengunyah kue bolu buatan Ibu Ratna.

“Iya juga ya, gimana Jo?” Tanya Dinda.

“Aman itu mah, gue malah seneng.” Balas Jojo dengan jempolnya.

“Anak-anak disana ngajinya abis sholat Dhuhur, jadi bisa sekalian dhuhur dulu baru ngajar ngaji.” Jelas Ibu Ratna lagi.

“Tapi bu, itu ada spanduk TPA juga di samping warung beda apa sama?” Tanya Jojo menunjuk spanduk berukuran 2x1 yang terbentang di depan rumah di samping warung Ibu Ratna.

Ibu Ratna tersenyum. “Itu beda, TPA itu suami ibu yang ngurus. Kebetulan suami ibu Imam Desa. Jadi, di Desa ini tiap dusun ada TPA nya karena kalau mau kesini atau ke masjid kan lumayan jauh ya tiap dusun nah karena tiap dusun juga ada Imam dusun, jadi dibentuklah TPA tiap dusun.”

Keempat mahasiswa itu ber-oh secara kompak.

Dinda kembali mengangkat tangannya refleks. “Kalau TPA pak Imam, anak-anaknya ngaji diwaktu yang sama ya bu?”

Ibu Ratna menggeleng. “Oh kalau TPA Madinah, ngajinya abis ashar.”

Dinda kembali bertatapan dengan Jojo. “Kalau gitu, kita ngajar di TPA Madinah juga boleh ga ya bu?” Tanya Jojo membuat Ibu Ratna tersenyum lalu mengangguk.

Jojo tersenyum senang lalu ber-high five dengan Dinda yang tak kalah senangnya.

Mereka kembali melanjutkan obrolan mereka hingga senja tiba.

Senyum lebar menghiasi wajah Dinda sebaliknya ia dari warung semangka. Dia senang sebab dihari pertamanya, dia sudah bisa berkenalan dengan beberapa warga desa.

Tak jauh dari posko, dia melihat Juli dan Caterine sedang bersenda gurau di warung yang ia lewati tadi. Namun, karena sebelumnya tidak ada orang setelah mengintip beberapa kali, Dinda memutuskan untuk terus berjalan. Sekarang, sepertinya pemilik warung sudah ada. Dengan langkah riang, Dinda mendekat dan mendapati kedua temannya sedang duduk bersama wanita paruh baya yang dia tebak adalah pemilik warung.

“Nah ini bu, koordes kita. Namanya Dinda.” Jelas Juli, membuat Dinda reflek mencium tangan Ibu tersebut.

“Din, ini ibu ratna, yang punya warung.” Ucap Caterine. Dinda ber-oh ria.

“Ternyata koordesnya cantik ya.” Ucap ibu tersebut membuat Dinda tersenyum malu. Entahlah, pujian dari ibu-ibu lebih berhasil membuat dirinya memerah. “Duduk nak, ini ada kue dimakan ya. Jangan malu-malu.”

“Iya, makasih bu.” Jawab Dinda sopan.

Ditengah keseruan itu, Jojo pun lewat dan tertarik untuk ikut bergabung.

“Eh kalian pada disini?” Tanya Jojo, tak lupa mencium tangan ibu Ratna. “Saya Jojo bu, anak KKN juga.”

Ibu Ratna langsung menarik Jojo untuk duduk. “Jojo dari mana nak?” Tanya ibu Ratna.

“Abis nyari masjid bu.”

Ibu Ratna mengangguk paham. “Di masjid itu ada TPA juga, biasanya yang KKN kesini ikutan ngajar ngaji disana biasanya.”

Mendengar itu Dinda langsung menatap kearah Jojo yang kebingungan.

“Kalau kita mau ngajar ngaji, lapor kemana bu?” Tanya Dinda yang langsung diangguki oleh Jojo yang akhirnya paham.

“Biasanya lapor ke Ibu Intan, dia yang ngurus TPA masjid. Rumahnya pas dibelakang sini, tapi kamu lewat lorong kecil disana.” Jelas Ibu Ratna menunjuk sebuah lorong tak jauh dari tempat mereka.

“Bagus tuh Din, lo, Jojo sama Hanan bisa kesana buat ngajar juga.” Saran Caterine yang diangguki Juli yang tengah sibuk mengunyah kue bolu buatan Ibu Ratna.

“Iya juga ya, gimana Jo?” Tanya Dinda.

“Aman itu mah, gue malah seneng.” Balas Jojo dengan jempolnya.

“Anak-anak disana ngajinya abis sholat Dhuhur, jadi bisa sekalian dhuhur dulu baru ngajar ngaji.” Jelas Ibu Ratna lagi.

“Tapi bu, itu ada spanduk TPA juga di samping warung beda apa sama?” Tanya Jojo menunjuk spanduk berukuran 2x1 yang terbentang di depan rumah di samping warung Ibu Ratna.

Ibu Ratna tersenyum. “Itu beda, TPA itu suami ibu yang ngurus. Kebetulan suami ibu Imam Desa. Jadi, di Desa ini tiap dusun ada TPA nya karena kalau mau kesini atau ke masjid kan lumayan jauh ya tiap dusun nah karena tiap dusun juga ada Imam dusun, jadi dibentuklah TPA tiap dusun.”

Keempat mahasiswa itu ber-oh secara kompak.

Dinda kembali mengangkat tangannya refleks. “Kalau TPA pak Imam, anak-anaknya ngaji diwaktu yang sama ya bu?”

Ibu Ratna menggeleng. “Oh kalau TPA Madinah, ngajinya abis ashar.”

Dinda kembali bertatapan dengan Jojo. “Kalau gitu, kita ngajar di TPA Madinah juga boleh ga ya bu?” Tanya Jojo membuat Ibu Ratna tersenyum lalu mengangguk.

Jojo tersenyum senang lalu ber-high five dengan Dinda yang tak kalah senangnya.

Mereka kembali melanjutkan obrolan mereka hingga senja tiba.

Dinda melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak di desa yang akan menjadi tempat tinggalnya selama 50 hari itu. Dia menarik napas sedalam-dalamnya menghirup udara yang sepertinya dia lupa kapan terakhir dia merasakan udara seperti ini. Sebagai seseorang yang menetap di ibukota provinsi Sulawesi Selatan dari lahir, dia hampir tidak ingat ada tempat se-asri ini disana. Kini perasaannya seaakan terbang bebas menikmati udara yang begitu bersih. Tdak ada asap motor yang akan membuatnya batuk. Jauh diujung jalan setapak ini, bisa dia lihat gunung yang menjulang tinggi dengan kabut tipis yang menutupi puncaknya.

“Seneng banget deh disini.” Senyuman terukir diwajahnya. Tidak lupa mengambil beberapa foto sebagai kenang-kenangan.

Dinda terus berjalan sampai menemukan sebuah warung yang menjual semangka. Ohiya, desa ini katanya terkenal sebagai salah satu penghasil semangka yang manis. Tidak heran dia melihat banyak warung semangka di sepanjang jalan menuju posko tadi.

Dia mampir ke warung itu dan disambut ramah oleh sang pemilik. “Semangkanya nak, bisa dicoba dulu.”

Dinda tersenyum. “Mau liat-liat aja pak.”

“Kamu disini ada perlu apa? Saya baru lihat soalnya.” tanya Bapak pemilik warung semangka.

“Oh saya KKN pak, baru aja sampe tadi siang. Saya niatnya mau jalan-jalan eh ketemu warung bapak jadinya mampir.”

Dengan sigap, sang pemilik warung memberikan kursi untuk Dinda. “Duduk nak kalo gitu, bapak siapkan semangkanya dulu.”

Tawaran yang begitu tiba-tiba membuat Dinda sedikit bingung. “Eh? Gausah pak gapapa.”

Pemilik warung semangka itu melambaikan tangannya. “Tidak apa-apa nak, bapak senang kalau ada anak KKN lewat atau mampir ke warung. Anggap aja ini sambutan selamat datang dari bapak, karena penyambutan nanti pasti bapak tidak bisa hadir.” Bapak itu tersenyum. “Harus jaga warung.”

Pemilik warung itu menyodorkan sepiring penuh semangka yang sudah diiris rapi. Mau tidak mau Dinda menerimanya, tidak enak juga kalau ditolak.

Sembari memakan semangka, Dinda dan pemilik warung bercerita panjang lebar tanpa sadar ada dua pasang mata yang melihatnya dari jauh.

Lala berdiri dengan cantik menyambut semua tamu undangannya. Gaun putih tanpa lengan melekat indah membuat dirinya terlibat lebih cantik dari biasanya. Hanya saja ada satu yang kurang, senyumannya.

Dia mengambil segelas lemontea lalu duduk di sofa. Sang bintang menghela napas berat saat sebuah suara jepretan kamera terdengar olehnya.

Nayla dan Sarah, sahabatnya. Dibelakang mereka ada Anan, Abian serta Azalea. Semua orang hadir, kecuali El dan Orion. Lala mengerutkan kening. “El mana?” Tanya nya membuat Abian tersenyum.

“Beneran nih sekarang jadi cewenya El?” Abian langsung menutup mulutnya saat Azalea menyikut perutnya pelan. Azalea membawa Lala ke pelukannya.

You look pretty, sayang.” Lala menyambut pelukan Azalea dengan senyum terpaksa.

“Cemberut mulu La.” Tegur Nayla yang malah membuat Lala semakin cemberut.

Sarah menggeleng. “Udah sih La, masa ultah sendiri ga seneng sih?”

Lala mengabaikan semua suara-suara itu hanya fokus menatap layar hpnya. Baik Orion dan Elano, keduanya tidak ada kabar. Bahkan ucapan selamat ulang tahun pun tidak.

Bunda Lala menghampiri mereka lalu menarik Lala ke ruang tamu. “Sayang, dimulai yuk acaranya.”

“Tapi Bun.”

“Gapapa, mulai aja. Udah telat ini sayang.” Kata Bunda membuat Lala mengangguk setuju.

Mereka mulai menyanyikan beberapa lagu lalu sampai pada saat pemotongan kue. Lala meletakkan pisau cake diatas ku ulang tahunnya lalu mulai memotong dengan pelan.

Tiba-tiba, sosok Elano muncul di tengah kerumunan dengan wajah panik.

Lala menatapnya. “El? Kok telat?” Lelaki itu langsung menarik lengannya membuat semua orang kebingungan.

“Ikut gue, La.” Ucap Elano terburu-buru.

“El, kenapa sih? Berenti dulu.” Lala menarik diri membuat Elano berhenti. Matanya menatap Lala gelisah, ada rasa takut disana.

“Kenapa si El?” Tanya Anan. Yang lain juga menatap Elano bingung menunggu jawaban dari lelaki itu.

“Orion.”

Lala menatapnya bingung. “Orion kenapa?”

“La.. Orion.. Orion, pesawatnya jatuh La.” Jawab Elano terbata-bata. Kalimat itu membuat semua orang terkejut kecuali Lala yang tidak tahu harus merespon seperti apa. Dia tidak bisa mencerna informasi yang baru saja diucapkan Elano.

“Maksudnya gimanasih? Ga mungkin, orang Orion semalem ngomong sama gue di telfon. Dia bilang gabisa nemenin gue kali ini karena sibuk, gamungkin dia di pesawat gimana ceritanya? Jangan ngaco ah!” Lala mengotak-atik layar ponselnya mencoba menelfon Orion namun tidak tersambung membuat air matanya mengalir tidak sengaja.

Elano menutup matanya, menenangkan diri lalu mencoba menarik Lala dalam pelukannya. Namun, gadis itu menolak. Dia tetap berusaha menghubungi Orion, ingin membuktikan bahwa sekarang, lelaki yang dia sayangi selama ini sedang tidur di apartmentnya. Tapi nihil, sambungannya tidak terhubung.

Nayla yang menangis dalam dia menarik Lala. “La, dengerin gue La. Orion mau kesini, nyamperin lo.”

“Ga deh Nay, jangan boongin gue. Udah jelas-jelas Orion bilang gabisa, pada kenapa sih?” Lala tetak menolak untuk mendengarkan semua orang.

Elano kini duduk di kursi teras rumah Lala dengan secangkir cappucino buatan sang Puan.

Wajah Lala terlihat lesu, lebih lesu dari hari-hari dimana dia merengek mengatakan bahwa dia rindu Orion.

Elano menatap perempuan itu lama, menunggu sang Puan menyampaikan isi pikirannya.

“Belakangan gue bareng lo mulu ya El?” Tanya Lala tiba-tiba membuat mata Elano membulat sempurna. Pasalnya, dia berpikir bahwa Lala akan bercerita tentang dirinya dan Orion tapi mengapa malah membahas hal itu.

“Ya kan gue bantuin lo biar ga kangen Orion.” Jawab Elano seadanya.

“Padahal gue punya Nayla sama Sarah, tapi kenapa gue repotin lo ya?” Tanya Lala dengan menopang dagunya dengan kedua tangan.

“Mungkin karena cuma gue yang bersedia bantu? Maksudnya, yang lain kan gamau direcokin sama lo.”

“Terus kenapa lo mau direcokin sama gue disaat yang lain gamau?”

“Kita kan temen, gue juga temen Orion. Dia juga dah minta bantu sama gue dari awal jadi ya gitu.”

Lala mengangguk paham. “Orion nanya El.”

Elano menatap Lala penasaran. “Nanya apa?”

“Gue sanggup ga nungguin dia, gitu.”

“Terus lo jawab apa?”

Lala menggeleng. “Gue diem.” Elano sontak menoyor kepala Lala. “Kebiasaan lo itu. Kalo bingung diem atau ga kabur. Kasian anak orang mikirnya macem-macem karena lo nya gitu.”

“Tapi gue balik nanya.”

Elano mengangkat alisnya. “Gue nanya, dia masih ragu sama gue apa engga? Soalnya gue sampe detik ini masih digantung.”

“Terus Orion jawab apa?”

Lala menggeleng. “Diem juga.”

Elano menggeleng heran. “Cocok lo berdua, sama-sama bego. Harusnya moment itu lo pake buat ungkapin apa yang lo rasain.”

Lala mencebik protes. “Ih gue ngomong ya!”

“Ngomong apa coba?”

“Ya gue ngomong kalo gue takut Orion ketemu cewe disana soalnya gue udah se-sayang itu sama dia. I said, I cannot imagine my days without you gitu.”

Elano tertawa. “Cringe banget sumpah La.”

“Anjing lo.”

“Tapi bagus si lo ngomong gitu. Biar Orionnya mikir terus lo ga digantung lagi.” Ucap Elano sambil menyesap cappucino yang dibuat oleh Lala untuknya.

“Gue takut aja El, sama semua kemungkinan yang ada. Disatu sisi gue gamau hts terus, tapi disisi lain ada hal yang bikin gue ragu. Makanya pas tadi telfon sama Orion gue langsung pura-pura tidur biar dia matiin telfonnya.” Jelas Lala membuat Elano menggelang tak habis pikir.

Lala hanya menunduk. Kebingungan memenuhi dadanya. Jujur saja, hubungan yang entah apa namanya ini membuat dirinya sedikit lelah. Hubungan tanpa nama yang dijalani melalui perantara hp adalah hal yang menguras ketenangan.