declipsee

  • virtual

tw // violence

Rara bisa melibat wajah kesal Reyhan di layar.

“Ra lo tuh... Loh kening lo kenapa?” Air muka Reyhan tiba-tiba saja berubah.

Rara gelabakan, dia lupa menutup bekas lukanya.

“Ah gapapa kok.” Dia nyengir.

Reyhan menatapnya teliti.

“Ra? Bibir lo biru? Lo kenapa deh?”

Tanya Reyhan. “Lo kemaren kenapa? Cerita aja, gue ga kesel kok cuma ya gitu. Sekarang gapapa.”

Rara menghela napas. “Gue cerita darimana ya.” Gadis itu tersenyum getir.

Belum mengucapkan satu pata kata, namun air mata sudah membanjiri nya.

“Yaudah Ra, gapapa nangis dulu gue temenin ya.” Ucap Reyhan lembut.

Hampir setengah jam lamanya, Reyhan dengan sabar menunggu Rara. Menatapnya lembur dengan kedua tangan yang memangku wajahnya.

Rara menatap lelaki itu, dia salah sangka. Dia kira Reyhan adalah type mean boy ternyata tidak. Buktinya dia bisa selembut ini.

Gadis itu menarik napas.

“Jadi, kemaren bokap gue tiba-tiba dateng. Dia udah pisah sama nyokap, tapi belum resmi gatau deh bahasanya gimana. He is abussive dia suka main tanga ke gue dan adek gue.” Rara menghela napas, rasanya tidak sanggup melanjutkan ceritanya.

“Gapapa, pelan-pelan aja Ra.”

“Kemaren datang, mukulin gue dan adek gue. Ya jadinya gini, biru semua. Adek gue nyoba ngelawan dia, dia ngandelin ilmu yang dia dapet selama taekwondo tapi ya yang namanya anak 17 tahun bisa apa kalo udah sama benda yang mukul dia? gue kasian sama dia, gue nangis, dia cuma tiduran dan gabisa ke sekolah dulu. Untung ada temen-temen gue.”

“Ra, sorry. Omongan gue di chat, lupain aja ya. Gue bego emang, sorry ya.”

Rara tersenyum dan mengangguk. “Santai Rey, lo kan gatau.”

“Ra, kalau ada apa-apa lo bisa cerita sama gue. Gue siap kapan aja, lo bisa langsung nge-vc. Ya Ra?”

Gadis itu tertawa. “Lo kalo ngerasa kasian gausah deh Rey.”

Reyhan menggeleng. “Engga, siapa yang kasian. Gue cuma mau lo ga ngerasa sedih dan sendiri ya gue tau disana ada temen-temen lo, tapi kalau ada saat dimana lo berat ngomong ke mereka. Ke gue aja ya Ra.”

Rara mengangguk.

“Jangan nangis lagi.”

“Iyaaaa enggaaaaa.”

Percakapan mereka berlansung hingga Rara tertidur lagi.

  • virtual

Seketika, skype milik Rara menampilkan wajah cerah Reyhan.

Dia yang grusukan tertunduk malu.

Reyhan tertawa. “Lo beneran ngantuk ya?”

Rara hanya nyengir.

“Yaudah kita mulai sekarang biar selesai nya cepet.”

“Oke.”

Diskusi mereka berlangsung lancar.

Satu demi satu bagian mereka selesaikan serta pembagian part untuk mempresentasikan juga sudah di atur.

Jadi nanti lo jelasin bagian yang ini sama yang...” Ucapan Reyhan tergantung saat melihat Rara sudah tertidur di seberang sana.

Pipinya yang chubby tertumpuk di lipatan tangannya.

Tanpa sadar membuat Reyhan tersenyum.

Kasian anak orang.

Ra?

Reyhan menghela napas. Mungkin sebaiknya diskusinya berhenti.

Untung saja sisa review ulang.

Good night Ra.” Ucap Reyhan sebelum mengakhiri skype mereka.

Dan Rara? Tertidur dengan posisi itu sampai pagi.

  • virtual

Rara menatap Reyhan yang memilih mengantar Kayla pulang dibanding dirinya.

“Nic anterin gue.” Ucapnya kepada Nicholas dan langsung pergi dari sana meninggalkan Reyhan begitu saja.

Sesampainya di rumah, dia mengucapkan terima kasih kepada Nicholas.

Namun, dia terkejut. Sosok Reyhan sudah lebih dulu berada di depan rumahnya.

Rara berbalik, menjauh.

“Ra, dengerin dulu.”

“Apa sih.” Gadis itu menepis tangan Reyhan.

“Ra please. Kayla tuh... pokoknya gue udah janji sama dia. Please jangan ngambek.”

Rara menatapnya. “Ngapain gue ngambek? Emang gue siapa?”

Reyhan mengacak rambutnya frustasi. “Ra, jangan gitu.”

Gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada. “Yaudah ayo pacaran aja sekarang, lo tau ga sih susahnya nahan cemburu disaat gue sadar gue bukan siapa-siapa lo?”

Reyhan menatap gadis itu lekat-lekat. “Ga sekarang, nanti ya? Gue janji deh, setelah semua urusan Kayla beres.”

Rara diam.

Reyhan berdecak. Menarik gadis itu dalam pelukannya. “Ya Ra?”

“Yaudah gue mau beli eskrim.”

Reyhan tersenyum. Tak lupa mencium kening gadis itu.

“Lo nyium-nyium pacar juga bukan.”

Reyhan nyengir. Merangkul gadis itu dan tertawa bersama.

  • virtual

Rara merasa dingin di sekujur tubuhnya.

Ini hari pertamanya sebagai mahasiswa exchange meskipun lewat online tapi dia tetap saja merasa gugup.

Hi Miss Ainsley, can you introduce yourself first?

Rara mengangguk.

Um hi guys, i am Aurora Ainsley but just call me Rara. Im in 4th years on my college right now, and i am from Indonesia.” Rara menghela napas lega.

Oh really? Um, Mr. Aarav can you please turn on your camera?” Ucap Miss Smith.

Oke, sorry Miss Smith.” Sebuah suara dan wajah yang muncul membuat Rara mengangkat kedua alisnya.

So, Miss Ainsley the face you are looking at right now is Mr. Reyhan Aarav and he is from your country either but he lived in New York when he was child. Ok i know this information because i am his academic advisor so don't worry” Jelas Miss Smith.

Rara tersenyum.

So Mr. Aarav please being a partner for Miss Ainsley to accompany her study in our College. Can you?

Rara terkejut. Partner?

What should i do Miss?” Tanya Reyhan(?)

Just being her side, i mean um yeah you know what partner is. Because she just joined us in the middle of our semester and you both came from the same country so i think you guys will suits each other. So, there's a question Miss Ainsley?

Rara menggeleng.

Mr. Aarav?

Miss sorry, so it means the next partner project i will work with her?

Miss Smith mengangguk. “Exactly.

Oke thank you.

Thank you Mr. Aarav, so maybe that's all. Good luck guys.

Thank you Miss.

Ra? Rara kan?” Ucap Reyhan membuat jari Rara terhenti untuk menekan tombol end

“Iya.”

Karena kita bakalan jadi partner buat tiga bulan kedepan so, give me your number or something so i can contact you.

“Ah okey, ini.” Rara menulis kontaknya di chat collums.

Okey, i'll hit you up” Kata Reyhan dan layar pun menjadi gelap.

  • virtual

Rara bersama keempat temannya kini duduk melingkar di ruang tengah rumah gadis itu.

Mahesa selaku ketua angkatan mereka, membantu temannya itu menyiapkan segala kesiapan berkas dan hal-hal lain yang dibutuhkan.

Satya membantu menyatukan dokumen agar tidak berantakan.

Sedangkan Lila dan Azka? Mereka hanya duduk memandangi yang lain dan sesekali berdebat.

“Sat, yang itu ga di hekter juga?” Tanya Azka mendapat tatapan dari Satya.

“Kerja sini anj, jangan ngomong aja.” Azka nyengir.

“Dasar lo, untung lo pinter Ka.” Sambung Lila.

“Diem lo. Bau.”

“ENAK AJA!”

“Kok rame sih.” Juan dan teman-temannya juga datang.

“Kak Raraa congrats yaa.” Ucap Riki memeluk gadis itu.

Juan dan Sean menggeleng, sudah tak asing dengan sikap Riki.

Maklum, doi pindahan dari Amerika jadi kadang masih kebawa lifestylenya yah padahal udah dari 10 tahun yang lalu.

“Modus terussss.” Ucap Sean.

Sedangkan Rara? Yah dia hanya menyambut hangat pelukan Riki.

Meski Juan dan kedua temannya telah duduk dibangku SMA kelas 11 namun baginya mereka masih bayi.

“Dih ini yang namanya Riki?” Nyinyir Azka.

“Ape lu?”

“Songong banget nih anak ye.” Azka berdiri begitupun Riki tapi ditahan oleh Rara.

“Udah ah, bantuin nih biar kelar. Nanti Rara gabisa masuk tepat waktu gara-gara telat submit.” Ucap Mahesa.

Tiba-tiba hape Mahesa berbunyi.

“Aduh, dekan guys.”

Dalam sekejap mereka diam.

“Halo selamat sore pak.”

....

Mahesa menatap Rara. “Iya pak, ini lagi disiapin.”

....

“Oh gitu ya pak, baik pak akan saya sampaikan. Makasih pak infonya.”

Dia menutup telepon itu.

“Bangsat.”

“Lah kenapa Sa?”

“Kegiatannya terpaksa via online gara-gara di sana tiba-tiba aja angka covid naik.”

Rara auto meleyot.

“Yah, gabisa ke US dong.” Keluh Rara.

“Gapapa Ra, sabar ye.”

“Online juga lo tetep bisa nyari cogan.” Lila memainkan alisnya membuat Rara tersenyum.

“Dasar lo.”

“Bagus deh kak, entar kalo ke US beneran Riki kangen kak Rara gimana.” Ucap Riki yang daritadi ndusel di antara Rara dan Azka.

“Aduh nih anak beneran mau jadi saingan gue.”

Mereka tertawa bersama hingga malam tiba.

  • getir

“Sa aku ke wc dulu ya.”

Sasa mengangguk.

Tatapan Sasa jatuh kepada hape milik Aksa di atas nakas, dia berpikir sejenak.

Dengan cepat dia mengambil benda pipih itu, jarinya bergerak sampai suatu nama menghentikan gerakannya.

Dia membaca percakapan Aksa dengan seseorang.

Membacanya dengan cepat dan benar saja, dia orangnya.

Sasa tersenyum getir saat satu persatu pesan dibacanya secara bersamaan membuat dadanya merasa sesak.

Air matanya perlahan turun.

Dia sudah mengetahuinya, tapi mengapa masih terasa sakit?

Tiba-tiba suara langkah kaki Aksa menghentikannya, dia meletakkan hape Aksa dengan cepat.

Aksa mengernyit, melihat Sasa yang berbalik membelakanginya dengan tubuh terbalut selimut.

“Sa? Kamu tidur?”

“Sa?”

Sasa memilih diam dan menutup rapat dirinya.

Terdengar suara berisik dari kantongan, mungkin saja itu obat yang dibawa Aksa tadi.

“Aku pulang ya, aku sayang sama kamu.” Ucapnya dengan sapuan sayang di pucuk kepalanya.

Suara pintu tertutup akhirnya terdengar.

Sasa menurunkan selimutnya.

Dia menangis.

Mengeluarkan semua rasa sesak yang sedari tadi dia rasakan.

Dia bodoh, kenapa juga dia harus penasaran? Padahal dia sudah tahu hal itu akan menyakitinya.

Sasa tidak mengerti kenapa Aksa berbuat seperti ini, apakah ada yang salah dengan dirinya? Atau Aksa sebenarnya sudah bosan dan menunggu waktu yang tepat untuk meninggalkan dirinya?

Sasa menggeleng. Tidak.

Dia tidak ingin Aksa pergi.

Sasa kembali bergelut dengan pikirannya sendiri.

Dengan banyak rasa sesak, dan banyak tetesan air mata.

  • bingung

Aksa mengendarai mobilnya menuju rumah Sasa, gadis yang sudah bersamanya sejak dua tahun lalu. Gadis lucu, alasannya tersenyum setiap hari karena tingkah gemasnya serta beberapa bawelan dan tingkah cerobohnya yang malah membuat dirinya semakin ingin menjaga Sasa.

Tiba-tiba hapenya berdering.

Aksa meringis saat sebuah nama muncul disana.

“Halo Dhe?”

“Maaf ya, aku lagi gabisa. Mau pergi dulu, ada urusan penting.”

“Entar malem ya jalannya? Ok see you cantik.”

Helaan napas terdengar.

Dhea adalah teman SMA nya dulu, sekaligus orang yang dia sukai.

Namun karena beberapa hal, perasaan itu tak sampai. Membuat Aksa menyerah hingga akhirnya bertemu sosok Sasa, adik tingkatnya.

Tepat saat reuni akbar sekolahnya, mereka bertemu lagi dan harus Aksa akui perasaan itu masih ada. Dia masih merasakan debaran sama seperti dia SMA dulu, hingga akhirnya tanpa sadar dia memulai semua ini.

Tanpa sepengetahuan Sasa, juga Dhea.

Dia sadar, jika salah satu dari mereka mengetahui rahasia ini maka siap tidak siap dia pasti akan kehilangan mereka berdua.

Aksa juga bingung. Dia terjebak.

Bisakah dia bersikap egois? Dengan mempertahankan keduanya? Baik Sasa maupun Dhea sangat berarti untuknya.

Hatinya terbagi dua, dan dia tidak bisa memilih salah satu.

  • you were good to me

Liana menatap Sean, lelaki itu dengan telaten membalut lukanya.

“Lili, lain kali hati-hati ya.” Ucapnya dengan senyuman manis seperti biasa.

Liana merasa bersalah. Sean terlalu baik, sedangkan dia?

Gadis itu menghela napas.

“Se, kamu kok baik banget sama aku?”

Lelaki itu tertawa menatap langit biru membiarkan angin yang menerpa wajahnya. “Ya karena kamu adalah kamu.” Ucapnya lembut.

“Aku ngelakuin ini, karena menurut aku kamu pantes Li. Aku sayang sama kamu, dan aku akan lakuin apa aja buat orang yang aku sayang. Meskipun kamu gapernah ngasih jawaban, ya gapapa aku nunggu. Kamu kan pernah bilang Se kejar apa yang menurut kamu harus di kejar, kalaupun kamu capek balik lagi ke tujuan kamu ngejar hal itu. Dan kalau hal yang kamu kejar itu adalah hati seseorang tetep semangat dan jangan berhenti kecuali orang itu yang nyuruh kamu berhenti gitu kan?”

Liana menunduk.

Dia tidak menyangka, perkatannya malah berbalik ke dirinya sendiri.

“Emangnya apa yang kamu cari dari aku Se? Aku bukan orang kaya, orang tua aku ninggalin aku, apa kamu ga malu suka sama orang yang ga jelas kayak aku?”

Sean menggeleng. “Kenapa harus malu? Aku suka kamu apa adanya. Kalau kamu nanya apa yang aku cari, jawabannya aku nyari cara biar bisa liat kamu bahagia. Aku tahu selama ini kamu belum bisa nemuin bahagia nya kamu, dan aku mau dengan adanya aku disini bisa ngedorong kamu buat nemuin itu. Itu aja cukup buat aku. Bahagia itu dateng dari dalam diri sendiri, dan aku mau usaha biar aku bisa bikin kamu ngerasa bahagia bukan karena ada aku tapi karena kamu bersyukur dengan apa adanya kamu. Aku mau, kamu ga ngerasa sedih lagi karena ga seberuntung orang lain di luar sana. Aku suka sedih kalau kamu mikir kayak gitu Li, kamu tahu? Adanya kamu berarti banget buat aku jadi aku gamau kamu mikir kamu ga berguna.”

“Kamu ga mau cari cewek lain aja yang lebih baik dari aku Se? Aku ngerasa aku ga pantes nerima ini semua dari kamu.”

Sean mengernyit. “Kamu nih, barusan aja aku ngomong. Lili, jangan pernah ngerasa ga pantes. Aku barusan ngomong kan kalau adanya kamu berarti banget buat aku? Aku sukanya sama kamu, bukan sama yang lain.”

Liana berpikir sejenak.

“Se, tapi maaf.” Ucap Lian dengan suara bergetar. “Aku rasa, kamu harus berhenti Se.”

“Li, maksudnya?”

“Berhenti ngelakuin semua ini sama aku, aku gabisa terlalu lama nyakitin kamu dengan biarin kamu ngelakuin semua ini sedangkan aku cuma jadi pihak penerima. Jangan ya? Kamu juga berhak bahagia, jangan cuma fokus buat nyari bahagia aku. Kamu harus ngelakuin semuanya untuk diri kamu dulu, prioritasin diri kamu dulu baru orang lain. Semua hal yang kamu lakuin ke aku, bikin aku ngerasa jahat Se. Aku.... udah nyoba buat numbuhin perasaan itu biar kamu ga sayang sendirian, tapi aku gabisa Se. Dari awal aku emang nganggep kamu temen, ga lebih. Aku minta maaf udah jadi brengsek tapi aku lakuin ini biar kamu ga terus-terusan berharap hal yang ga mungkin Se. Kamu terlalu baik, dan aku ngerasa ga pantes. Ya? “

Sean menggeleng. “Li please jangan.” Dia menggenggam tangan gadis itu namun nihil.

“Maaf Sean, kamu harus berhenti ngejar apa yang kamu cari dari aku. Kejar bahagia kamu ya? Kamu baik, kamu bakalan ketemu sama orang baik juga. Percaya sama aku.” Liana melepas genggaman Sean di tangannya lalu berdiri.

“Jaga diri ya Se, sampai ketemu di titik terbaik hidup menurut takdir.”

Ucapnya sebagai tanda perpisahan.

Liana meninggalkan Sean terdiam.

Kalau Liana pergi, apa lagi yang harus dia kejar?

Bahagia? Persetan. Bahagianya hanyalah Liana.

  • cemburu

Tari menatap Reyhan sambil mengucapkan dialognya.

Why you are doing this to me?

Am i joke- Rey, lo lagi apa sih?!” Kesal Tari saat melihat Reyhan yang hanya menggambar.

Seorang gadis.

“Rey?! Lo niat ga si? Ini pensi sisa dua hari tau ga?!”

Tari merasa kesal.

Dia melempar naskah yang dipegangnya, lalu berjalan meninggalkan aula seni.

Azka mengacak rambutnya frustasi melihat sikap Reyhan.

“Rey? Ya elah lo ngapain sih?”

Reyhan menatap Azka dengan tatapan bertanya.

“Loh Tari mana? Gue belum selesai gambar.”

“Tari mana Tari mana, noh anaknya ngambek. Lo kalo mau gambar cewek lo jangan sekarang dong, lagian gue kira lo deket sama Tari? Lo mainin anak orang ye? Gue tau lo cakep tapi ga gini juga Rey elah. Mana naskah belum rampung lo malah bikin masalah.”

Reyhan nyengir. “Yaudah Ka, gue samperin Tari dulu ya? Jagain gambar gue.” Ucap Reyhan menepuk bahu Azka.

Reyhan berlari.

“Tar?! Tari?!” Teriak Reyhan saat melihat gadis itu mempercepat langkahnya.

Reyhan menarik lengan gadis itu. “Tari, dengerin dulu.”

Tari mencoba menepis namun apa daya, Reyhan mengeratkan genggaman tangannya.

“Apasih?! Lo gambar aja sana cewek.lo.” Tutur Tari dengan penekanan di setiap katanya.

Reyhan tertawa.

“Lo marah kenapa sih? Lo marah gue ga fokus latihan atau lo marah gue gambar cewek di depan lo?”

Tari mengeryit. “Ya gara-gara lo ga profesional lah, lo liat ga sih ini sisa dua hari pensi tapi lo malah-”

Mata Tari membulat sempurna saat dirinya tertarik ke depan dan berakhir pada rengkuhan Reyhan.

“Lo ngapain anjir Rey.” Tari mencoba melepas pelukan lelaki itu namun tertahan.

“Tar, denger dulu makanya.”

Tari menahan napas. Jantungnya terasa ingin lepas sekarang juga.

“Lo tuh ya, seringnya marah, ngambek mulu, gamau dengerin gue ngomong.” Usapan lembut di kepalanya membuat detak jantung Tari semakin tak beraturan. Baru kali ini dia merasa seperti ini di sekitar Reyhan yang menyebalkan.

“Yang pertama, oke gue minta maaf karena gue ga fokus latihan gue tau gue salah. Yang kedua, kayaknya lo harus buka mata lo deh Tar.” Tari mendongak menatap Reyhan bingung.

“Yah, lo gasadar cewek.gue.yang.gue.gambar.itu.lo?” Tanya Reyhan dengan tatapan jahilnya dan penuh penekanan.

“Maksud lo?”

“Ya, gue gambar lo Tar. Lo gakenalin muka lo sendiri? Lo....” Reyhan merasa frustasi.

“Lo sadar ga sih? Gue suka sama lo Tar yaelah kesel gue, masa confess gada romantis-romantisnya. Lo harusnya gausah bingung pas gue deketin ya karena gue deketin yang gue suka. Lo gausah marah-marah gitu. Atau.....” Reyhan menatap gadis itu meneliti.

“Lo cemburu?”

Tari mendorong Reyhan membuat pelukan mereka terlepas.

Dia berlari menjauh.

Dia merasa malu.

Bisa-bisanya.

“Tari?! Tungguin gueee!”

“Diem lo, jangan ngikut!”

“Tar? Yaelah Tar.” Reyhan mencoba menyelaraskan langkahnya namun gadis itu berlari.

“Tar? Jangan lari entar jatoh. Sayang?!”

“Bodo Rey, gue gadenger.” Ucap Tari menutup kedua telinganya.

Berakhir seluruh penghuni koridor melihat aksi kejar-kejaran mereka.

Sasa menatap Aksa dari kejauhan..

Tanpa sadar air matanya menetes. Rasanya begitu sakit.

Tiba-tiba benda pipih yang di genggamnya bergetar menampilkan nama lelaki itu disana..

Dia menarik napas. Menghapus air matanya, menetralkan kembali perasaan kacau yang di rasakannya beberapa detik yang lalu.

“Halo?”

Dia tersenyum. “Aksaa???” Jawabnya antusias.

Sasa bisa melihat sebuah senyuman di wajah Aksa dari tempatnya berada sekarang. Meski Sasa tidak yakin, alasan lelaki itu tersenyum adalah dirinya atau.... gadis di depannya.

“Kamu dimana?”

“Lagi di jalan, deket taman.”

“Aku juga sekitar situ, aku samper ya?” Sasa mengangguk sebagai jawaban, seolah lelaki itu bisa melihatnya.

“Aku tunggu di taman yaa.”

Helaan napas panjang terdengar saat Aksa memeluk gadis itu lalu pergi.

Sasa berjalan tanpa semangat.

“Sasaaaaaa.”

Itu dia.

Dia Aksa. Berjalan kearahnya dengan senyuman yang mampu membuat Sasa meleleh sekarang juga.

“Aku kangen.” Katanya.

Sasa tersenyum dalam pelukan Aksa. Memeluk lelaki itu seerat mungkin.

Sasa tahu, dia bisa kehilangan Aksa kapan saja.

Tapi, untuk sekarang biarlah seperti ini.

Alasannya cuma satu.

Sasa sudah jatuh terlalu dalam.