declipsee

Lala tersenyum senang saat nama Orion muncul di layar hp nya. Dengan cepat dia menggeser tanda hijau lalu menempelkan benda pipih itu di telinganya.

“IYOOONNNN” Seru Lala terharu.

Laaaa kangen Balas Orion di seberang sana.

Senyum Lala mengembang, setelah sekian lama akhirnya dia bisa mendengar suara Orion lagi.

La maaf ya, aku sering ilang Terdengar nada sedih saat Orion mengucapkan kalimat itu. Lala sontak menggeleng. “Gapapa, aku ngerti kok. Gausah minta maaf ya?”

Helaan napas Orion terdengar. Lala masih sanggup ga nunggu Orion?

“Maksudnya?” Dahi Lala berkerut.

Kamu sendiri tau, aku bakalan lama disini. Kita pun, maksudnya hubungan kita juga gada kemajuan dan makin hari komunikasi makin susah karena beberapa hal. Jadi aku nanya, kamu masih mau nunggu aku? Tepat saat Orion selesai, Lala terdiam. Tidak ada suara.

Lala seketika memikirkan hal tersebut. Apakah dia sanggup? Apakah perasaannya sudah cukup besar dan cukup kuat untuk menjalani hubungan tanpa nama ini?

“Kalau Orion gimana? Masih ragu sama aku?” Tanpa menjawab pertanyaan Orion, Lala balik memberikan pertanyaan yang membuat Orion ikut terdiam.

Orion tidak tahu harus menjawab apa. Dia juga seketika berpikir. Apa alasan dia menahan Lala selama ini dalam hubungan yang tidak jelas? Apakah memang perasaan tulus atau ada hal lain? Orion juga bingung.

“Kita ini rumit ya Yon?” Lala terkekeh. “Aku kadang takut Yon, kamu nemu cewe yang lebih segalanya disana dibanding aku. Cewe yang bisa nemenin kamu setiap hari, bukan cewe yang cuma gangguin kamu lewat spam-spam di imess. Because I swear to the God, Yon. I already deeply in love with you. I cannot imagine if there is no you.” Ungkap Lala namun Orion hanya terdiam. Pertanyaan lain kembali merasuki pikirannya. Pertanyaan tentang dia dan Lala, hubungan mereka. Hubungan yang entah apa namanya. Mereka teman, namun terlalu mesra untuk sepasang teman. Mereka kekasih namun terlalu asing untuk sepasang kekasih. Lalu? Apakah ini adil untuk Lala ataupun dirinya?

Banyak pertanyaan yang harus dia temukan jawabannya.

Lala? Tidak ada jawaban.

La?

Tidur yaa? Orion tersenyum, pasti perempuan itu ketiduran. Kalau begitu biarkan Lala istirahat, masalah pikiran aneh ini, dia akan temukan solusinya nanti.

Elano, lelaki yang sejak setahun belakangan selalu mencoba untuk masuk ke dalam hidup Lala mencoba mengobati lukanya namun masih saja gagal itu menatap punggung sang Puan di bawah cahaya jingga matahari yang mulai tenggelam.

Menjadi orang no. 2 Lala sejak Orion tidak lagi tinggal di Indonesia membuat rasa sayang muncul dalam dirinya untuk perempuan itu. Cinta datang karena terbiasa, mungkin kalimat itu cocok untuknya.

Disinilah dia, menatap Lala dari jauh. Sejak perempuan itu mengupload gambar pantai di akun twitternya, El langsung bergegas menyusul Lala. Dia hanya khawatir, maka dari itu dia hanya berdiei di belakang dan mengawasi Lala dari jauh. Tidak membiarkan sang Puan menyadari keberadaannya. Dia memang selalu begitu, peduli dalam diam. Menurutnya, hal itu lebih baik daripada harus melukai dirinya sendiri sebab mendengar nama lelaki lain yang selalu diagung-agungkan sang Puan.

Elano menghela napasnya saat tidak lagi menerima balasan dari Lala. Dengan malas dia beranjak dari tempat tidurnya menarik sweater yang tergantung di kursi belajarnya.

Di depan pagar rumahnya sudah berdiri perempuan yang sedang cengengesan melihat Elano keluar dari rumahnya. Elano menggeleng melewati Lala menuju garasi. “Gue ambil mobil dulu.” Mendengar perkataannya, Lala mengangguk antusias.

Kini Lala sudah duduk manis di dalam mobil Elano. Lelaki itu menatap Lala lelah tidak habis pikir dia akan benar-benar datang ke rumah Elano. “Lo nekat banget ya ampun La. Kalo Orion tau gue ngebiarin lo jalan kaki semalem ini ke rumah gue, gue bisa ditampol.”

Lala mencebir. “Orang cuma sebelahan kompleks, gausah alay.”

Elano menoyor kepala Lala membuat perempuan itu melotot tidak terima. “Tetep aja, liat sekarang jam berapa tuan putri? Lagian lo pasti keluar ga ngasih tau bunda lo kan? Emang bener-bener ini anak.”

“Gue kesini bukan pengen denger lo ngomel, ajak kemana kek biar gue ga kangen Orion.” Protes Lala.

“Ya lo mau kemana anjir jam segini?”

“Terserah lah, orang lo yang bawa mobilnya. Malah nanya gue.” Elano hanya tersenyum sabar. Malam ini dia terpaksa menjadi korban recokan Lala yang kangen Orion padahal hanya beberapa jam sejak Orion bilang akan take off. Jika begini saja Lala sudah uring-uringan, bagaimana nasib dirinya nanti? Elano tidak bisa membayangkan lagi.

Aruna duduk sendirian di ruang mekanik dengan tatapan kosong. Dia paling tidak ingin hal seperti tadi terjadi apalagi di lingkup tempat dia bekerja, namun apa daya. Ditambah kehadiran makhluk bernama Kava menambah rasa penat di kepalanya. Lelaki itu selalu punya cara untuk menyulut emosinya.

Tiba-tiba, sebuah botol air mineral terulur di depannya membuat perempuan berambut panjang yang diikat seadanya itu mendongak mencari tahu siapakah sang Tuan. Lelaki berlesung pipi dengan senyum aneh yang terlihat sangat dipaksa berdiri disana.

image

Aruna mengernyit melihat ekspresi Kava yang entah mengapa membuatnya sedikit takut. Perempuan itu lalu memalingkan wajahnya namun Kava menyodorkan kembali botol air mineral di depan wajahnya.

Aruna memutar bola matanya malas. “Please banget gue lagi gada mood buat berantem sama lo, pergi aja sana.”

Kava memutuskan untuk duduk di bangku kecil yang ada di depan Aruna. “Gue sebenernya mau minta maaf, tapi wa gue sama lo di blokir makanya langsung nyamperin.” Ucap lelaki itu serius.

“Gausah, gue gapeduli sama sikap lo. Gue juga belum mau minta maaf karena masih kesel, so please just leave me alone” Jawaban Aruna yang tak santai membuat Kava menggaruk lehernya yang tidak gatal.

“Bukan, minta maafnya hal lain lagi.” Kava kembali menunjukkan senyum anehnya. “Maaf, gue ga sengaja liat dan denger lo pas di basement.” Kava menatap Aruna ragu dan sedikit mundur untuk menjaga jarak, takut perempuan itu akan langsung memukul kepalanya.

Tidak ada respon dari perempuan di depannya membuat Kava mencoba untuk menjelaskan situasinya. “Jadi gue mau ke motor ngambil airpods terus ga senga-”

“Bisa ga lo gausah omongin hal itu lagi?” Potong Aruna sontak membuat Kava menutup mulutnya rapat-rapat.

Mereka berdua diam dan yang terdengar hanya deru napas. Kava melirik Aruna yang masih memasang wajah datarnya. “Tapi Run, you lucky because you still have your parents

Tepat setelah kalimat itu keluar dari mulutnya, Kava kembali memundurkan badannya ke belakang sebab Aruna menatapnya tajam. “You know nothing Kav, stop pretend you do.

I admit I have no idea about how is it feels by having parents since I was left by them when I was child.” Jelas Kava membuat tatapan tajam Aruna melunak.

I rather have no parents, not everyone deserve an emotional abusive parents. And because you never experience that one then you have no right to give any-” Aruna mengulum bibirnya lalu merutuki dirinya dalam hati. Terbawa emosi membuat mulutnya mengatakan hal-hal kurang pantas. “Sorry, i didn't mean to insult you.

Kava tersenyum, kali ini senyumannya menjadi lebih normal. “No need

“Maaf juga buat sikap gue yang kemarin.” Senyum Kava semakin lebar memperlihatkan lesung pipinya yang indah. “Buat yang itu sih ya emang harus minta maaf Run, jadi ya gue maafin.” Akhirnya Aruna mengakui kesalahannya. Dari percakapan singkat itu, setidaknya kebencian di dalam diri mereka terhadap satu sama lain bisa berkurang.

Aruna menghela napas saat matanya menangkap sosok wanita yang melahirkannya. “Mama ngapain sih kesini?” Tanya Aruna malas, sebenarnya dia sudah paham betul alasan mamanya menemui dirinya.

Mama Aruna menyalakan pemantik lalu membakar sebatang rokok yang entah sudah yang keberapa. “Bagi mama duit dong.” Sejak 3 tahun terakhir, mamanya menggunakan dirinya sebagai atm berjalan. Kejadian fatal yang menghancurkan hidupnya membuat wanita yang Aruna panggil mama itu menjadi tidak terkontrol. Kelakuan kedua orangnya tuanya akhirnya memaksa Aruna untuk berjuang sendirian.

“Gada, mama kira aku pabrik uang?” Jawaban Aruna malah mendapat hembusan asap rokok tepat di wajahnya. Aruna hanya memejamkan mata mencoba menahan emosi.

“Pelit banget sih sama mama Run? Mentang-mentang udah sukses malah lupa sama orang tua.” Senjata mama Aruna adalah kalimat seperti itu. Dia heran, bagaimana bisa mamanya berubah 180 derajat menjadi orang yang tidak pernah Aruna ingat sebagai mamanya. Sebelum peristiwa menyedihkan itu terjadi, mamanya bukanlah sosok seperti ini.

Aruna menghela napasnya. Dia sudah ada di ambang kesabarannya. “Ma, sampai kapan sih kayak gini? Mama ga capek? Aku capek ma.”

“Kamu pikir mama ga capek? Mama kayak gini biar mama bisa lupa Run sama semua masalah yang ada. Kamu enak, bisa kuliah, bisa magang di tempat bagus, dapet duit. Sedangkan mama? Mama luntang lantung Aruna!” Nada bicara mama Aruna meninggi membuat putri semata-wayangnya itu semakin lelah menghadapi mamanya. Apalagi ini dilingkungan tempat dia harus bekerja. Apa jadinya jika ada orang yang mendengarkan? Aruna tidak bisa membayangkan jika hal itu benar terjadi.

“Enak mama bilang? Enak dari mana ma? Hidup aku berhenti 3 tahun lalu ma! Pas mama mutusin buat ninggalin rumah dan papa punya istri baru yang aku bahkan gatau kapan mereka nikah! Kalian milih jalan hidup masing-masing tanpa pernah mikirin aku kedepannya gimana. Mama sama papa pernah mikir ga sih dampaknya ke aku gimana? Aku hancur ma! Hancur! Tapi apa? Aku bahkan berjuang biar ga kelihatan menyedihkan nyalahin takdir kayak mama!” Saat itu juga, pipi kiri Aruna memanas akibat telapak tangannya mamanya yang mendarat disana begitu cepat. Aruna mencoba mengatur napasnya, menahan diri agar tangisnya tidak pecah.

“Dasar anak gatau diuntung! Kalau mama tahu kamu bakal kayak gini, gaakan mama lahirin kamu dulu. Ini nih, hasil didikan papamu yang ga bermoral. Anaknya ikutan ga bermoral.” Mama Aruna mendecih lalu melenggang pergi meninggalkan Aruna dengan perasaan kacau.

Dengan kepala tertunduk Aruna melangkah menuju toilet. Dia mematut dirinya di depan cermin. Bisa dia lihat pantulan dirinya yang terlihat sangat menyedihkan dengan pipi yang memerah. Aruna tertawa lega, setidaknya dia tidak menangis kali ini. Entahlah, antara semakin kuat atau sudah tahan banting, Aruna sendiri tidak tahu ada di bagian yang mana dirinya saat ini.

Kava melangkahkan kakinya ke parkiran untuk mengambil airpods di saku jaket yang dia gantung di motornya. Langkah kakinya begitu santai sampai sebuah suara menghentikan langkahnya. Dia memperlambat langkahnya lalu menyembunyikan diri di balik salah satu tiang basement. Bisa dia lihat ada Aruna disana bersama seorang wanita paruh baya yang dia panggil dengan sebutan mama.

Her mom?” Gumam Kava. Sebenarnya, Kava bukanlah jenis orang yang ingin tahu masalah orang lain tetapi moment seperti ini memaksanya untuk tetap berdiri mendengarkan apa yang anak dan ibu itu bicarakan.

“Mama ngapain sih kesini?” Kava mengerutkan keningnya. Sejauh yang Kava tahu, bukan begitu nada bicara saat berhadapan dengan seorang ibu. Bisa Kava dengar dengan jelas, nada ketus Aruna bertanya apa urusan mamanya datang ke garasi.

Beberapa detik kemudian, Kava dikejutkan karena wanita yang Aruna panggil mama itu menyalakan pemantik lalu membakar ujung rokok miliknya ditambah kalimat yang dia ucapkan setelah itu. “Bagi mama duit dong.”

“Gada, mama kira aku pabrik uang?” Jawab Aruna.

Wanita paruh baya itu menghembuskan asap rokok yang baru saja dihisapnya ke wajah Aruna membuat perempuan itu menutup mata.

“Pelit banget sih sama mama Run? Mentang-mentang udah sukses malah lupa sama orang tua.”

Aruna menghela napasnya menatap mamanya tajam. “Ma, sampai kapan sih kayak gini? Mama ga capek? Aku capek ma.”

“Kamu pikir mama ga capek? Mama kayak gini biar mama bisa lupa Run sama semua masalah yang ada. Kamu enak, bisa kuliah, bisa magang di tempat bagus, dapet duit. Sedangkan mama? Mama luntang lantung Aruna!” Mama Aruna menaikkan nada bicaranya selagi Aruna memalingkan wajah. Dari situ Kava menarik kesimpulan bahwa hubungan Aruna dan mamanya tidak begitu baik.

“Enak mama bilang? Enak dari mana ma? Hidup aku berhenti 3 tahun lalu ma! Pas mama mutusin buat ninggalin rumah dan papa punya istri baru yang aku bahkan gatau kapan mereka nikah! Kalian milih jalan hidup masing-masing tanpa pernah mikirin aku kedepannya gimana.” Lelaki berlesung pipi itu meringis, merasa bahwa percakapan itu tidak seharusnya terdengar oleh dirinya. Oleh sebab itu, Kava memutuskan untuk beranjak dari sana. Dia hanya berharap tidak ada hal buruk yang terjadi setelah itu.

Kava termenung duduk di bangku kecil di samping motor yang nantinya akan menjadi teman balapannya. Motor yang beberapa menit yang lalu ingin dia rombak agar spesifikasinya cocok untuk latihan moto2. Agar dia semakin gigih dan bisa mencapai motogp dengan cepat. Hanya itu. Apakah salah? Kenapa Aruna bahkan Dirga tidak bisa melihat ambisinya? Toh ini juga demi nama tim, bukan hanya dirinya sendiri. Dia tidak merasa bersikap egois, tapi kenapa mereka mengatakan demikian? Apa kali ini bahkan tim engineer akan meninggalkannya?

Lelaki berlesung pipi itu menenggelamkan kepalanya kedalam lipatan tangannya. Ada banyak hal yang memenuhi kepalanya sehingga membuatnya pusing.

Tiba-tiba sebuah tangan memegang bahunya, Kava mengangkat kepalanya menatap sang Tuan.

“Dirga?”

Dirga hanya tersenyum, dia mengambil tempat disamping lelaki itu. “Kenapa? Kepikiran yang tadi?” Tanya Dirga.

Kava hanya diam, tak berniat menjawab. Melihat respon Kava, Dirga hanya menghela napas.

“Kav, i know you have a huge ambition, tapi untuk meraih ambisi itu lo gabisa sendirian. Lo butuh orang-orang yang bisa mendukung lo entah itu secara emosional atau material. Hal itu nyata, Kav. Let's say, you are the racer and i am the engineer. Mungkin kita cuma kenal sebatas itu, tapi dengan keberadaan masing-masing kita bisa sama-sama raih apa yang mau kita raih. Dunia ini berjalan seperti hukum sebab-akibat Kav.” Jelas Dirga. Dia kembali menoleh namun Kava terlihat seperti tak terganggu akan perkatannya. Dirga tersenyum.

Point gue adalah, semua orang punya hak dan kewajiban masing-masing. Kita gabisa cuma nuntut hak terus tapi kewajiban ga dilakuin. Hak lo adalah dapet motor yang lo mau tapi sebelum itu lo harus inget, kewajiban lo adalah berdiskusi sama engineer dan nemuin solusinya bareng-bareng, bukan memaksakan keinginan lo. Karena tanpa engineer jangankan motogp, lo bahkan gabisa nginjek sirkuit kecil Kav. Good luck.” Dirga berdiri dan menghilang dari sana. Meninggalkan Kava yang tanpa kata, memutar tiap ucapan yang dia ucapkan.

“Oke jadi buat hari ini, ada tambahan ga Kav masalah motornya?” Tanya Bang Aje.

Yang ditanya terlihat menimang-nimang sesuatu. “Mesinnya kalo diganti ke yang 500cc ribet ga?” Tanya Kava.

“Ribet. Gausah banyak mau.” Potong Aruna. Namun, yang lain masih mencoba mendengarkan penjelasan Kava.

“Maksudnya biar gue used to an engine that i will use gitu loh. Jadi gue ga kaget, paham ga maksud gue?” Lanjut Kava, memperjelas keinginannya.

“Bisa aja sih Kav, tapi kalau mesinnya diganti otomatis tangki, exausht dan spare parts yang lain juga harus dibongkar lagi buat nyeimbangin mesinnya.” Jelas Dirga, salah satu engineer.

“Nah, berarti bisa kan?”

Aruna menghela napas. “Lo ngerti ga sih? Emang bisa, tapi bikin pekerjaan makin banyak tau ga? Lo ga mikir apa gimana sih? Kita engineer tuh kalo mau ganti-ganti spare parts ga serta merta ganti terus udah, tapi pake banyak hal dari A-Z. Lagian, lo bisa ga sih ngehargain aja dulu kerja kita? Lo juga masih prepare buat moto3 dimana lo ya harusnya latihan pake mesin 250cc dulu. Lo mau latihan pake apa buat moto3 kalo yang ini mesinnya mau lo ganti?”

Kava tersenyum miring. “Bilang aja lo gasanggup, gausah banyak alasan.”

“Kava!” Tegur Bang Aje.

“Ya fakta kan bang? Tong kosong nyaring bunyinya.” Tuding Kava kepada Aruna.

Sebisa mungkin Aruna menahan diri agar tidak mengamuk. “Bukannya tong kosong nyaring bunyi nya itu lo ya? Sombong banget gue liat-liat, belum juga masuk moto3 udah kepepet banget mau naik tingkat. Lo ngerti proses ga sih? Pikirin orang lain juga, jangan egois!”

“Lo cuma dibelakang sirkuit, gapernah ngerti keadaan di sirkuit gimana.”

“Dan lo cuma di sirkuit, gapernah ngerti cara ngurusin mesin gimana. Bisanya cuma nyuruh-nyuruh seenaknya. Lo kalo gini terus gada yang tahan kerja sama lo, feels like a curse tau ga!” Aruna melempar papan evaluasi mesin yang dia pegang sedari tadi ke atas meja lalu meninggalkan bengkel dengan rasa kesal.

Bang Aje menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Gitu tuh bang kalo rekrut cewek buat join jadi tim. Ngambekkan.” Ucap Kava.

Dirga yang mendengar itu langsung menatap Kava heran. “Kav, maaf aja, tapi Aruna bener. Kalau mau orang-orang betah kerja sama lo, please pikirin orang lain juga. Jangan egois.” Jelas Dirga lalu beranjak dari sana.

Aruna menghela napasnya panjang saat sosok yang harus berboncengan dengannya hari ini sudah terlihat. Dia bersandar pada motor merahnya sembari meliuk-liukkan kepalanya sangat jelas tengah menanti seseorang.

Bang Aje pasti udah ngasih tau pikir Aruna. Dia berhenti tepat di depan lelaki jangkung berjaket denim itu. Aruna menaikkan kaca helmnya menatap Kava malas.

“Naik buru!” Suruh Aruna, namun Kava hanya diam tak menghiraukan dirinya. Aruna mengerutkan kening. “Lo budeg apa gimana? Naik!” Aruna sedikit menaikkan suaranya, takut yang ditemani bicara memang memiliki gangguan pendengaran. Namun, sang Tuan tetap tak bergeming memaksa Aruna memarkirkan motornya dan turun untuk memukul kepala Kava.

Kava meringis. “Lo gila?” Akhirnya dia merespon.

“Lo yang gila! Gue udah kepanasan nyuruh lo naik malah diem aja, nanti telat tau ga!” Balas Aruna ketus, sungguh, kesabarannya sudah bagai lava yang siap untuk meledak.

“Emang ngapain si lo kesini?” Tanya Kava bingung. Ya, dia memang bingung. Yang dia tahu, dia menunggu bang Aje, bukan perempuan kasar ini. Lagipula, dimana juga bang Aje itu, kenapa belum sampai-sampai.

“Ya Allah Ya Rabbi, eh denger ya! Gue juga ogah pick up lo, apalagi gue cuma bawa motor yakali boncengan sama orang macam lo najis banget sumpah. Kalo bukan Bang Aje yang minta tolong, gabakal gue buang-buang waktu muter jauh banget kesini.” Jelas Aruna meledak-ledak.

Kava tertegun, ternyata bukan Bang Aje yang akan menjemputnya tapi perempuan ketus yang Kava bahkan lupa namanya siapa. Tangannya dengan cepat menggulirkan layar hp dan menelpon bang Aje.

Halo? Udah ketemu Aruna? Jawab Bang Aje diseberang sana.

“Yaelah bang, kenapa ga Abang aja sih?”

Ya gimana Kav, gue udah di garasi. Gaenak mau pergi lagi. Udah lo bareng Aruna aja ya, gue tunggu.

“Bang?” Kava mendecak kala Bang Aje memutuskan sambungan telfon secara sepihak.

Aruna yang melihat tingkah menyebalkan Kava memutuskan untuk pergi.

“Yaudah, lo tunggu aja Bang Aje, gue cabut.”

Baru saja Aruna menyalakan mesin motornya, Kava menahan gagang spion Aruna dengan ekspresi yang aneh.

Tanpa bicara, Aruna hanya menatap Kava kesal.

“Gue ikut lo.” Ucap Kava terpaksa.

“Yaudah buru naik, gue kepanasan!” Protes Aruna. Namun, lelaki itu tak kunjung naik. Aruna kembali menatapnya bingung. “Lo beneran budeg ya? Naik!”

“Gue yang bawa motornya.” Kava mencoba menarik Aruna turun dari motornya namun Aruna juga bersikeras untuk tetap mengemudikan motor itu.

“Ga! Gue aja, kan motor gue.” Tegas Aruna.

“Yaelah, gue aja. Yakali gue cowok dibonceng sama cewek?”

Aruna menatap Kava heran. “Lo tuh emang suka banget ya bawa-bawa gender matter in every convo?”

“Lo mau telat ga? Anak magang kalau telat kata gue mampus si, gue mah aman soalnya racer tetap. Kalaupun ga di Suzuki, banyak kok yang pengen nerima gue. Lah lo? Kalo gagal magang kan nilainya anjlok.” Jawab Kava enteng. Memang benar kan? Jika Kava keluar dari Suzuki karena terlambat pun, masih banyak tim pabrikan yang dengan senang hati akan menerimanya sedangkan perempuan itu? Dia harus kembali ke kampus dengan laporan yang tidak selesai.

Aruna terlihat memejamkan matanya, Kava yakin, perempuan itu tengah berusaha setengah mati meredam amarahnya.

Aruna akhirnya menyerah dan turun dari motor, memberi kuasa penuh kepada sang pembalap yang sedang naik daun itu mengemudikan motornya. Hanya satu yang perempuan itu harap, semoga dia selamat sampai tujuan.

image

Lelaki berlesung pipi yang lihai melaju bersama motornya di sirkuit itu dipanggil Kava— Kava Bumantara.

Di umurnya yang masih muda, dia merupakan pembalap yang disegani di kalangan rider. Sejak penampilan debutnya 5 tahun lalu di Red Bull Rookie Cup dan berhasil menempati podium paling tinggi membuat namanya dikenal dimana-mana.

Bukan hanya itu, Kava juga seringkali memenangkan balapan regional dan mendapat banyak tawaran dari tim pabrikan salah satunya tim yang akhirnya berhasil menggaet Kava- suzuki.

Dengan segala pertimbangan dan diskusi bersama Bang Aje; personal manager Kava, dia akhirnya memutuskan memilih suzuki sebagai tim yang akan mengantarnya menuju impiannya- motogp.

Setelah keringat dan air mata yang dia kerahkan selama bertahun-tahun, dia akhirnya menemukan jalan untuk bisa melangkah menjadi pembalap dunia.

Kontrak dan segala macam sistematika penerimaan serta penyambutan telah selesai dilakukan Kava. Dia menatap jaket keanggotaan yang kini sudah ada ditangannya. Matanya berbinar, lesung pipinya terlihat, rasa bahagia menyeruak memenuhi dadanya.

“Makin deket, Kav.” Gumamnya.