Jihoon mengangkat alisnya bingung saat Caca menatapnya tajam.
“Barusan aku nggak sengaja liat snapgram temen kampus kamu,” Jihoon meneguk salivanya kala Caca melipat kedua tangannya. Ini perkara serius. “Enak ya dirangkul cewek-cewek semok.”
Raut panik Jihoon seketika luntur, lambat laun berubah menjadi seringai yang berusaha ia tutupi sampai kekasihnya selesai bicara.
“Aku liat highlight-nya juga banyak banget ya, muka kamu di akun dia. Sering traktir makan siang juga kan, kamu?” Caca berusaha acuh. “Ya aku nggak masalah sih kalau dia deket-deket atau sengaja gesek-gesek tete di bahu kamu waktu boomerang, cuma—”
“Kamu cemburu?”
Caca tidak menjawab, sehingga seringai yang Jihoon sembunyikan kian merekah.
Salah satu ketidakmungkinan yang selalu Jihoon harapkan adalah, melihat Caca cemburu. Kalau menurut Jaehyuk sih, itu salah satu sifat perempuan aquarius. Tapi kalau menurut Jihoon, Caca tidak pernah menampakkan rasa cemburu karena terlalu percaya. Belum lagi Caca dan kebiasaan buruknya untuk selalu meredam keresahan sendirian dengan alasan: takut ganggu.
Rasanya hubungan mereka lebih sering dibayangi perkara siapa yang harus mengurus ciko (kucing mama Jihoon), ketimbang masalah api cemburu ini.
Maka alih-alih takut, Jihoon malah merasa senang. Jihoon mengikis jarak wajahnya agar dapat menelisik paras kekasihnya lebih dekat, hingga ia dapat melihat jelas kecemburuan pada kedua bola mata Caca.
Ini yang Jihoon tunggu-tunggu.
“Caca sayang,” panggil Jihoon rendah seraya meletakkan kedua lengannya pada sisi tubuh Caca, mengungkungnya yang masih terduduk dengan wajah datar. “Kamu cemburu?”
“Iya.” Jawaban Caca membuat mata Jihoon membulat, tak menyangka Caca akan meruntuhkan gengsinya secepat itu. “Iya, aku cemburu. Puas?”
Tensi seksual keduanya seketika meningkat kala tatapan Jihoon menggelap.
“Nggak, belum puas.” Secercah tawa menggoda meluncur dari bibirnya. “Puasin aku dong, sayang.”
Jihoon bukan tipikal yang banyak bicara saat bercinta. Mulut manisnya sering dibiarkan bungkam, membiarkan tatapannya mengambil alih untuk memuja Caca di bawahnya. Maka ketika ucapan provokatif seperti ini terucap, Caca tau, malam ini akan lebih dari biasanya.
Masih ingat kan, Park Jihoon ini pemilik duality game yang kuat?
Lantas sisi Jihoon di atas ranjang adalah Jihoin yang hanya bisa dilihat oleh Caca.
“Aku nggak lagi becanda. Aku beneran marah ini.”
“Masa sih? Nggak keliatan ah?” Sebetulnya tampak jelas, namun Jihoon ingin melihat lebih. Bukannya takut, jemari ramping Jihoon malah menari di tengkuk Caca. “Tunjukin coba, kamu semarah apa.”
“Kamu yang mau loh,” Caca mendorong tubuh Jihoon, otomatis membuat Jihoon memundurkan posisi duduk hingga punggungnya membentur headboard kasur. “But promise me, you'll behave like a good boy.”

Sebelah alis Jihoon terangkat arogan, “I am.”
Melihat Caca berbalut dress satin saja sudah membuat jantung Jihoin berdenyut gila-gilaan. Tatapannya—Duh, tatapannya... Jihoon sudah lama sekali mendamba fantasi sisi dominan Caca seperti saat ini.
Jihoon menahan napasnya kala Caca mendudukan diri di atas pangkuannya. Terlebih saat jemarinya mengusap dada bidang kekasihnya yang masih berbalut kemeja linen. “Jihoon anak baik, kan?”
Anjing.
Bahkan suara Caca terdengar lebih erotis malam ini.
Jihoon melipat kedua tangan lalu menaruhnya di belakang kepala, seakan menanti pertunjukan porno cuma-cuma dari kekasihnya.
Tanpa banyak bicara, Caca meletakkan tangan pada bahu Jihoon lalu mengecup bibirnya berkali-kali. Sebelum akhirnya memperdalam tautan dengan melancarkan lumatan basah. Ini tentu bukan kali pertama mereka bercumbu, namun kali ini Caca membiarkan lidahnya melesak, menjelajahi setiap inci labium Jihoon secara tergesa dan berantakan.
Membuat Jihoon yang menjadi tidak sabar lantas memejamkan mata, membiarkan tubuhnya tak merasakan apapun selain nikmat dari bibir juga inti tubuh yang berulang kali tak sengaja bergesekkan.
Tangannya berulang kali terulur untuk memegang pinggul Caca di pangkuannya, memberi isyarat untuk bergerak, namun wanita itu menepisnya.
Cumbu yang Caca tawarkan malam itu berbeda. Basah dan ceroboh hingga sejuntai saliva lolos dari ujung bibir keduanya yang terus beradu tak mau kalah. Sesekali Jihoon mengerang di balik napas yang terengah. Berhasil dibuat lengah sampai tak menyadari perbuatan Caca.
“Jihoon anak baik, kan?”
Kedua mata Jihoon langsung membola, mencari asal muasal sensasi dingin yang menggelitik pergelangan tangannya.
Caca memborgolnya.
Entah sejak kapan merogoh night drawer untuk mengambil borgol berbahan kulit hitam yang diberikan salah satu kolega sebagai kado pernikahan untuk meningkatkan permainan. Perangkat sex toy yang paling Jihoon suka.
“Anak baik tangannya nggak nakal,” ucap Caca diselingi tawa kecil seraya menghapus jejak saliva dari sekitar bibir Jihoon. Membuat rahang Jihoon mengeras, apalagi ketika Caca menyampirkan tangan yang terbelenggu pada salah satu tiang headboard kasur agar membatasi gerak tangan Jihoon.
Agar kendali permainan malam itu sepenuhnya di tangan Caca.
“Anak baik,” goda Caca sambil mengusap dagu kekasihnga yang belum sempat cukur pagi ini, lantas tersenyum puas, merasa berhasil membalik keadaan. Jihoon yang biasa memimpin di atas kini tak berdaya di bawah dengan tangan terikat. “Jihoon anak baik kan?”
“Ca...” Jihoon berbisik frustasi saat Caca menyapukan tangan di atas permukaan dadanya seolah tengah mengagumi artefak seni langka. Caca menenggelamkan kepalanya untuk mengendus feromon Jihoon yang bercampur dengan keringat. Sesekali menjilatnya hingga jakun Jihiin bergerak gugup. Setiap Jihoon tampak terlalu menikmatinya, Caca malah menjauhkan jemarinya. Sengaja menggoda Jihoon. “Caca, jangan bikin aku marah—”
“Ssstt,” Jihoon mengerang saat jemari lentik Caca semakin turun sampai ke pangkal perutnya, mengusap v-line Jihoon yang semakin kentara akibat stimulus tanggung yang Caca berikan. “Anak baik nggak boleh marah.”
Kalau saja Caca tau, betapa merahnya pergelangan tangan Jihoon yang berusaha meloloskan diri dari borgol sialan itu.
“Kok udah keras lagi aja?” Caca pura-pura lugu. “Padahal aku belum ngapa-ngapain?”
“Ca—Anjing.” Kalimat Jihoon terputus saat Caca sengaja mengendus selangkangannya, kemudian mengusap tonjolan di celananya dengan tempo lambat, sesekali meremasnya terlalu kuat. Sentuhan tipis Caca justru membuat Jihoon semakin gila, sisi liarnya memberi komando untuk membungkam mulut Caca dengan penisnya agar perempuan itu berhenti bertingkah.
“Enak, Jihoon?”
Jihoon tidak bisa menemukan suara di antara kerongkongan yang tandus.
“Katanya pengen liat aku marah.”
“Pengen cium,” pinta Jihoon pelan. “Pengen cium Caca, banget.”
“Jihoon mau cium?” Lelaki itu mengangguk putus asa sehingga Caca menarik dasi Jihoon, mendekatkan wajahnya hingga Jihoo berusaha memagut bibir wanita yang ia puja. Namun digagalkan oleh belenggu yang membatasi pergerakannya. “Mana? Katanya Jihoon mau cium?”
Jihoon tertawa hambar lalu menggigit bibir bawahnya, memberi peringatan lewat tatapan. “Awas nyesel ya kamu.”
“Nggak akan.” Caca menyingkap dressnya hingga pinggang supaya Jihoon dapat melihat vagina yang hanya berbalut thong tipis. Sementara Jihoon masih berbusana lengkap, terkulai tak berdaya dengan tangan terbelenggu di bawah tubuh Caca.
“Anjing,” pekik Jihoon, spontan menengadah saat Caca mulai menggesek vaginanya di atas paha Jihoon berulang kali. Tubuh Jihoon seketika menegang terutama tungkainya, membuat Caca juga mulai merasa nikmat. “Anjing, anjing.”
Jemari kaki sampai Jihoon mengerut kala ia bisa merasakan jelas hangatnya inti tubuh Caca yang sengaja digesek lambat. Dari pangkal paha, turun pada lututnya, lalu kembali pada pahanya. Berulang kali. Membuat sang kekasih memejam, membiarkan gairah mengambil kendali gerak tubuhnya.
Menunjukkan sisi liar di hadapan kekasihnya itu.
Jihoon lantas sengaja menekuk lututnya, hingga Caca menghabiskan sedikit waktu lebih lama untuk menunggangi lututnya.
Jihoon ulangi, Caca menunggangi lututnya.
Pemandangan kotor yang berhasil membuat Jihoon pusing gila-gilaan, berharap itu penisnya.
Andai saja Caca tidak memejamkan kedua mata saat sibuk mengejar kenikmatan, Caca pasti melihat betapa nyalang tatapan Jihoon yang mulai tak sabar. Napasnya memburu saat melihat Caca mendesah nikmat hanya dengan menunggangi lututnya.
Jihoon merasa harga dirinya terinjak, ia mampu melakukan lebih dari ini.
Jika saja tangannya bisa bergerak bebas.
Puas bermain dengan lututnya, Caca menempatkan diri tepat di atas kejantanan Jihoon yang sudah menegang sempurna. Sama kerasnya dengan lutut Jihoon barusan.
“Caca—fuck, anjing,” panggil Jihoon frustasi saat Caca menekan vaginanya, menggeseknya berulang kali guna melumuri penis berbalut fabrik dengan cairan basah yang menetes akibat stimulasi dry-humping barusan. “K-Kalau kamu gini terus, nanti aku keluar di dalem celana, sayang,” ucap Jihoon terbata.
Dara tersenyum miring tanpa menghiraukan Jihoon, justru itu tujuannya.
Sesekali Caca menghentak pinggulnya pelan di atas tonjolan celana Jihoon yang dengan jelas menampilkan bentuk batang ereksinya. Sengaja bergerak lambat, seolah membiarkan setiap inci penisnya menyicipi kehangatan yang dihantarkan vagina di hadapannya. Darahnya mendidih kala netranya disambut oleh klitoris Caca yang membengkak akibat ulahnya sendiri.
Lambat laun Caca terbuai kenikmatan yang ia ciptakan, mulai lupa akan niat untuk mengambil alih keadaan.
Pacu gesekannya semakin cepat, namun kian tak beraturan karena kehabisan napas dan merasa sudah dekat. Tak hanya suara sahut menyahut desahan yang menggema, bunyi derit kasur juga mewakilkan nikmat yang dirasakan keduanya.
Rahang Jihoo mengetat kala melihat indahnya Caca. Mata yang memejam, bibir merekah merah terus menggaungkan desah, alis mengerut untuk mengejar titik surganya, serta tangan yang bertumpu pada perut Jihoon namun sesekali meremas payudara yang lolos dari bra.
Gila.
Rasanya Jihoon mampu ejakulasi berkali-kali hanya dengan melihat ini. Kepalanya sudah terasa ringan, namun harga dirinya tak mengizinkan ia orgasme di dalam celana, dalam keadaan busana lengkap.
Terdengar sangat payah.
Entah cairan siapa yang mendominasi basahnya celana Jihoon—milik Caca atau dirinya—namun Jihoon bisa merasa getaran pada kedua paha Caca yang mengapit tubuh Jihoon. Wanita itu sudah dekat, kepalanya tertunduk kehabisan tenaga. Temponya melamban. “Jihoon, aku nggak—Ahh. Nggak kuat.”
Desahan Caca berangsur jadi rengekan frustasi, tangannya meremas kemeja Jihoon seakan memohon pada lelaki di bawahnya. Wanita itu merasa kurang dan hanya akan merasa puas kalau kejantanan Aksa benar-benar tertanam di dalamnya.
“Jihoon... Ji...”
“Jihoonnya disini, di bawah kamu, sayang,” ucapnya sambil menatap kelam. “Kan udah aku ajarin, cara minta tolong gimana?”
Caca tak punya tenaga untuk menjawab, namun peluh dingin mengalir di pelipisnya. Tubuhnya menggigil, menggelinjang nikmat sambil terus menunggang Jihoon. Begitu Caca sudah hampir berhasil menjemput putihnya, tubuhnya terhempas ke samping hingga ia memekik.
Kesabaran Jihoon sudah habis.
“Hah... Ji-Jihoon kok...” Caca membelalak, menatap Jijoon yang tiba-tiba berada di atasnya. Borgolnya masih mengikat pergelangan kedua tangan yang memerah, namun patah menjadi dua bagian, dan jangan tanya bagaimana Jihoon bisa melakukannya. “Maaf...”
Pasalnya Jihoon bukan lelaki suci yang kuat melihat kekasihnya orgasme hanya dengan menunggangi penisnya yang masih berbalut celana.
“Capek ah pura-pura jadi anak baik.” Tanpa memutus kontak mata, Jihoon membuka kancing kemeja dengan sembrono lalu melemparnya asal. Begitupun celana, juga kacamata yang dibuang begitu saja sebelum menyugar rambut yang bersimbah keringat. “Pengen nakalin kamu.”
Caca membulatkan mulut saat Jihoon membuka boxernya, menampilkan ereksi sempurna dengan urat menonjol serta cairan di ujungnya. Memperjelas bagaimana sulitnya Jihoon menahan diri.
Lidah Jihoon menonjol dari dalam pipinya, menimang-nimang apa yang harus ia lakukan untuk membalas kekasihnya. Namun ia terkekeh kala melihat Caca yang masih menganga. “Kamu takut?”
Butuh waktu bagi Caca untuk mengangguk, seketika kabut gelap dari mata Jihoon surut.
“Kalau kamu sih nggak usah pura-pura jadi anak baik,” Jihoon mengungkung Caca di bawahnya, lalu menggigit tali dress agar terlepas dari tubuh Caca. Turun pada tali thong yang juga digigitnya agar tidak menghalangi Jihoon melihat pemandangan indah. “Jihoon suka liat Caca nakal gini, suka banget.”
Melihat urat tangan yang kentara serta tatapan sekelam jelaga, Caca tau Jihoon tidak akan mengampuninya dengan alasan apapun.
Besar kemungkinan Jihoon yang gemar bereksperimen di atas kasur ini akan menyetubuhinya hingga pagi menjelang.
“Jihoon suka Caca kotor gini.” Jihoon tidak perlu bertele-tele, lidahnya langsung menjilat bersih cairan nektar yang menetes dari labia wanitanya yang membengkak. Membuat Caca kembali merasa dekat pada titik putih yang sempat gagal ia raih barusan.
“Aku suka.” Wajah Jihoon lambat laun naik usai meninggalkan kecupan pada paha, perut, lalu menyita waktu untuk meraup payudaranya. Lidahnya terasa kenyal dan hangat, berseberangan dengan tubuh Caca yang dingin. “Aku suka kamu agresif gini.”
Napas Caca terengah, utamanya saat merasakan sengatan pada inti tubuh yang kembali bergesekkan tanpa terhalang apapun.
Jihoon menyejajarkan wajah dengan Caca, lalu menempelkan dahinya. Seulas senyum tercetak jelas di sela napas hangat yang menggebu. “Gimanapun kamu, Caca, aku suka.”
“Jihoon ini... Marah?”
“Kamu maunya aku marah atau nggak?” tanya Jihoon lembut.
“M-Mau...” Caca terbata-bata. “Tapi pelan-pelan ya? Badan aku lagi linu, mau dapet.”
“Caca mau di atas lagi?”
“Nggak,” bisiknya terengah. “Nggak kuat, capek.”
Jihoon terkekeh sebelum mengecup bibir pujaan hatinya, menopang tubuhnya agar bisa melihat raut lelah Caca di bawahnya. “Nggak usah Jihoon masukin ya, kalau gitu?”
“Mau,” Caca merajuk. “Mau Jihoon.”
“Kamu geseknya kekencengan sih, sampe bengkak gini,” ujar Jihoon seraya mengelus lembut organ intimnya lalu memposisikan kejantanannya. “Kalau aku terlalu kasar bilang, ya?”
“Perasaan tadi tatapan kamu galak banget kaya pengen makan aku, kok tiba-tiba jadi lembut gini?”
“Muka kamu ketakutan gini, melas lagi. Aku nggak tega ngacak-ngacaknya.” Jihoon terkekeh lalu merapikan rambut Caca. “Aku masukin ya?”
Jihoon bisa menjelma jadi anak nakal yang kerap menggunakan barang-barang di sekitar untuk menambahkan bumbu saat bercinta, tidak kenal ampun, dan suka mendominasi permainan layaknya capricorn pada umumnya. Bahkan bukan sekali dua kali membombardir Caca dalam posisi jack-hammer favoritnya.
Namun Jihoon tetaplah Jihoon yang selalu mengutamakan kebutuhan wanitanya sebelum kebutuhannya sendiri.
Caca selalu suka bagaimana Jihoon selalu menyesuaikan kebutuhan seks dengan keadaan. Memperlambat tempo saat Caca lelah, mempercepat tempo saat Caca berselimut gairah. Seperti saat ini, Jihoon menghujam Dara dengan tempo pelan namun dalam, tepat di titik ekstasinya.
“Sakit?” tanya Jihoon di sela erangan nikmat, menahan sumpah serapah dalam hati agar tidak mengacaukan suasana.
Caca menggeleng, menanamkan kuku di punggung Jihoon untuk meminta tidak berhenti. Vaginanya berdenyut cepat saat merasa ereksi Jihoon semakin membesar setiap hentaknya, berkedut tak sabar siap memuntahkan sperma.
“Caca...” rintih Jihoon terengah-engah, semakin dekat. “Caca sayang?”
“A-Apa?”
“Boleh keluar di dalem nggak?”
“Eh, jangan... Takut—” Caca memekik saat Jihoon tiba-tiba mempercepat temponya, sebelum menarik penis dan mengocoknya cepat.
“Di muka?”
“Di perut—” Terlambat. Jihoon menyemburkan cairan putih tepat di wajah Caca hingga perempuan itu tak bisa membuka mata. “Aku baru pake skin care, tau.”
“Itung-itung maskeran, Ca. Sperma kan banyak vitamin—ih! Jangan dijilat juga...” protes Jihoon, lalu dengan cepat memungut kemeja untuk mengelap wajah wanitanya. “Nggak enak ya?”
Namun Caca malah kembali menjilat sekitar bibirnya, lalu menyengir iseng. “Enak. Anak kamu enak.”
“Anak kita,” koreksi Jihoon. “Udah ah, jorok.”
Jihoon menyapukan kemeja guna membersihkan sisa cairannya di kasur agar tak berbekas. Tau betul istrinya akan menggerutu kalau besok pagi kasurnya bernoda.
“Jihoon sini,” panggil Caca yang sudah berbaring nyaman dengan mata berat. “Elusin punggung aku.”
Jihoon menurut, segera melingkarkan tangan kekarnya pada tubuh polos Caca lalu mengusap punggungnya. “Keram ya?” Caca mengangguk lemas. “Tidur gih, besok bangunnya nggak usah terlalu pagi.”
“Jihoon?”
“Hm?”
“Jangan kemana-mana ya?”
“Aku bisa kemana sih?” Jihoon mengeratkan rengkuhannya sebelum terpejam. “Rumahku kan di sini, kamu.”