declipsee

Kava melangkahkan kakinya menyusuri garasi baru milik Suzuki yang akan dia tempati mulai saat ini. Matanya mengamati keadaan garasi mencoba menemukan ruang mekanik yang menyembunyikan calon motor yang akan dia gunakan.

“Katanya sih masih test drive ya.” Gumam lelaki berlesung pipi itu. Suara deru mesin terdengar membawa langkahnya menuju mini sirkuit tak jauh dari tempatnya berpijak.

Matanya fokus memperhatikan proses test drive motor yang dia yakini adalah miliknya. Sang mechanic designer yang dengan lihai mengelilingi mini sirkuit tersebut lalu kemudian laju motor tersebut melambat.

Sang mechanic designer memarkir motor tersebut di parking board lalu terlihat mencatat beberapa hal di lembar evaluasi.

Mechanic designer itu menatap ke arah Kava dan tangannya terangkat membuka helm yang dia gunakan. Helai demi helai rambut panjang bebas tepat saat helm itu lepas. Kava yang baru kali ini bertemu seorang mechanic designer perempuan memasang raut wajah yang tidak dapat diartikan namun perempuan itu yakin, tatapan itu tidak berarti baik.

Dia yang ditatap aneh balas menatap Kava tajam. “Lo siapa? Ngapain kesini?” Tanya perempuan itu sedikit tidak santai.

Ditanya dengan nada yang kurang enak, membuat Kava menghela napas kasar. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana lalu menatap perempuan itu dari ujung rambut sampai ujung kaki.

image

“Oh kalian udah ketemu?” Tanya Bang Aje yang telah tiba entah kapan memecah ketegangan diantara mereka berdua. Bang Aje menatap Kava dan perempuan itu bergantian lalu memutuskan untuk saling memperkenalkan kepada satu sama lain.

“Jadi, Kava, ini Aruna. Mechanic designer tim kita, dia anak magang tapi jangan diraguin skillnya bukan main.” Jelas Bang Aje lalu beralih menatap Aruna.

“Aruna, ini Kava, racer yang bakal lo urusin segala macam permesinannya mulai hari. Jadi, gue pengen kalian akur karena kita bakalan kerja sama dalam waktu yang lumayan lama. Inget, kepentingan tim diatas segalanya.”

“Yang bener aja bang, cewe?” Tanya Kava tidak yakin. Pertanyaan itu pastinya terdengar seperti sikap pandang enteng hanya karena dia perempuan.

“Gausah banyak ngomong, liat hasil aja.” Bukan Bang Aje melainkan Aruna yang menjawab Kava dengan nada sarkas membuat lelaki berlesung pipi itu mencibir.

“Better you did everything right, sampe nanti ada masalah terus lo bawa-bawa gender awas aja.” Sahut Kava.

Aruna tertawa. “Said the one who started to bring the gender matter on the table. Kocak lo.” Aruna hanya menatap Kava tidak suka lalu melenggang pergi.

Bang Aje menghela napas, kali ini bukan hanya Kava, tapi Aruna juga terlihat seperti orang yang sulit diberi tahu. Semoga saja dugaannya salah.

image

Kava tersenyum menatap surai panjang yang tertiup angin. Sosok itu menatap derai ombak yang memerah karena bersatu dengan langit dan mengantar mentari menuju peristirahatannya. Sungguh sebuah nyaman dalam banyak kacau.

“Kava, sini.” Ditariknya tangan Kava membawa jemari mereka saling bertaut.

“At least there is a moment in my life that don't make me worried and its because i am here with you, Aruna.” Lesung pipi Aruna terlihat kala senyumannya mengembang.

Aruna menatap Kava tepat di matanya. “Same thing goes to me, Kava.”

Wajah Kava memerah membuat memalingkan pandangan. Mereka mengenang memori demi memori yang telah terpatri dalam angan sejak hari dimana mereka mengenal satu sama lain.

Salah dan benar, gundah dan gelisah, canda dan tawa, sedih dan bahagia, amarah dan kecewa membentuk jalinan yang kuat. “Lo inget pas hari dimana kita berantem hebat?” Pertanyaan Aruna sontak membuat Kava kembali menatapnya.

Dahi Kava berkerut, prakarsanya berkelana mencari potongan yang dia sadari telah memudar. “Sehebat apa Run? Kok gue ga inget?” Aruna menghela napas. Perempuan itu berdiri menghadap Kava dengan tangan terlipat di depan dadanya.

“Parah banget masa ga inget.” Aruna menatapnya bingung namun ekspresi Kava yang tidak kalah bingung membuat dia akhirnya menyadari bahwa memori itu luput dari angan Kava.

“At my first ever birthday party, we celebrate it. Lo nyiapin semuanya bareng temen-temen lo but ended up, i fucked it up just due to my ego. I am sorry, gue gapernah minta maaf buat hal itu so i decide i will apologize for it today. Since today's feel so amazing.” Raut wajah Aruna sedikit tidak yakin karena takut rasa kesal Kava hari itu kembali menimbulkan perdebatan diantara mereka, lagi.

Namun, anehnya Kava terus mencoba mengembalikan ingatan itu tetapi nihil. Dia merasa hal seperti itu tidak pernah terjadi dalam hidupnya. “Run, wait but i didn't remember any stuff related to that one. Sumpah.”

Reaksi Kava membuat Aruna menatapnya heran. “Kok bisa ya?”

Lelaki itu menggeleng tidak mengerti. Entah apa yang terjadi, rasanya seperti ada hal yang salah. “Just tell me about that day. I want to know.” Perempuan itu menatap Kava penuh ragu.

“I won't mad, I promise.” Kava mendudukkan dirinya diatas pasir pantai yang putih menarik lembut lengan Aruna yang ikut duduk disampingnya. “Abis itu gimana ceritanya?”

Kava menopang dagunya sambil menatap Aruna yang mulai bercerita.“So after that, we argue. I hate that part but still I have to tell. Gue ngomong banyak hal yang seharusnya ga pernah keluar dari mulut gue. Gue nyakitin lo banget malam itu. I don't even ask an explanation, I just blame you. I am out of control then yes you leave. Temen lo juga. Abis itu gue dapet telfon lo kecelakaan.” Bulir air mata Aruna mulai menetes lantas Kava panik setengah mati. Tangannya terulur mengusap air mata Aruna saat sebuah dentuman keras terasa menimbulkan pening yang hebat.

Sebuah kilatan memori melesat seperti angin masuk dengan paksa ke kepalanya. Aruna sontak panik dan memanggil nama Kava berulang kali.

Bayangan saat dirinya terlempar setelah body motornya terhantam truk. Rasanya waktu bergulir begitu cepat dan dia sudah terhempas ke badan jalan. Samar-samar dia dengar orang-orang mulai berkumpul dan kesadarannya mulai hilang.

Kava tersentak, badannya penuh peluh. Nafasnya memburu. Mimpi itu lagi, pikirnya. Kejadian enam tahun lalu, masih menjadi mimpi yang mengganggu. Kacaunya semakin parah, nyamannya lenyap. Kava hidup dalam ruangan tanpa celah, ruangan yang tidak mengizinkan setitik cahaya pun masuk menyinarinya. Andai saja, hari itu dia tidak marah. Andai saja, pertengkaran itu tidak pernah terjadi. Andai saja, dia tidak mencoba melangkah masuk ke dalam zona Aruna terlalu jauh. Rasa sesal yang menusuk dadanya tidak akan pernah bebas dan akan memberikan sengsara yang tiada duanya.

Caca merebahkan tubuhnya diatas camping bad yang tebal setelah hampir 1,5 jam mendirikan tenda dan perabotan camping lainnya.

Sementara kekasihnya, membuka kaos putih yang sejak tadi dia gunakan karena basah oleh keringat.

Caca menatap kekasihnya itu, badannya selalu tampak menggoda ketika sedang berkeringat.

‘Kok liatin kayak gitu?’ tanya jihoon dengan alis terangkat sebelah.

Namun, sang kekasih hanya tersenyum nakal sembari menggigit bibirnya. Kakinya yang berada dilantai dibiarkan mengangkang memperlihatkan gundukan yang hanya ditutupi gstring itu mencoba mencuat keluar dibalik dressnya yang sudah tersibak sampai ke paha.

Jihoon tertawa. ‘kamu jangan mancing aku ya ca, kita lagi pengen camping ini bukan mau ngewe sayang’

Jihoon berjalan mendekati kekasihnya yang tetap melancarkan aksi untuk menggodanya. Dia berbaring menghadap Caca dengan tangan yang menumpu kepalanya.

Tangannya terulur membelai rambut kekasihnya itu. ‘eunghh sayang’ desah caca membuat jihoon tidak habis pikir.

Wanita itu sudah mendekatkan wajahnya siap melumat habis bibir milik jihoon namun lelaki itu langsung berdiri.

Caca mencebik lalu memutar badannya telungkup. Tak lama kemudian dia bisa merasakan tangan besar jihoon menggerayai pahanya menekan dua gundukan yang tersembunyi disana.

‘ahh’ eluh caca saat gstringnya sudah tak berbentuk dan jari jihoon lolos ke dalam vaginanya.

caca berbalik, melihat jendela tenda camping kembali tertutup. dia tersenyum ternyata jihoon tadi sedang menutup semuanya.

caca tetap telentang melihat wajah kekasihnya dari atas menjilati vagina miliknya sambil meremas payudaranya yang masih terbungkus bra namun sudah keluar dari cup.

‘ahhh sayang eungh’ caca menarik wajah jihoon lalu melumat bibir kekasihnya itu sedangkan jihoon tetap memainkan jarinya di vagina caca sembari jempolnya menekan klitoris wanitanya membuat bagian inti yang dikoyak itu semakin becek.

caca meraih resleting celana jihoon menarik penis besar yang sudah mengeras keluar dari boxernya. mengurutnya perlahan membuat sang pemilik melenguh dan melepaskan ciumannya.

‘my turn sayang’ caca tersenyum saat jihoon berdiri dan membiarkan dia mengulum penis lelakinya itu.

‘ssh caca you become a pro i lov- aahh you got me’ desah jihoon saat caca mulai mengulum bola penisnya dan memilin ujungnya.

hari ini, persetubuhan mereka berjalan dengan sangat pelan namun nikmat. tidak terburu-buru namun tetap intens.

entah kapan keduanya sudah telanjang dan bergumul diatas camping bad yang mereka pompa dua jam yang lalu.

caca mendongak merasakan kenikmatan dari isapan jihoon di payudaranya. tubuhnya membentuk curva saat jari jihoon kembali bermain di klitorisnya. ‘ahh aku suka banget kalo kamu nyubit memek aku ji eungh’

‘sayang, im in okey?’ tanya jihoon yang mendapat anggukan cepat dari caca yang sudah tidak bisa berbicara namun terus mendesahkan kenikmatan yang diberikan oleh jihoon.

‘a-ahh slow-mmhh yes right there aah’ racau caca saat jihoon mulai memompa vaginanya dengan pelan membuat tiap inci penis jihoon sangat terasa di dalam dirinya menusuk hingga titik lemahnya.

kaki caca bergetar ketika jihoon sesekali menyentak pinggulnya keras lalu kembali bermain pelan.

‘do you love me sayang hm?’ tanya jihoon menarik caca duduk menatap matanya.

‘i love yo- aahh i do sayang. moree’ caca memeluk jihoon memajukan pinggulnya tidak ingin ada jarak diantara inti tubuh mereka.

‘you love me more or you want my dick more?’ jihoon semakin memperlambat temponya membuat caca menggila dan menggoyangkan pinggulnya tidak sabar. jihoon yang sengaja menggoda kekasihnya itu kini berbaring menahan pantat caca agar wanitanya bisa merasakan penisnya menusuk memeknya.

‘aahh stop play with me, i want your dick mor- AH WHY YOU MAKE ME WAI- mmhh’ kacau. ucapannya sudah karuan saat jihoon kembali menusuk memeknya dengan keras.

jihoon tersenyum puas melihat caca tersiksa namun tetap memohon untuk terus di entot. ‘begging darling, begging for my dick’

jihoon kembali berhenti dan caca kembali menggila ‘OH GOD PLEASEEE sayang i beg you. fuck- yeah’

kaki caca kembali bergetar saat dirinya dibanting san dihujam penis dengan keras. kini camping bed itu sudah bergerak kesana kemari mengikut gerakan jihoon yang terus memompa vagina caca yang memerah.

jihoon terjatuh memeluk caca bersamaan dengan spermanya yang menghambur kedalam vagina wanitanya itu.

caca tersenyum lalu mencium pipi kekasihnya itu.

‘so how? having sex in a tent?’ tanya jihoon tepat di samping telinga caca.

‘unbelievable’ bisik caca mengundang tawa dari jihoon. mereka berdua akhirnya terlelap dalam posisi telanjang dan berpelukan.

Elena terbangun karena mendengar suara berisik dari luar kamarnya. Dia mengernyit mempertajam pendengaran. Kerutan di dahinya hilang saat tahu suara itu adalah suara kekasihnya, Jake.

Dia beranjak dari kasur dan melangkah keluar menemui Jake.

Elena melirik jam. “Jam 1?”

Dengan kaos besar milik Jake dengan rambut yang berantakan khas bangun tidur membuat Jake yang masih memaki seseorang dibalik telepon sontak menghela napas dan memutuskan sambungan teleponnya.

“Kok belum tidur?” Tanya Jake yang langsung duduk di sofa.

Elena ikut duduk disebelahnya memeluk lelaki itu, tahu bahwa saat ini dia butuh dihibur.

“Kenapa?” Tanya Elena yang sudah ada dalam rengkuhan Jake yang masih mengenakan suit lengkap.

Jake hanya menggeleng. “Company problem”

Elena mendongak menatap wajah lelah kekasihnya itu. Lalu tanpa perintah tangannya mulai mengelus dada bidang Jake.

“Le.” Tegur Jake saat tangan Elena sudah berada di atas kejantanannya.

“Kenapa sih? Kamu lagi burn out kan? Aku bantu.” Perempuan itu mulai memijat milik Jake pelan membuatnya mulai bergerak resah.

“Le, aku masih harus rapat habis ini.” Jake mencoba memperingatkan kekasihnya itu untuk berhenti sebelum dia menyesali perbuatannya.

Namun, Elena tetaplah Elena. Jika Jake melarangnya melakukan sesuatu maka dia lebih memilih melakukan hal yang dilarang itu. Untuk apa? Sederhana, agar Jake marah.

Semakin tinggi tendensi emosi Jake, semakin menyenangkan baginya. Karena hal itu akan membuat dia tidak diampuni, di atas ranjang.

Dan disinilah Elena sekarang, entah sejak kapan dia pindah ke pangkuan Jake bergerak tak senonoh memberi sinyal kepada sesuatu dibalik celana Jake memberontak.

Tangan Jake meraih pinggul Elena yang langsung tersentak.

Tatapan tajam mata Jake membuat dia tersenyum dan menghentikan gerakannya.

“Le, you know me. Aku orangnya gasabaran.” Peringatan dari Jake justru membuat Elena melenguh.

“Then why hesitate, huh?” Elena kembali menggerakkan pinggulnya membuat Jake mendecak sebal.

Dia bisa saja memberi pelajaran kepada Elena saat itu juga namun rapat yang harus dia lakukan sebentar lagi merupakan rapat penting dengan client dari Tokyo.

“Persetan.” Jake melonggarkan dasinya dengan satu tarikan dan memutar posisi dengan Elena yang kini sudah ada dalam kungkungannya.

“Kita ga akan lama, i'll leave you when the meeting start in 30 minutes” Ucap Jake yang diangguki Elena.

I'll do the rest aku ada kejutan buat kamu.” Jawaban Elena sebenarnya membuat Jake semakin tidak ingin rapat dilakukan. Namun apa daya.

Jake yang tengah diburu waktu melepas ikat pinggangnya dan mengikat kedua tangan Elena di kaki sofa membuat dia tidak akan bisa menggerayai apapun.

Jake mendekatkan wajahnya membuat perempuan itu mengangkat kepalanya hendak mencium Jake namun kekasihnya itu menjauh.

“His smirk” Ucap Elena dalam hati.

Jake kembali mendekat ke samping wajahnya membisikkan sesuatu. “That's your punishment, no kissing

Fuck you.” Maki Elena. Dia tidak menyangka bahwa Jake akan menghukumnya seperti ini, Bagi Elena, ciuman merupakan sebuah pengantar yang sangat penting dalam berhubungan. Semuanya akan terasa intim apalagi ketika disela ciuman itu tangan besar Jake memajakan dirinya.

“I will, sayang.” Tangan Jake menyingkap celana dalam milik Elena dan langsung menekan titik kelemahan kekasihnya itu dengan keras.

Elena memekik dan sontak merapatkan kedua pahanya. Dia merutuki dirinya yang kini tak berdaya karena perbuatannya sendiri.

Melihat ekspresi senang Jake yang menyiksa dia dibawah sana tanpa ciuman sedetik pun membuat dia sangat frustasi. Bukan ini hukuman yang diinginkannya.

“Jake, kiss me ple- ahhh.” Desahan lolos dari mulutnya.

Jake tersenyum puas, jarinya kembali menekan klit Elena tanpa ampun.

“I know you want me trapped in your leg rock sayang.” Jake dengan suara berat dan ucapan kotornya selalu menjadi hal yang membuat Elena menggila. Karena demi Tuhan dia ingin itu sekarang juga. Harga dirinya melayang saat dia mendapati ekspresi puas Jake melihat tubuhnya bergetar hanya dengan permainan di klitorisnya.

“Jake ahh, aku janji gabakal gitu lagi tapi please jangan kayak gi- ahh kayak gini iya ahh Jake.”

Lelaki itu tersenyum mendengar Elena memohon, lantas untuk mewujudkan keinginan kekasihnya itu dia memasukkan satu jarinya ke dalam milik Elena yang sudah becek.

Lenguhan Elena memenuhi ruang tamu apart mereka. Elena merasa pusing saat gerakan tangan Jake kembali pelan saat dia melihat Elena mulai menikmati permainannya.

Jake melirik jam, 15 menit telah berlalu. Dia akan fokus menghukum Elena saja dan meminta maaf nanti.

Selagi tangan kanan Jake mengoyak milik Elena dibawah sana, tangan kirinya bergerak menyusup kedalam kaosnya dan meremas buah dadanya yang tidak terbalut bra.

“JAKE NO, NOT THE NIP- AHH FUCKK” Elena bergerak tak karuan saat dirinya diobrak-abrik oleh kedua tangan Jake.

Jake selalu tahu kelemahannya dan akan menggunakan kelemahan itu sebagai hukuman saat Elena tidak menurut. Namun, saat sebuah hukuman berubah menjadi permainan yang menyenangkan bagi Elena membuat Jake menciptakan hukuman baru yang lebih menyiksa dari sebelumnya.

“Kamu kapan sih mau dengerin kata aku Le? Kasian kamunya kan kalau gini?” Tanya Jake dengan lembut.

“Bacot! Just put your dick insid- Ahhh o-okey Jake i'll behave but please” Elena merasa dirinya akan menangis sebentar lagi. Dia menginginkan Jake sekarang. Tetapi lelaki bajingan yang juga kekasihnya itu malah beranjak dan mengambil ponselnya.

Elena menatap jam dan langsung merutuki dirinya. Rapat sialan itu sudah harus dimulai dan Jake meninggalkan dirinya yang berantakan tanpa sebuah persenggamaan.

“Hey, kok sedih? Aku gajadi rapat kok.” Jake datang dengan cekikikan sambil membuka celananya menampilkan miliknya yang sudah tegang dan tersiksa daritadi.

“I do will fuck you sooner tapi liatin dulu apa kejutan kamu. Ok?” Jake membuka ikatan ikat pinggang di tangan Elena lalu mencium perempuan itu dengan terburu-buru.

That's it ini yang diinginkan Elena. Ciuman panas dari Jake yang selalu memabukkan menuntunnya untuk duduk diatas pangkuan Jake mempertemukan miliknya yang memohon dimasuki sejak tadi.

Namun, alih-alih memasukkan milik Jake kedalam miliknya Elena hanya menggesekkan klitorisnya dengan twins ball milik Jake dan malah memainkan batangnya.

Dengan pelan tangan kecil Elena mengelus, memijat dan mengocok pelan kejantanan Jake sehingga lelaki itu melenguh di tengah ciuman mereka.

Jake menarik diri menatap Elena dengan heran. Sensasi yang baru dia rasakan membuat dia akhirnya berdiri memberi kesempatan untuk Elena melakukan apa yang dia inginkan.

Elena mulai berlutut di depan kejantanan Jake yang berdiri sejak tadi. Tangan Jake juga bergerak mengumpulkan rambut Elena yang tergerai lalu menahannya dengan senang hati.

Jake mengamati wajah cantik kekasihnya itu dari atas. Kombinasi wajah cantik dengan pipi kemerahan serta mulut kecilnya yang kini kewalahan memberikan pelayanan terbaik untuk kejantanan milik Jake tampak sangat menggoda. Namun, Jake harus bersabar.

Dengan pelan, Elena mulai menggerakkan kepalanya menelan kejantanan Jake tak lupa memainkan twins ballnya membuat Jake sedikit kewalahan.

“A-ah Le.” Tangan Jake yang menganggur akhirnya menuntun kepala Elena untuk bergerak.

Kedua mata Jake terpejam merasakan dirinya berada dalam kuluman Elena.

Tak jarang Elena menyesap kepala kejantanannya membuat Jake bergidik. “A-ah Elena, its better than before sayang.

Elena tersenyum mendengar pujian yang keluar dari mulut seorang Jake bersama dengan desahan yang selama ini dia dambakan.

“A-ah, Le ughh that's what i want.” Setelah itu hanya desahan yang keluar dari mulutnya.

Elena yang merasakan perubahan dari ukuran kejantanan milik Jake mengeluarkan batang besar itu lalu membiarkan cairan yang keluar mengenai buah dadanya. Jake menatap Elena tepat dimatanya.

Tangan besar Jake terulur menepuk pucuk kepala kekasihnya itu. “Proud, you improved.”

Elena tersenyum senang lalu mendudukkan dirinya di atas meja dengan kaki mengangkang. “Now, its your turn to rock between my leg.”

Caca masuk dengan terburu-buru serta tubuh yang basah karena sejak setengah jam yang lalu, air turun dari langit; dan dia menerobos hujan itu untuk menemui kekasihnya, Jihoon yang sedang terluka karena bertengkar hebat dengan Yeonjun. Jihoon sedang berada di kosan milik Junkyu yang entah dimana rimbanya sang pemilik kamar itu karena yang ditangkap indra penglihatan Caca hanyalah Jihoon tak ada orang lain.

Caca menatap kekasihnya itu lelah. Hubungan gelapnya dengan Yeonjun ketahuan dan benar saja, keduanya baku hantam. Namun, keahlian Jihoon dalam bela diri membuat dia masih bisa menatap Caca dengan wajah cemberut sebab sang pujaan hati tak bergeming.

“Sayang, kok disitu aja? Sini.” Rengeknya.

Caca mendengus menghampiri lelaki itu. Perut berotot itu memiliki bekas lebam dimana-mana. Caca dengan pelan mengusapkan salap membuat lelaki itu kerap kali meringis.

“Kamu kenapa sih pake berantem segala?”

Bisa Caca lihat ekspresi Jihoon berubah seketika. Dahinya berkerut. “Kenapa? Kamu khawatir aku abisin Yeonjun? Shh sakit Ca.”

Ringis Jihoon kesakitan saat Caca menekan lukanya.

“Sembarangan! Aku tuh gamau liat kamu luka kayak gini!”

Jihoon mengangkat tangannya mengusap pipi perempuan itu lembut.

“Maaf ya Ca, i treat you bad, he said Aku kasar.” Caca menatap Jihoon sedih, bukan begitu maksudnya.

Ya harus Caca akui, having sex bersama Jihoon yang selalu mendominasi membuat dia menemukan sensasi baru saat berhubungan dengan Yeonjun yang bermain dengan pelan dan membuat Caca bergerak lebih banyak. Tapi, bukan berarti Caca tidak suka cara Jihoon memompa dirinya.

“Ga gitu, i love yours more than anyone else. Jujur, aku emang sempet maen sama Yeonjun karena dia bikin aku bergerak banyak jadi ada sensasi baru aja but it doesn't mean you are bad. Please don't day that again. Aku sedih.” Jelas Caca membuag Jihoon tersenyum.

Jihoon menatap Caca tanpa ekspresi sehingga Caca bisa merasakan tatapan itu tajam dan menembus jantungnya. Jihoon tidak perlu melakukan apa pun; tidak perlu effort lebih untuk membuat Caca mabuk seketika; untuk membuatku jatuh; untuk membuatku kehilangan akal sehat.

Dia cukup menjadi Jihoon, kekasihnya. Cukup diam lalu menatapnya sedalam yang Jihoon bisa dan Caca sudah sadar bahwa sampai kapanpun, dia adalah milik Jihoon.

Tak ada protes; tak ada perlawanan; Jihoon menarik Caca kepangkuannya dan mengusap punggungnya yang terbungkus kaos yang basah.

Tangan kekar Jihoon bergerak membuka baju Caca menampilkan dua buah dada yang menggantung tertahan oleh bra berwarna hitam.

“Nanti kamu sakit.”

Caca tertawa. “Modus.”

Caca mulai menggerakkan pinggulnya menyentuh penis Jihoon yang terbungkus boxer bertuliskan Calvin Klein.

“Ahh Ca, kamu basah.” Jihoon lalu mengangkat perempuannya itu lalu menyingkap celana pendek yang dia kenakan beserta celana dalamnya.

Caca menarik boxer Jihoon menampilkan penisnya yang sudah berdiri dan mulai mengeras.

Damn.

Bisa Caca lihat tatapan meminta dari Jihoon membiarkan dia bergerak lebih dulu.

Caca lalu membuka bra nya lalu meraih tengkuk Jihoon membuatnya bisa merasakan hembusan nafas yang membuat aliran darahnya mendidih. Caca duduk tepat di depan kepala penis Jihoon dan langsung bergetar. Jihoon tertawa melihat kekasihnya memimpin permainan. Ekspresi penuh birahinya terlihat begitu menggemaskan di mata Jihoon.

Ciuman mereka dimulai dan semakin lama semakin dalam dan menggairahkan. Caca on her knee. Dia mengalungkan lengannya pada leher Jihoon dan menekan sedikit tengkuknya. Lumatan Jihoon serta gerakan digerbang liangnya membuat Caca mengeratkan kedua pahanya mencapai orgasme pertama.

Dia menatap Jihoon dengan senyuman.

“Sekarang giliran aku ya?”

Caca mengangguk. Masih dalam pangkuan, Jihoon menarik pinggang Caca membuat perempuan itu meringkih karena penis Jihoon semakin menekan klitorisnya.

“Ahhh.”

“Sabar sayang.”

Tangan Jihoon menjalari seluruh perut Caca, lalu berpindah ke punggung. Dia meremas buah dada Caca cukup membuat perempuan itu kelojotan.

“Ahh Jihoon eumhh.”

Dengan gerakan kecil, Jihoon berhasil memasukkan penisnya kedalam vagina Caca membuat dia semakin mempercepat gerakan pinggulnya di pangkuan Jihoon.

Jihoon membaringkan tubuhnya membiarkan Caca bergerak dan dia mengisap buah dada Caca bergantian.

image

Desahan demi desahan memenuhi kos milik Junkyu.

“Ahhh Jihoon a-aku ahhh.. Mau cepet ahh aku capek eunghhh.”

Jihoon tahu, Caca sudah dekat dengan orgasmenya menukar posisi membaringkan Caca lalu mempercepat genjotannya.

“Ahhhh ahh im close ahhh.”

Cairan keluar dari lubang Caca membuat Jihoon mengeluarkan penisnya.

Caca menatapnya heran. “Sayang? Kamu belum nyampe kan? Kok dilepas?”

I want thight fuck.” Jihoon tersenyum mengangkat Caca yang kebingungan.

Jihoon memposisikan dirinya dibelajang Caca yang bertumpu pada pahanya yang dirapatkan oleh Jihoon.

Tangan Caca dipegangnya dan ditarik kebelakang lalu Jihoon memasukkan penisnya diantara kedua pangkal paha Caca dekat dengan lubang vagina dan klitorisnya.

Dia memompa penisnya yang bergesekan langsung dengan paha serta klitoris Caca membuat perempuan itu merasakan kembali kenikmatan tiada tara yang tertahan dan membuatnya gila.

Air matanya jatuh karena demi Tuhan rasanya seperti dia sedang terbang. Sensasi yang diberikan oleh gesekan penis Jihoon dengan paha dan klitorisnya membuat hasratnya meminta lebih. Ingin rasanya Caca menggunakan tangannya mengarahkan penid Jihoon agar menggenjot vaginanya yang gatal namun apa daya tangannya dikungkung oleh Jihoon membuat kenikmatan itu tertahan dan mengalir seperti sebuah air mata.

How does it feels, sayang?” Bisik Jihoon di telinganya.

So fucking good. Liat dimana sih kayak gini? Ahhh harder bab- YESS AHHH

Satu tangan Jihoon mengungkung kedua lengan Caca layaknya sebuah borgol dan satu tangannya lagi tak tinggal diam mengoyak klitoris Caca membuat lututnya kehilangan kekuatan.

Caca bisa merasakan ukuran penis Jihoon yang mulai berubah dan dia mempercepat gerakannya.

Jihoon menarik Caca memeluknya dari belakang dan meremas buah dadanya tak lupa meninggalkan kissmark di bahunya.

Cairan sperma Jihoon menyembur diantara pahanya.

Nafas keduanya tersengal.

“Caca.. i bet you can't sleep tonight sayang.

Im good, stay in me please. I miss your play.

All hail to Jihoon.

Kenzo staring at the girl who is in his side for almost two years, she is stand neither near nor far.

“Maaf ya Na.” Ucap Kenzo lemah. He has no idea about what he supposse to say in this situation but 'sorry' even he doesn't know its his fault or what.

Nana, gadis itu menatap deburan ombak merasakan angin laut menerpa wajahnya.

Dia menghela napas. “Bukan salah kamu, Ken.”

“Na, I do love you, but we can't make it Maaf kalau selama dua tahun ini kesannya kayak aku nunda perpisahan yang sebenernya udah kita tau tapi aku selalu ngajakin kamu buat ngehindar. Sorry, because i can't catch up even with myself.

Nana look toward him that make Kenzo notice some of teardrop is hold by her eyelids.

“Kamu nyesel?” Pertanyaan itu terucap tanpa sadar membuat Kenzo sedikit kaget dan menggeleng.

“Gapernah sedikit pun aku ngerasa nyesel habisin waktu sama kamu, Na.”

“Ken, we were the cutest couple, aren't we?

Kenzo mengangguk. “We are Nana.”

“Unfortunately, our destiny won't let us to be the cutest forever.” Nana tersenyum getir.

Caca membuka pintu dan langsung menatap malas lelaki yang sedang cengengesan di depannya.

Perlu Caca akui, kepribadian Yeonjun dan Jihoon memang sangat berbeda. Jihoon memang adalah orang yang penyayang namun tetap mendominasi sehingga kadang Caca kewalahan meski kadang ada waktu dimana Caca yang mendominasi tapi basic personality Jihoon memang tegas hingga akhirnya bertemu dengan seniornya ini- Yeonjun. Awal sentuhan mereka sangat lembut dan memabukkan membuat Caca merasa menemukan hal baru di dalam dirinya saat Yeonjun menjelajahi tubuhnya.

Mereka memang baru sekali make out selebihnya mereka hanya ciuman dan meraba sana sini.

Dan sekarang disinilah Yeonjun yang memar di mana-mana akibat berkelahi melangkahkan kakinya tak lupa mengecup telinga Caca lembut dengan senyuman membuat darah perempuan itu berdesir.

“Gausah cium-cium!” Protes Caca.

Yeonjun tersenyum. “Dasar gengsi, bilang aja lo suka. Orang lo nyengir.”

Mata Caca membola lalu meninju pelan lengan telanjang Yeonjun yang kala itu hanya mengenakan kaos tanpa lengan dengan kemeja yang dia pegang di tangannya.

image

“Sana duduk di pantry, gue ambil p3k dulu.” Ucap Caca diangguki Yeonjun yang tak lupa mengelus payudara yang hanya terbungkus kemeja oversize berwarna putih.

Mata Yeonjun mengikuti langkah yang diambil perempuan itu dengan senyuman yang tak pernah hilang.

Caca duduk di depan Yeonjun lalu membaluri lukanya dengan telaten. Sesekali Yeonjun meringis akibat perih dari alkohol yang menyentuh lukanya.

Hingga dia menatap Caca yang tengah serius itu intens.

Dengan satu tarikan, kursi yang di dudukin Caca tergeser ke depan sehingga paha Caca kini diapit oleh kedua paha Yeonjun.

“Kok lo pake baju kayak gitu sih Ca? Sengaja ya?” Tanya Yeonjun genit.

“Enak aja, suka-suka gue lah. Kan apart gue?” Protes perempuan itu yang anehnya sangat menggemaskan di mata Yeonjun.

“Tapi kan gue ada disini. A-aaa sakittt.” Sungut Yeonjun saat Caca sengaja menekan lukanya sedikit kuat.

“Rasain. Tuh udah, pulang gih.” Caca merapikan kotak p3k lalu beranjak namun tangannya tertahan oleh Yeonjun.

“Apa?” Tanya Caca dengan mata yang terpaku pada manik indah milik Yeonjun yang menatapnya lekat.

“Mau obat.” Tanpa menunggu jawaban Caca, Yeonjun menarik pinggang Caca lalu mencium bibir indah perempuan itu.

Satu tangannya meraih tengkuk Caca agar ciuman mereka semakin dalam.

Yeonjun menghisap bibir serta lidah Caca lembut membuat sejumlah kupu-kupu beterbangan di perut perempuan itu.

Peraduan lidah itu berlangsung tak lama karena Caca menarik diri menatap Yeonjun dengan dahi berkerut.

Yeonjun mengerjapkan matanya melihat pipi Caca yang memerah.

“Eh jangan mukul ya Ca? Kita sama-sama mau kan?”

“Makanya.” Caca kembali menarik Yeonjun dalam pagutan yang kini semakin panas.

Yeonjun menarik kursi yang tadi di duduki Caca lalu menyatukannya dengan kursi yang dia duduki agar tubuhnya tidak goyah.

Caca kini ada di pangkuan Yeonjun. Menggeliat penuh nafsu saat tangan Yeonjun mulai bergerilya meraba tubuhnya.

Decak lidah memenuhi pantry apart Caca saat itu.

Bersamaan dengan gerakan tangan Yeonjun, Caca mulai melakukan humping dengan perlahan membuat dia bergetar saat penis keras dibalik celana training Yeonjun menyentuh miliknya yang hanya dilapisi celana dalam senada dengan kemejanya.

“Eunghh Jun.” Desah Caca saat Yeonjun berhasil membuka kancing kemejanya lalu meremas payudaranya yang kini terbungkus bra tipis berwarna putih.

Caca menatap Yeonjun dengan mata penuh birahi.

Lelaki itu tersenyum lalu mencium payudara Caca yang langsung menengadahkan kepalanya.

Tangan Caca tak diam, dia menarik kaos Yeonjun sehingga perut yang dibentuk oleh otot itu pun terlihat. Caca merabanya pelan membuat Yeonjun memperkuat isapannya di leher, payudara serta di semua tempat yang terekspos meninggalkan kissmark.

“Ahhh jangan banyak-banyak Jun, entar cowo gue liat ahh.”

image

“Kalo dia mutusin lo, ke gue aja Ca.” Ucap Yeonjun cepat lalu kembali meraup bibir Caca.

Ciuman yang semakin panas membuat gerakan pinggul Caca di pangkuan Yeonjun juga semakin acak.

“Ahhh Jun. Yeonjun ahh i want your dick right hhh now ahh cepet.” Desah Caca semakin tak karuan dan humping nya pun semakin cepat.

Kepalanya dia sandarkan di bahu lebar Yeonjun yang masih memilin payudaranya membuat Caca menggila, memohon untuk dimasuki sekarang juga.

“Hey, sabar Ca. I will fuck you, slowly biar lo bisa rasain tiap inci dari penis gue ada di dalam lo.” Yeonjun tersenyum mengecup dahi Caca yang berkeringat lalu menggendong perempuan yang sudah kelelahan itu namun tetap menggerakkan pinggulnya.

Yeonjun duduk di sofa membiarkan Caca melakukan humping sedangkan dia melepas kemeja serta bra yang dikenakan perempuan itu.

Yeonjun menyesap puting Caca membuat tubuh perempuan itu membusungkan dadanya meminta lebih.

“Jun, sekarang ahh buka.” Rengek Caca yang kini langsung dibaringkan di sofa oleh Yeonjun yang kembali mencium bibirnya lembut sembari membuka celananya menampakkan penis yang sejak tadi ereksi bersiap memompa vagina Caca yang sudah basah sejak tadi.

Dengan satu tarikan cd Caca terlepas dan Yeonjun langsung memasukkan jari tengahnya membuat Caca menegang menggigit bibir Yeonjun.

“Aww, Caca ih. Pelan-pelan, gue entot kok nanti. Sabar ya sayang.”

Yeonjun menatap Caca yang memasang ekspresi memohon dengan senyuman paham.

“Cara main gue enak kan Ca?”

Caca mengangguk tak sanggup menjawab.

“Ahhh lagi ahh oh my God.” Desah Caca saat Yeonjun memasukkan satu jari lagi mengacak vaginanya dengan pelan.

Permainan Yeonjun selalu terencana dan pelan tanpa terburu-buru. Membuat kepala Caca pusing karena pelepasannya seakan tertahan namun semakin lama pelepasan yang tertahan itu terasa semakin nikmat.

Hingga akhirnya Yeonjun meletakkan penisnya di depan vagina Caca yang sudah basah dan squirt berkali-kali.

Menusuk lubang yang membengkak itu dengan pelan dan dalam.

“Ahhh im in Ca. lo bisa rasain penis gue kan di dalam?” Tanya Yeonjun meremas payudara Caca membuat perempuan itu semakin mabuk kepayang.

Yes, yes i can feel it. Ahh Jun eunghh gerakinnnn.” Rengek Caca membuat Yeonjun akhirnya bergerak mundur hingga seakan-akan penisnya dikeluarkan lalu kembali menusuk dengan pelan.

Pada awal permainan mereka, Caca mengira Yeonjun sedang menggodanya namun dia akhirnya sadar bahwa cara main Yeonjun membuat vaginanya bisa merasakan kenikmatan baru meski dia harus pusing selama mereka bersetubuh.

“Ahhh hit the spot, Jun” Yeonjun mengerti dan mengangkat kedua kaki Caca dan kembali bergerak pelan.

Gerakan pelan itu justru bukan hanya menimbulkan kenikmatan bagi Caca tetapi juga Yeonjun yang merasa seakan-akan penisnya di pijat dengan lembut oleh dinding vagina Caca.

“Ahh shit lo ngeselin tapi kenapa enak banget.”

Im expert Ca Lo gapernah kan ngerasain ini kalo ngentot sama cowo lo?”

Caca mengangguk sebagai jawaban. “He prefer doing it hard and deep, i love tho but the way you play slow and deep feels like im flying Gue beneran pusing tapi enak banget ahhhh Jun im close

Aight i will going lil bit faster” Yeonjun menggenjot vagina Caca sedikit lebih cepat namun tidak terlalu cepat membuat mulut Caca tak bisa tertutup karena saking nikmatnya.

Desahan demi desahan keluar dari mulutnya, bola mata hitamnya tak terlihat karena saking menikmati permainan Yeonjun tak ingin melewatkan satu detik pun merasakan penis Yeonjun bergerak di dalam vaginanya.

“Ahhh, your dick become bigger” Ahhh Jun.” Caca menarik Yeonjun lalu melumat bibirnya sementara Yeonjun mempercepat temponya dan satu tangannya memainkan clit Caca sehingga perempuan itu menggeliat keenakan melepas lumatannya.

Yeonjun membenamkan wajahnya pada payudara besar milik Caca dan sesekali menghisap putingnya sampai tusukan terakhir yang kuat dan dalam membuat Caca merasakan hangat di dalam tubuhnya. Yeonjun cum.

Deru napas keduanya terdengar memenuhi ruang tamu. Sperma Yeonjun mengalir melewati vagina Caca karena penisnya menembakkan terlalu banyak cairan.

“Hahh lo keren deh Jun. Kok bisa sih maen kayak gini.” Ucap Caca tersendat karena masih mencoba mengatur napas.

Yeonjun bangun melepas penisnya lalu mengambil tisu dan mengelap bekas cairan yang mengalir dari sana.

“Makanya, putusin cowo lo aja terus pacaran sama gue. Gue bakal bikin mata putih lo naik tiap ngentot.”

“Anjing.”

Yeonjun terkekeh. “Eh lo punya janji sama cowo lo ga abis ini?”

Caca menggeleng. “Gada sih, dia katanya lagi ngurusin hima dan bakalan sampe malem.”

“Yahh anjir, kalo tau gue entot lo sampe malem juga.”

Caca bangun dari posisinya. “Yeu, yang ada dia curiga kalo memek gue bengkak pas dia pulang.”

Yeonjun tersenyum miring. “Gue kata gapapa, kalo putus pacaran sama gue.”

“Gausah ngaco.”

Caca beranjak lalu berjalan masuk ke kamarnya.

“Apaan sih Jun? Lepas ga?” Caca kaget saat lengan Yeonjun melingkar di perutnya lalu menuntunnya berjalan masuk ke kamar dengan penis yang kini menempel di belahan pantatnya.

“Udah diem aja, gue mau kasih aftercare kok ngomel? Gue entot lagi lo tau rasa beneran sampe malem.”

Mendengar ancaman Yeonjun membuat Caca membisu membiarkan lelaki itu memeluknya memasuki wc dan mandi bersama.

“Bener ya tapi aftercare? Jangan ngentot? Gue pegel Jun sumpah.”

“Iyeee elah, kapan sih gue maksa kalo lo gamau?”

Benar kata Yeonjun, dia tidak pernah melewati batasan saat Caca membuat batasan itu.

Sudahlah, yang dia mau hari ini adalah mandi agar segar saat Jihoon pulang nanti yang pastinya akan mengentot nya hingga pagi tiba.

Genap 3 tahun Caca menjalani pendidikan tinggi, pagi ke pagi Ia lewati hanya untuk menyerahkan tugas dan melakukan bimbingan. Revisi dan deadline bahkan terlihat seperti teman dekatnya. Jadwal kuliah pagi menjadi musuh bagi Caca, tapi sialnya untuk projek research designya Caca mendapat jadwal bimbingan pagi-pagi buta.

“Aaaaa! Itu dosen gak mau bangun tidur terus kelonan dulu apa gimana sih. Rajin amat pagi-pagi udah nyuruh bimbingan.” Caca menggerutu sembari mengancingkan kemeja oversize nya. Tapi untunglah ini hanya kelas online, Caca tidak perlu berpakaian rapih untuk mengikuti kelas, yang penting Ia terlihat rapih dengan atasan kemeja meskipun tetap menggunakan bawahan celana pendek saja sudah cukup.

“Caaaa, kamu dimanaaa?” Jihoon berteriak mencari kekasihnya.

“Di kamar ataaas, mau bimbingan dulu.” sahut Caca sembari berterian juga. Derap langkah Jihoon terdengar mendekati pintu kamar. Caca sudah memprediksikan ini akan terjadi.

“Kok pas aku bangun kamu gak ada di samping aku sih?” kata Jihoon dari depan pintu dengan menyandarkan kepalanya.

“Jangan masuk dulu, aku mau bimbingan. Ini udah join di zoom nya!” seru Caca dari dalam. Sepertinya, bimbingan pagi ini Caca akan mengalami gangguan. Bukan gangguan sinyal WiFi yang tiba-tiba terputus, tetapi gangguan Jihoon dengan seribu tingkahnya yang di luar nalar Caca.

'Clack!' pintu kamar berhasil terbuka. Caca segera mengubah posisi laptopnya untuk menghindari Jihoon masuk ke dalam frame kameranya.

“IIIIHHHH SAYANG! Aku kan udah bilang, nanti dulu!” protes Caca sembari menengok ke belakang, melihat Jendra yang jalan mendekat.

“Jangan marah-marah masih pagi tau.” ujar Jihoon, ia berlutut di sisi kiri Kalandra sembari memeluk perempuannya.

“Gimana ga marah?!!! Udah akh bilang aku ada bimbingan, nanti jadi gak konsen Jihoon!” jelas Caca.

“Aduuuh, mending bimbingan sama aku aja sih, Ca. Makanya, tadi jangan langsung bangun dulu. Harusnya main dulu sama aku biar mood kamu bagus, gak marah-marah gini.” jawab Jihoon sembari memasukan tangannya ke dalam kemeja tersebut.

“Ya orang aku bete sama,” Jihoon memotong ucapan perempuannya. “Sssttt, kamu cuma butuh dienakin doang kok biar good mood sepanjang hari. Diem aja, perhatiin kelasnya, biar aku yang main.”

“Anjing! Jihoon jangan!” umpat Caca. Jihoon hanya tersenyum sembari meremas payudara Caca secara bergantian. Tak kehabisan akal, Jihoon mengeluarkan tangannya untuk membasahi jari telunjuknya dengan salivanya lalu memasukan kembali ke dalam kemeja Caca.

Dingin. Caca bisa merasakan telunjuk Jihoon yang basah mengenai putingnya. Jihoon menggesekan telunjuknya pada puting Caca dan membuat perempuannya menegang.

“Ahhhh!” Caca melenguh saat putingnya dipilin oleh Jihoon. Kemudian, Ia menunduk menjauhi kamera laptopnya dan menengok ke arah Jihoon. “Sayang, 3 orang lagi aku dipanggil. Stop duluuu.” pinta Caca sembari menahan tangan lelakinya. Caca seperti bermain adrenalin, detak jantungnya dua kali lebih cepat memompa darah dalam tubuhnya.

“Tapi enak kan?” tanya Jihoon. Tangannya mulai turun meraba bagian selatan Caca dari luar celana pendeknya yang terlepas menyisakan underwear string yang memperlihatkan belahan vaginanya. Jihoon berganti posisi, Ia berlutut tepat di hadapan tubuh Caca. Perempuannya memundurkan sedikit kursi yang Ia duduki, memberi Jihoon ruang untuk bebas bermain di bawah sana. Jihoon melebarkan kaki Caca, mencium paha Caca ke atas dan berakhir di vagina Caca yang terbungkus string tipis yang di tariknya kesamping sehingga vagina Caca terpampang.

“Mhhh—” nafas Caca tercekat saat lidah Jihoon berhasil menjilat vagina nya. Rasa hangat dari lidah Jihoon menyulut gairah Caca. Wajahnya memerah, sembari menunduk Ia menjambak rambut Jihoon saat lelakinya menekan klitoris Caca menggunakan ujung lidahnya. Kamera nya masih menyala, dengan sekuat tenaga Ia berusaha mematikan kamera nya.

'Caca, tetap nyalakan kameranya. Agar saya tau kamu menyimak atau tidak!' tegur seorang Dosen tua di seberang sana.

Sial. Jihoon semakin menggoda Caca, Ia kemudian menghisap vagina Caca sembari menjilati miliknya dengan tempo yang cepat, “maaf pak, mmh koneksi saya kurang stabil.” jelas Caca dengan suara parau nya menahan desahan dengan segera Ia pun mematikan mic nya.

'Kamu kenapa Caca? Suaramu? Sakit?' tanya Dosen tersebut.

“Caca lagi mau ngentot dulu pak sama saya, hahaha.” ledek Jihoon dari bawah sana dengan menghentikan kegiatannya. Caca tidak menjawab pertanyaan dari Dosen tersebut, Ia hanya tercengang melihat Jihoon yang sedang melepaskan celana nya, membuat miliknya yang sudah ereksi terekspos.

Caca meraih penis lelakinya, Ia genggam penis Jihoon sembari mengocoknya perlahan, “mau dimasukin gak?” tanya Jihoon sembari mengusap rambut Caca.

Caca mengangguk tanda setuju, Ia beranjak dari kursi dan membiarkan Jihoon duduk di sana. Setelah Jihoon nyaman dengan posisi duduknya, Caca kemudian mulai duduk di atas badan lelakinya.

“Aaahhh.” desah Jihoon saat Caca memasukan penisnya ke dalam vaginanya agar bisa duduk dengan leluasa. Caca menggerakan bokongnya untuk mencari posisi yang nyaman serta untuk membuat penis Jihoon menyentuh sweet spot nya.

'Caca, sekarang bagian kamu. Maksud dari judul research design kamu ini apa?' tiba-tiba Dosen itu memanggil nama Caca. Sialan! Bagaimana bisa Ia menjawab dengan normal sedang Caca di bawah sana sedang frustasi merasakan penis Jihoon yang menghujami vagina Caca dengan cepat. Belum lagi tangan Jihoon yang sedang meremas kencang payudara Caca di balik kemeja membuat Caca semakin dipenuhi oleh nafsu.

Caca mengulurkan tangannya untuk menghidupkan mic nya, “Hhh, itu pak— mmhh maksudnya saya mau fokus ke dampaknya aja.” jawab Caca

Jihoon mengganti posisinya, Ia menuntun Caca ke arah meja belajar nya dan menidurkan badan Caca di meja tersebut, sehingga perempuan di hadapannya kini sedang dalam posisi menungging. Lalu, Jihoon menggesekan penisnya diantara bokong Caca “masih konsen kan sayang?”

'Kalau begitu, nanti diubah saja ini pembahasannya jadi analisis dampak dari kasus yang kamu ambil.' jelas Dosen tersebut.

Saat Caca menyalakan mic nya, Jihoon mendorong penisnya dengan kencang ke dalam vagina Caca, “aaaahh— iyaa baik pak! Nanti saya perbaiki.” jawab Caca dengan meloloskan satu desahan. Caca langsung menutup laptopnya membuat pertemuan online tersebut terputus.

“Ahhh yeahh, right there. You hit that spot mmhhh.” racauan Caca terdengar semakin bebas saat bimbingannya usai. Jihoon tersenyum penuh kemenangan, Ia menjadikan bokong Caca sebagai pegangan untuk menghentakan penisnya secara keras ke dalam vagina Caca.

“Mmhh, sayang you are so tight! Aaahh.” Jihoon menarik badan Caca menjadi berdiri, tangan kirinya ia pakai untuk menopang tubuh Caca sedangkan tangan kanan nya Ia gunakan untuk mencekik leher Caca. Padahal untuk berdiri saja Ia sudah tidak sanggup, Ia sangat lemas. Jihoon sedikit merendahkan badannya sejajar dengan Caca sebentar lagi lelakinya sampai. Pinggulnya bergerak dengan cepat guna melesakkan penis nya lebih dalam lagi, milik Caca yang begitu ketat membuat Jihoon mencapai surga.

“Aahh mmhh pleasee dont stop, fuck me Jihoon aahh ngghhh.” Caca meracau sembari meremas kedua payudara nya sendiri. Caca merasakan ngilu di perutnya karena penis Jihoon berhasil menumbuk sweet spot nya berkali-kali, “uuhh, you like it when i pound you harder like this kan sayang?”

“Oh oh uhhh... of course! I want you to cum inside me, my pussy will swallow it well, mmhhh.” mendengar hal itu, Jihoon tidak menurukan ritme nya, “Oooh mmhh i think i'm about to cum.” Jihoon hendak sampai, Caca bisa merasakan denyutan dari penis Jihoon hingga sampai pada hentakan kelima penis Jihoon masuk secara utuh sembari menyemburkan sperma nya.

“Ngghhh ahh Jihoon.” Caca melenguh sembari menyandarkan tubuhnya pada badan Jihoon, bagian selatannya banjir. Cairan dari miliknya dan milik Jihoon bersatu.

“Udah baikan belum mood nya?” tanya Jihoo sembari mengeluarkan penisnya dari dalam vagina Caca.

“Mhh, shh kenapa dilepas sayangg?” protes Caca, pasalnya kini Ia merasa sangat kosong saat tidak ada lagi penis Jihoon di dalam nya.

“Pindah dulu ke kasur, kita cuddle sambil aku masukin” jawab Jihoon sembari mencium kepala Caca.

Jihoon yang duduk dikasur menuntut Caca untuk duduk di pangkuannya.

Caca mencium bibir lelakinya dalam. Decakan lidah terdengar memenuhi kamarnya.

“Mmhh Ji aku mau humping dulu ahh.”

Jihoon mengangguk menghisap payudara Caca dengan lapar membiarkan perempuannya melakukan apa yang dia mau.

Caca terus menggeliat mendorong Jihoon yang masih menyesap payudaranya lalu mulai menggerakkan pinggulnya.

Vaginanya yang basah sudah sangat gatal karena kembali bergesekan dengan penis Jihoon.

“Ahh sayang, cium mau cium.” Rengek Caca manja menyambar bibir Jihoon.

Ciuman mereka kembali panas, lidah mereka saling beradu tak lupa tangan Jihoon yang memilin puting Caca membuat perempuan itu semakin menggencarkan gerakan pinggulnya.

Gerakan memutar, maju mundur serta naik turun dia coba.

Namun semakin lama temponya berantakan karena Caca sudah dekat dengan pelepasannya namun merasa masih kurang saat vaginanya belum dimasuki penis besar Jihoon yang sudah ereksi sejak tadi.

“Ji ahh Jihoon.” Racau Caca saat vaginanya kembali basah dan lengket.

Mendengar rengekan Caca yang dia tahu minta di masuki membuat Jihoon frustasi apalagi dengan gerakan Caca di penisnya yang semakkn tak karuan.

Caca menangis meminta Jihoon memasukinya.

“Aahh Ji, Jihoon ahhh aku mau ngentot cepet ahhhh.”

“Persetan!” Jihoon mengubah posisi menjadi berdiri lalu menyandarkan punggung Caca ditembok.

Mengangkat kedua kaki Caca dengan tangannya lalu menghujam vagina Caca dengan penisnya.

“Yes, like this ah ngen- tot ahhh aku suka sayang kencengin ahh.” Desah Caca membuat Jihoon menggenjot lubang perempuannya dengan keras.

“Cuddle nya bentar ya sayang, aku entotin kamu dulu sampe capek ahh.”

“Iya gapapa, AHH YES GITU JI AHH.” Teriak Caca karena Jihoon kembali menumbut G-Spotnya membuatnya pusing karena dihujani kenikmatan tiada tara.

“Aku bakal entoton kamu sampe malam.”

“Iya, gapapa ahh aku mau entot aku terus ahhhh Jihoon.”

image

Jihoon mengangkat alisnya bingung saat Caca menatapnya tajam.

“Barusan aku nggak sengaja liat snapgram temen kampus kamu,” Jihoon meneguk salivanya kala Caca melipat kedua tangannya. Ini perkara serius. “Enak ya dirangkul cewek-cewek semok.”

Raut panik Jihoon seketika luntur, lambat laun berubah menjadi seringai yang berusaha ia tutupi sampai kekasihnya selesai bicara.

“Aku liat highlight-nya juga banyak banget ya, muka kamu di akun dia. Sering traktir makan siang juga kan, kamu?” Caca berusaha acuh. “Ya aku nggak masalah sih kalau dia deket-deket atau sengaja gesek-gesek tete di bahu kamu waktu boomerang, cuma—”

“Kamu cemburu?”

Caca tidak menjawab, sehingga seringai yang Jihoon sembunyikan kian merekah.

Salah satu ketidakmungkinan yang selalu Jihoon harapkan adalah, melihat Caca cemburu. Kalau menurut Jaehyuk sih, itu salah satu sifat perempuan aquarius. Tapi kalau menurut Jihoon, Caca tidak pernah menampakkan rasa cemburu karena terlalu percaya. Belum lagi Caca dan kebiasaan buruknya untuk selalu meredam keresahan sendirian dengan alasan: takut ganggu.

Rasanya hubungan mereka lebih sering dibayangi perkara siapa yang harus mengurus ciko (kucing mama Jihoon), ketimbang masalah api cemburu ini.

Maka alih-alih takut, Jihoon malah merasa senang. Jihoon mengikis jarak wajahnya agar dapat menelisik paras kekasihnya lebih dekat, hingga ia dapat melihat jelas kecemburuan pada kedua bola mata Caca.

Ini yang Jihoon tunggu-tunggu.

“Caca sayang,” panggil Jihoon rendah seraya meletakkan kedua lengannya pada sisi tubuh Caca, mengungkungnya yang masih terduduk dengan wajah datar. “Kamu cemburu?”

“Iya.” Jawaban Caca membuat mata Jihoon membulat, tak menyangka Caca akan meruntuhkan gengsinya secepat itu. “Iya, aku cemburu. Puas?”

Tensi seksual keduanya seketika meningkat kala tatapan Jihoon menggelap.

“Nggak, belum puas.” Secercah tawa menggoda meluncur dari bibirnya. “Puasin aku dong, sayang.”

Jihoon bukan tipikal yang banyak bicara saat bercinta. Mulut manisnya sering dibiarkan bungkam, membiarkan tatapannya mengambil alih untuk memuja Caca di bawahnya. Maka ketika ucapan provokatif seperti ini terucap, Caca tau, malam ini akan lebih dari biasanya.

Masih ingat kan, Park Jihoon ini pemilik duality game yang kuat?

Lantas sisi Jihoon di atas ranjang adalah Jihoin yang hanya bisa dilihat oleh Caca.

“Aku nggak lagi becanda. Aku beneran marah ini.”

“Masa sih? Nggak keliatan ah?” Sebetulnya tampak jelas, namun Jihoon ingin melihat lebih. Bukannya takut, jemari ramping Jihoon malah menari di tengkuk Caca. “Tunjukin coba, kamu semarah apa.”

“Kamu yang mau loh,” Caca mendorong tubuh Jihoon, otomatis membuat Jihoon memundurkan posisi duduk hingga punggungnya membentur headboard kasur. “But promise me, you'll behave like a good boy.”

image

Sebelah alis Jihoon terangkat arogan, “I am.”

Melihat Caca berbalut dress satin saja sudah membuat jantung Jihoin berdenyut gila-gilaan. Tatapannya—Duh, tatapannya... Jihoon sudah lama sekali mendamba fantasi sisi dominan Caca seperti saat ini.

Jihoon menahan napasnya kala Caca mendudukan diri di atas pangkuannya. Terlebih saat jemarinya mengusap dada bidang kekasihnya yang masih berbalut kemeja linen. “Jihoon anak baik, kan?”

Anjing.

Bahkan suara Caca terdengar lebih erotis malam ini.

Jihoon melipat kedua tangan lalu menaruhnya di belakang kepala, seakan menanti pertunjukan porno cuma-cuma dari kekasihnya.

Tanpa banyak bicara, Caca meletakkan tangan pada bahu Jihoon lalu mengecup bibirnya berkali-kali. Sebelum akhirnya memperdalam tautan dengan melancarkan lumatan basah. Ini tentu bukan kali pertama mereka bercumbu, namun kali ini Caca membiarkan lidahnya melesak, menjelajahi setiap inci labium Jihoon secara tergesa dan berantakan.

Membuat Jihoon yang menjadi tidak sabar lantas memejamkan mata, membiarkan tubuhnya tak merasakan apapun selain nikmat dari bibir juga inti tubuh yang berulang kali tak sengaja bergesekkan.

Tangannya berulang kali terulur untuk memegang pinggul Caca di pangkuannya, memberi isyarat untuk bergerak, namun wanita itu menepisnya.

Cumbu yang Caca tawarkan malam itu berbeda. Basah dan ceroboh hingga sejuntai saliva lolos dari ujung bibir keduanya yang terus beradu tak mau kalah. Sesekali Jihoon mengerang di balik napas yang terengah. Berhasil dibuat lengah sampai tak menyadari perbuatan Caca.

“Jihoon anak baik, kan?”

Kedua mata Jihoon langsung membola, mencari asal muasal sensasi dingin yang menggelitik pergelangan tangannya.

Caca memborgolnya.

Entah sejak kapan merogoh night drawer untuk mengambil borgol berbahan kulit hitam yang diberikan salah satu kolega sebagai kado pernikahan untuk meningkatkan permainan. Perangkat sex toy yang paling Jihoon suka.

“Anak baik tangannya nggak nakal,” ucap Caca diselingi tawa kecil seraya menghapus jejak saliva dari sekitar bibir Jihoon. Membuat rahang Jihoon mengeras, apalagi ketika Caca menyampirkan tangan yang terbelenggu pada salah satu tiang headboard kasur agar membatasi gerak tangan Jihoon.

Agar kendali permainan malam itu sepenuhnya di tangan Caca.

“Anak baik,” goda Caca sambil mengusap dagu kekasihnga yang belum sempat cukur pagi ini, lantas tersenyum puas, merasa berhasil membalik keadaan. Jihoon yang biasa memimpin di atas kini tak berdaya di bawah dengan tangan terikat. “Jihoon anak baik kan?”

“Ca...” Jihoon berbisik frustasi saat Caca menyapukan tangan di atas permukaan dadanya seolah tengah mengagumi artefak seni langka. Caca menenggelamkan kepalanya untuk mengendus feromon Jihoon yang bercampur dengan keringat. Sesekali menjilatnya hingga jakun Jihiin bergerak gugup. Setiap Jihoon tampak terlalu menikmatinya, Caca malah menjauhkan jemarinya. Sengaja menggoda Jihoon. “Caca, jangan bikin aku marah—”

“Ssstt,” Jihoon mengerang saat jemari lentik Caca semakin turun sampai ke pangkal perutnya, mengusap v-line Jihoon yang semakin kentara akibat stimulus tanggung yang Caca berikan. “Anak baik nggak boleh marah.”

Kalau saja Caca tau, betapa merahnya pergelangan tangan Jihoon yang berusaha meloloskan diri dari borgol sialan itu.

“Kok udah keras lagi aja?” Caca pura-pura lugu. “Padahal aku belum ngapa-ngapain?”

“Ca—Anjing.” Kalimat Jihoon terputus saat Caca sengaja mengendus selangkangannya, kemudian mengusap tonjolan di celananya dengan tempo lambat, sesekali meremasnya terlalu kuat. Sentuhan tipis Caca justru membuat Jihoon semakin gila, sisi liarnya memberi komando untuk membungkam mulut Caca dengan penisnya agar perempuan itu berhenti bertingkah.

“Enak, Jihoon?”

Jihoon tidak bisa menemukan suara di antara kerongkongan yang tandus.

“Katanya pengen liat aku marah.”

“Pengen cium,” pinta Jihoon pelan. “Pengen cium Caca, banget.”

“Jihoon mau cium?” Lelaki itu mengangguk putus asa sehingga Caca menarik dasi Jihoon, mendekatkan wajahnya hingga Jihoo berusaha memagut bibir wanita yang ia puja. Namun digagalkan oleh belenggu yang membatasi pergerakannya. “Mana? Katanya Jihoon mau cium?”

Jihoon tertawa hambar lalu menggigit bibir bawahnya, memberi peringatan lewat tatapan. “Awas nyesel ya kamu.”

“Nggak akan.” Caca menyingkap dressnya hingga pinggang supaya Jihoon dapat melihat vagina yang hanya berbalut thong tipis. Sementara Jihoon masih berbusana lengkap, terkulai tak berdaya dengan tangan terbelenggu di bawah tubuh Caca.

“Anjing,” pekik Jihoon, spontan menengadah saat Caca mulai menggesek vaginanya di atas paha Jihoon berulang kali. Tubuh Jihoon seketika menegang terutama tungkainya, membuat Caca juga mulai merasa nikmat. “Anjing, anjing.”

Jemari kaki sampai Jihoon mengerut kala ia bisa merasakan jelas hangatnya inti tubuh Caca yang sengaja digesek lambat. Dari pangkal paha, turun pada lututnya, lalu kembali pada pahanya. Berulang kali. Membuat sang kekasih memejam, membiarkan gairah mengambil kendali gerak tubuhnya.

Menunjukkan sisi liar di hadapan kekasihnya itu.

Jihoon lantas sengaja menekuk lututnya, hingga Caca menghabiskan sedikit waktu lebih lama untuk menunggangi lututnya.

Jihoon ulangi, Caca menunggangi lututnya.

Pemandangan kotor yang berhasil membuat Jihoon pusing gila-gilaan, berharap itu penisnya.

Andai saja Caca tidak memejamkan kedua mata saat sibuk mengejar kenikmatan, Caca pasti melihat betapa nyalang tatapan Jihoon yang mulai tak sabar. Napasnya memburu saat melihat Caca mendesah nikmat hanya dengan menunggangi lututnya.

Jihoon merasa harga dirinya terinjak, ia mampu melakukan lebih dari ini.

Jika saja tangannya bisa bergerak bebas.

Puas bermain dengan lututnya, Caca menempatkan diri tepat di atas kejantanan Jihoon yang sudah menegang sempurna. Sama kerasnya dengan lutut Jihoon barusan.

“Caca—fuck, anjing,” panggil Jihoon frustasi saat Caca menekan vaginanya, menggeseknya berulang kali guna melumuri penis berbalut fabrik dengan cairan basah yang menetes akibat stimulasi dry-humping barusan. “K-Kalau kamu gini terus, nanti aku keluar di dalem celana, sayang,” ucap Jihoon terbata.

Dara tersenyum miring tanpa menghiraukan Jihoon, justru itu tujuannya.

Sesekali Caca menghentak pinggulnya pelan di atas tonjolan celana Jihoon yang dengan jelas menampilkan bentuk batang ereksinya. Sengaja bergerak lambat, seolah membiarkan setiap inci penisnya menyicipi kehangatan yang dihantarkan vagina di hadapannya. Darahnya mendidih kala netranya disambut oleh klitoris Caca yang membengkak akibat ulahnya sendiri.

Lambat laun Caca terbuai kenikmatan yang ia ciptakan, mulai lupa akan niat untuk mengambil alih keadaan.

Pacu gesekannya semakin cepat, namun kian tak beraturan karena kehabisan napas dan merasa sudah dekat. Tak hanya suara sahut menyahut desahan yang menggema, bunyi derit kasur juga mewakilkan nikmat yang dirasakan keduanya.

Rahang Jihoo mengetat kala melihat indahnya Caca. Mata yang memejam, bibir merekah merah terus menggaungkan desah, alis mengerut untuk mengejar titik surganya, serta tangan yang bertumpu pada perut Jihoon namun sesekali meremas payudara yang lolos dari bra.

Gila.

Rasanya Jihoon mampu ejakulasi berkali-kali hanya dengan melihat ini. Kepalanya sudah terasa ringan, namun harga dirinya tak mengizinkan ia orgasme di dalam celana, dalam keadaan busana lengkap.

Terdengar sangat payah.

Entah cairan siapa yang mendominasi basahnya celana Jihoon—milik Caca atau dirinya—namun Jihoon bisa merasa getaran pada kedua paha Caca yang mengapit tubuh Jihoon. Wanita itu sudah dekat, kepalanya tertunduk kehabisan tenaga. Temponya melamban. “Jihoon, aku nggak—Ahh. Nggak kuat.”

Desahan Caca berangsur jadi rengekan frustasi, tangannya meremas kemeja Jihoon seakan memohon pada lelaki di bawahnya. Wanita itu merasa kurang dan hanya akan merasa puas kalau kejantanan Aksa benar-benar tertanam di dalamnya.

“Jihoon... Ji...”

“Jihoonnya disini, di bawah kamu, sayang,” ucapnya sambil menatap kelam. “Kan udah aku ajarin, cara minta tolong gimana?”

Caca tak punya tenaga untuk menjawab, namun peluh dingin mengalir di pelipisnya. Tubuhnya menggigil, menggelinjang nikmat sambil terus menunggang Jihoon. Begitu Caca sudah hampir berhasil menjemput putihnya, tubuhnya terhempas ke samping hingga ia memekik.

Kesabaran Jihoon sudah habis.

“Hah... Ji-Jihoon kok...” Caca membelalak, menatap Jijoon yang tiba-tiba berada di atasnya. Borgolnya masih mengikat pergelangan kedua tangan yang memerah, namun patah menjadi dua bagian, dan jangan tanya bagaimana Jihoon bisa melakukannya. “Maaf...”

Pasalnya Jihoon bukan lelaki suci yang kuat melihat kekasihnya orgasme hanya dengan menunggangi penisnya yang masih berbalut celana.

“Capek ah pura-pura jadi anak baik.” Tanpa memutus kontak mata, Jihoon membuka kancing kemeja dengan sembrono lalu melemparnya asal. Begitupun celana, juga kacamata yang dibuang begitu saja sebelum menyugar rambut yang bersimbah keringat. “Pengen nakalin kamu.”

Caca membulatkan mulut saat Jihoon membuka boxernya, menampilkan ereksi sempurna dengan urat menonjol serta cairan di ujungnya. Memperjelas bagaimana sulitnya Jihoon menahan diri.

Lidah Jihoon menonjol dari dalam pipinya, menimang-nimang apa yang harus ia lakukan untuk membalas kekasihnya. Namun ia terkekeh kala melihat Caca yang masih menganga. “Kamu takut?”

Butuh waktu bagi Caca untuk mengangguk, seketika kabut gelap dari mata Jihoon surut.

“Kalau kamu sih nggak usah pura-pura jadi anak baik,” Jihoon mengungkung Caca di bawahnya, lalu menggigit tali dress agar terlepas dari tubuh Caca. Turun pada tali thong yang juga digigitnya agar tidak menghalangi Jihoon melihat pemandangan indah. “Jihoon suka liat Caca nakal gini, suka banget.”

Melihat urat tangan yang kentara serta tatapan sekelam jelaga, Caca tau Jihoon tidak akan mengampuninya dengan alasan apapun.

Besar kemungkinan Jihoon yang gemar bereksperimen di atas kasur ini akan menyetubuhinya hingga pagi menjelang.

“Jihoon suka Caca kotor gini.” Jihoon tidak perlu bertele-tele, lidahnya langsung menjilat bersih cairan nektar yang menetes dari labia wanitanya yang membengkak. Membuat Caca kembali merasa dekat pada titik putih yang sempat gagal ia raih barusan.

“Aku suka.” Wajah Jihoon lambat laun naik usai meninggalkan kecupan pada paha, perut, lalu menyita waktu untuk meraup payudaranya. Lidahnya terasa kenyal dan hangat, berseberangan dengan tubuh Caca yang dingin. “Aku suka kamu agresif gini.”

Napas Caca terengah, utamanya saat merasakan sengatan pada inti tubuh yang kembali bergesekkan tanpa terhalang apapun.

Jihoon menyejajarkan wajah dengan Caca, lalu menempelkan dahinya. Seulas senyum tercetak jelas di sela napas hangat yang menggebu. “Gimanapun kamu, Caca, aku suka.”

“Jihoon ini... Marah?”

“Kamu maunya aku marah atau nggak?” tanya Jihoon lembut.

“M-Mau...” Caca terbata-bata. “Tapi pelan-pelan ya? Badan aku lagi linu, mau dapet.”

“Caca mau di atas lagi?”

“Nggak,” bisiknya terengah. “Nggak kuat, capek.”

Jihoon terkekeh sebelum mengecup bibir pujaan hatinya, menopang tubuhnya agar bisa melihat raut lelah Caca di bawahnya. “Nggak usah Jihoon masukin ya, kalau gitu?”

“Mau,” Caca merajuk. “Mau Jihoon.”

“Kamu geseknya kekencengan sih, sampe bengkak gini,” ujar Jihoon seraya mengelus lembut organ intimnya lalu memposisikan kejantanannya. “Kalau aku terlalu kasar bilang, ya?”

“Perasaan tadi tatapan kamu galak banget kaya pengen makan aku, kok tiba-tiba jadi lembut gini?”

“Muka kamu ketakutan gini, melas lagi. Aku nggak tega ngacak-ngacaknya.” Jihoon terkekeh lalu merapikan rambut Caca. “Aku masukin ya?”

Jihoon bisa menjelma jadi anak nakal yang kerap menggunakan barang-barang di sekitar untuk menambahkan bumbu saat bercinta, tidak kenal ampun, dan suka mendominasi permainan layaknya capricorn pada umumnya. Bahkan bukan sekali dua kali membombardir Caca dalam posisi jack-hammer favoritnya.

Namun Jihoon tetaplah Jihoon yang selalu mengutamakan kebutuhan wanitanya sebelum kebutuhannya sendiri.

Caca selalu suka bagaimana Jihoon selalu menyesuaikan kebutuhan seks dengan keadaan. Memperlambat tempo saat Caca lelah, mempercepat tempo saat Caca berselimut gairah. Seperti saat ini, Jihoon menghujam Dara dengan tempo pelan namun dalam, tepat di titik ekstasinya.

“Sakit?” tanya Jihoon di sela erangan nikmat, menahan sumpah serapah dalam hati agar tidak mengacaukan suasana.

Caca menggeleng, menanamkan kuku di punggung Jihoon untuk meminta tidak berhenti. Vaginanya berdenyut cepat saat merasa ereksi Jihoon semakin membesar setiap hentaknya, berkedut tak sabar siap memuntahkan sperma.

“Caca...” rintih Jihoon terengah-engah, semakin dekat. “Caca sayang?”

“A-Apa?”

“Boleh keluar di dalem nggak?”

“Eh, jangan... Takut—” Caca memekik saat Jihoon tiba-tiba mempercepat temponya, sebelum menarik penis dan mengocoknya cepat.

“Di muka?”

“Di perut—” Terlambat. Jihoon menyemburkan cairan putih tepat di wajah Caca hingga perempuan itu tak bisa membuka mata. “Aku baru pake skin care, tau.”

“Itung-itung maskeran, Ca. Sperma kan banyak vitamin—ih! Jangan dijilat juga...” protes Jihoon, lalu dengan cepat memungut kemeja untuk mengelap wajah wanitanya. “Nggak enak ya?”

Namun Caca malah kembali menjilat sekitar bibirnya, lalu menyengir iseng. “Enak. Anak kamu enak.”

“Anak kita,” koreksi Jihoon. “Udah ah, jorok.”

Jihoon menyapukan kemeja guna membersihkan sisa cairannya di kasur agar tak berbekas. Tau betul istrinya akan menggerutu kalau besok pagi kasurnya bernoda.

“Jihoon sini,” panggil Caca yang sudah berbaring nyaman dengan mata berat. “Elusin punggung aku.”

Jihoon menurut, segera melingkarkan tangan kekarnya pada tubuh polos Caca lalu mengusap punggungnya. “Keram ya?” Caca mengangguk lemas. “Tidur gih, besok bangunnya nggak usah terlalu pagi.”

“Jihoon?”

“Hm?”

“Jangan kemana-mana ya?”

“Aku bisa kemana sih?” Jihoon mengeratkan rengkuhannya sebelum terpejam. “Rumahku kan di sini, kamu.”

“Jihoon!”

Pria yang merasa dipanggil itu menoleh ke arah wanita yang sedang berlari menghampirinya di bawah deras hujan. Tangannya terangkat untuk mengelus rambut itu lembut, “Kamu bisa minta aku buat jemput ke dalam, loh.”

Caca menggeleng, “Di dalam ada temenku. Itu loh yang pernah nanya-nanya kamu ke aku. Masa dia bilang kalo kamu itu cocok jadi Kakak-ku? Kan lucu.”

Kini Jihoon tertawa, kemudian merengkuh bahu sempit Caca untuk ikut masuk ke dalam payungnya. Mereka berdua melangkah masuk ke dalam mobil, dengan Jihoon yang tentu saja lebih dulu memastikan kekasihnya duduk dengan nyaman. Setelahnya, baru pria itu mengitari mobil untuk masuk ke kursi pengemudi.

“Kamu udah pilih gown-nya? Warna apa jadinya?” tanya Jihoon, mengendarai mobilnya untuk segera sampai ke Mall di pusat kota. Pria itu melirik untuk menatap Caca yang sibuk dengan ponselnya lewat ekor mata. Helaan nafas terdengar setelahnya, tangannya lagi-lagi terangkat untuk mengambil alih ponsel Caca. “Aku lagi ngomong sama kamu.”

“Astaga, Jihoon!” Caca berusaha mengambil lagi alih ponselnya yang diletakkan di atas dashboard oleh Jihoon. Wanita itu hapal betul kalau Jihoon bukan tipikal orang yang suka dicuekin. “Ini aku lagi cari gambar gown yang aku lihat di web mereka, sabar sebentar bisa enggak?”

Walaupun kata teman-temannya Jihoon adalah pria yang sangat galak, tapi di depan Caca Jihoon bukan pria yang semacam itu. Bahkan, untuk dibentak sedikit pun ia sudah merasa takut dengan Caca. Aneh, tapi itu dia Park Jihion. Sekarang pria itu diam, hanya fokus pada jalan Jakarta yang diguyur hujan. Sedangkan wanita di sampingnya kembali sibuk dengan ponsel, sengaja.

“Kamu ikut turun enggak?” tanya Caca ketika Jihoon sudah dengan sempurna memarkirkan mobilnya di basement Mall.

Jihoon hanya mengangguk, kemudian ikut keluar mobil dan melangkah jauh di belakang Caca. Sesekali pria itu menunduk takut, takut sekali kalau Sesilia akan diam padanya selama satu minggu seperti kejadian dua bulan lalu. Masalahnya hanya karena Jihoon kembali ikut balap liar lagi bersama teman-temannya. Padahal, berkali-kali Caca sudah jelaskan bahwa pertunangan mereka tinggal dua bulan lagi dan itu artinya Jihoon harus bisa menjaga diri

“Ji, sini!”

Jihoon berjalan mendekat ke arah Caca dan satu customer service yang sedang menjelaskan detail gown berwarna biru langit—warna kesukaan Caca. Pria itu hanya mengangguk-angguk saja.

“Suka, kan, Ji?” tanya Caca, masih dengan senyum yang terangkat penuh. Bisa-bisanya wanita itu tersenyum, padahal Jihoon sedang tersiksa karena kejadian di mobil tadi.

Jihoon hanya mengangguk, “Iya sayang. Punyaku yang mana?”

Satu pekerja di butik itu berjalan untuk mengambil pasangan gown Caca, dengan warna senada. “Di sana ada fitting room, boleh dicoba dulu. Semua ukuran sudah disesuaikan sama pesanan, kalau ada kekurangan bisa complaint secepatnya. Untuk Mbak Caca, mau dibantu pakai gown-nya atau enggak perlu?”

“Enggak perlu deh, Mbak. Lagian ini gown juga kaya long dress doang jadi enggak begitu susah.” balas Caca sambil mengangkat gown biru itu dengan senyumnya.

Pekerja itu tersenyum ramah, “Baik. Nanti kalau Mbak Caca sama Mas Jihoon ada yang ingin dibantu, panggil kita aja.”

Jihoon dan Caca mengangguk, kemudian berjalan ke arah fitting room di sudut ruangan. Hanya ada satu fitting room yang kosong. Itu artinya Jihoon dan Caca harus bergantian.

“Kamu dulu sayang.” kata Caca, ia berjalan menjauh untuk duduk di kursi sambil menunggu Jihoon selesai.

Jihoon menoleh, tatapannya mengikuti pergerakan Caca. “Kamu aja duluan.”

“Ji?” Sesilia menatap heran pria itu.

Jihoon melangkah, berdiri tepat di hadapan Caca. “Kalau kamu enggak mau duluan, kita masuk barengan.”

Caca menatap ruang persegi itu (fitting room) bergantian dengan Jihoon yang sekarang juga menatapnya dingin. Bulu kuduk gadis itu meremang, kemudian lanjut berdiri dan jalan masuk ke dalam fitting room

Tangan Caca terangkat untuk mengunci pintu, kemudian meletakkan gown di gantungan yang telah disediakan. Dia menghela, tidak ada tempat untuk menyampirkan hand bag-nya. Tanpa basa-basi Caca membuka pintunya sedikit untuk memanggil Jihoon—sekedar ingin menitipkan tas pada pria itu.

“Ji! Jihoon?”

Jihoon mengalihkan pandangan dari layar ponselnya, kemudian berjalan ke arah ruang persegi itu. “Kenapa?”

“Nitip—” Kalimat Caca terhenti ketika Jihoon menerbos masuk ke dalam fitting room. Gadis itu tidak bergeming bahkan di saat Jihoon menggantungkan sepasang pakaiannya di gantungan.

“Aku mau lihat kamu pakai gown” ucap pria itu kelewat santai, bahkan disaat Caca sudah menatapnya penuh telisik.

Caca menghela, “Aku nanti juga ke—”

“Jangan berisik, ruang sebelah ada orang. Cepet ganti baju sayang.”

Biasanya, Caca adalah orang yang selalu menang di setiap perdebatan mereka. Bukan hanya karena Caca egois, tapi karena Jihoon yang selalu mengalah dan menuruti apapun kemauan Caca. Begitu terus selama enam tahun hubungan mereka, tidak pernah satu kali pun Jihoon mengeluh walau ia harus selalu meredam egonya. Tapi hari ini, Jihoon sangat tidak ingin dibantah. Jihoon mau ia adalah orang pertama yang melihat Caca menggunakan gown untuk pertunangan mereka.

Netra kecokelatan Jihoon terus menatap ke arah cermin di depan sana, menunjukkan Caca yang mulai membuka kaus hitamnya. Nafas pria itu terengah, telapak tangannya sudah mulai basah. Pandangannya beralih ke mana-mana, namun sekarang berlabuh ke bokong tubuh bagian belakang kekasihnya.

Sebelum Caca mengambil gown-nya untuk dipakai, Jihoon sudah lebih dulu melingkarkan tangannya di pinggang perempuan itu. Caca menatap Jihoon yang sudah meletakkan kepala di pundak perempuan itu, dengan bibir yang sudah mulai mengecup lehernya penuh gairah.

“Jihoon ah stop..” Caca berusaha menghindari kecupan-kecupan Jihoon, tangannya terangkat untuk melepaskan lingkaran di pinggangnya.

Mata Jihoon menatap cermin, “Main di sini sebentar, gimana? Tantangan baru, kan sayang?”

Sebelum mendapat jawaban, tangan Jihoon bisa dengan mudah masuk ke celana dalam Caca, bermain-main sambil sesekali menyentuh klitoris perempuan itu. Mata Jihoon tidak pernah lepas dari setiap ekspresi Caca dari cermin. Pelan-pelan tangan kirinya yang bebas bergerak untuk melebarkan paha Caca agar memberi ruang untuk jarinya lebih bebas. Sedangkan bibir pria itu tidak pernah berhenti mengecup bahkan mengulum leher Caca tanpa meninggalkan jejak.

“Ji... Jihoon aahh...” Caca menggenggam erat kaus hitam milik Jihoon erat, menyalurkan rasa gelinya di sana.

Jihoon berbisik, “Jangan kenceng-kenceng, ruang sebelah ada orang.” Bersamaan dengan kalimatnya, jari tengah pria itu sudah masuk dengan sempurna ke dalam vagina Caca.

Sedang Caca memundurkan tubuhnya, bersandar penuh ke arah Jihoon karena kakinya perlahan melemas. Satu menjadi dua, dua menjadi tiga. Tiga jari Jihoon sudah sepenuhnya masuk ke salam vagina Caca, pria itu mengaduknya secara acak yang membuat Caca mendongakkan kepalanya dengan wajah yang memerah.

“Ssssh Jihoon..” Caca mulai membekap mulutnya, untuk meredam suara sendiri. “Ben-bentar, jangan tig—ashhhhh!”

Jihoon menambah kecepatan gerakan jarinya di dalam sana, sampai akhirnya berhenti sebentar ketika ada yang mengetuk pintu itu pelan.

“Mbak Caca, ada yang bisa saya bantu?”

Caca membulatkan matanya, ia menatap Jihoon yang menggeleng kecil. Wanita itu berdeham sebelum akhirnya, “Eng-enggak, Mbak. Ini sebentar lagi—sssh sele—sshai kok!”

“Ah, Okay. Mas Jihoon kemana, ya? Ini ruang sebelah sudah kosong, mungkin Mas Jihoon mau coba.”

Caca menatap Jihoon kesal lewat cermin ketika tiga jari pria itu bergerak secara brutal lagi. “Enggak tau, Mbak. Ini... it—uh, di toilet kayaknya.”

“Yasudah, saya tinggal lagi ya Mbak Caca.”

Caca hanya mengangguk, kembali menjatuhkan kepalanya di perpotongan leher Jihoon. Wanita itu mendongak ketika gelombang yang sedari tadi ia tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Pahanya terasa ngilu bersamaan dengan kemaluannya yang berkedut.

“A-ahh!” Tubuh Caca lemas, makin bersandar ke arah Jihoon yang sekarang sudah melepaskan ketiga jari itu setelah Caca sampai pada puncaknya.

“Buka dulu celana dalamnya.” bisik Jihoon, menurunkan celana dalam berwarna merah yang senada dengan bra Caca, kemudian ia juga menurunkan jeans yang dikenakan. Perlahan tangan Jihoon bergerak untuk mengangkat satu kaki Caca untuk naik ke atas bangku kecil di dekat cermin.

“Sayang, geraknya pelan-pelan aja biar kerasa.” Caca menyukai bagaimana ia menahan setiap pelepasannya, terlebih saat Jihoon bergerak perlahan yang membuat birahinya semakin naik ke atas puncak.

Jihoon tersenyum, menatap kekasihnya dari pantulan cermin. Pria itu tau betul kalau Caca selalu suka kalau vaginanya menyempit dan menahan pelepasan. “Tapi desahannya tahan dulu, ya Ca? Nanti ketahuan.”

Wanita itu mengangguk setuju, matanya tidak pernah lepas dari pergerakan Jihoon yang sedang menuntun penis besarnya. Pertama, Jihoon hanya menggosokan penis itu di antara bibir vagina Caca, mempermainkan wanitanya yang sudah bersuhu panas.

“Ji... i— hate y-youhmp!” Protes Caca terhenti ketika Jihoon dengan tiba-tiba meraup bibirnya. Seiring dengan pergerakan penis Jihoon —yang sengaja— tidak masuk ke dalam vagina Caca, pria itu justru menarik puting payudara Caca dengan gemas.

Jihoon melepaskan pagutannya, kemudian lagi-lagi menatap ekspresi Caca di cermin. Kekasihnya mendongak dengan bibir yang sedikit terbuka, menahan desahan dan tersiksa sendirian. Lagi-lagi Jihoon harus berbisik, “Aku masukin, ya?”

Tidak ada jawaban, maka Jihoon tidak bergerak. Hal itu justru membuat tangan Caca bergerak sendiri untuk meraih penis Jihoon dan memasukkan benda besar nan panjang itu ke dalam vaginanya. “Jihoon ahh, kok— besar banget—ah!” Tanpa sadar berteriak kecil, karena tiba-tiba Jihoon mendorong pinggulnya sampai penis pria itu masuk ke vagina Caca dengan sempurna.

“Ohhh.” Akhirnya Caca mendengar desahan berat yang sedari tadi ia harapkan lagi, ia menggigit bibir bawahnya sendiri saat Jihoon menunjukkan ekspresi panasnya di cermin. “Aku gerak, hold your moan.”

Setelah itu, Jihoon benar-benar bergerak secara perlahan sesuai dengan permintaan Caca sebelumnya. Tangan kanan Jihoon beralih untuk mengocok klitoris Caca agar perempuan itu merasakan kenikmatan yang tiada tara. Jihoon tidak pernah mau kalau Caca kecewa setiap mereka melakukan sex, itu sebabnya ia sebisa mungkin membuat kekasihnya merasa puas.

“Ah, a-hh, Jihoon- Sayang...” Caca merasakan vaginanya ditusuk-tusuk dengan penis kekar itu, tangannya meremas kuat kaus milik Jihoon. Wanita itu menengadah, menatap Jihoon yang terlihat lebih tampan dengan peluh yang mengalir di dahinya.

Sedang Jihoon menunduk, sebelah sudut bibirnya terangkat ketika melihat Caca yang tersiksa menahan desahannya sendiri. Kemudian wajahnya didekatkan, melumat bibir wanitanya lembut—lidahnya berjelajah masuk ke dalam bibir itu. Setelah beberapa menit, Jihoon merasakan vagina Caca yang semakin berkedut.

“F-faster, Ji ah!” Caca berbisik, membuat Jihoon semakin menambah tempo gerakannya. Tatapan pria itu tidak pernah lepas, ia suka melihat Caca tersiksa atas kendalinya.

Kaki Caca sudah mulai gemetar, ia hampir menangis karena tidak dapat menyalurkan kenikmatan lewat desahan sedari tadi. “D—di dalem aj—ah, ahh, Jihoon sayang.”

Jihoon mengangguk, kemudian menyemprotkan spermanya sesaat setelah Caca sampai pada puncak rasa nikmat itu. Wanita itu squirt yang membuat cermin di hadapannya ikut basah seperti pangkal pahanya.

“Ahhhhh.” Nafas Caca terengah, ia merasakan hangat di dalam vaginanya—tapi penis besar milik Jihoon masih ada di dalamnya. “Ji, udah. Keluarin—jangan main-main!”

Jihoon terkekeh saat melihat mata Caca yang membola karena ia mulai bergerak perlahan lagi. Tapi beberapa detik ia langsung mengeluarkan penisnya dari dalam sana, “Thank you, sayang.”

Caca mengangguk, kemudian kembali berdiri untuk segera memakai dalamannya yang sudah berserakan kemana-mana namun tertahan eh Jihoon.

“Foto dulu biar ada kenang-kenangan kalau kita make out di fitting room and you look so sexy with your horny face“

Tangan kekar Jihoon memegang dua payudaranya dan dengan malas Caca mengeluarkan handpone nya dan berpose panas bersama lelakinya.

image

Caca berdiri mendorong Jihoon. “Sana, keluar. Nanti mereka bingung kamu enggak balik-balik dari kamar mandi.”

Jihoon terkekeh, Caca si pemarah yang lucu sudah kembali lagi. “Okay. Tapi di Apart nanti lanjut, ya?”

“Jihoon!”