declipsee

Kiel dengan wajah khas bangun tidur kini menatap Zeva dengan senyuman lebar di wajahnya.

fee7ce7463ee0d63bd4fe567f5140be0

Zeva mendecak. “Makan duluuu.”

“Lo cantik sih.”

“Jangan gombal.”

Kiel hanya cengengesan lalu menyuap bubur ayam yang telah dimasak Zeva untuknya.

Kiel mengangkat kedua alisnya takjub.

“Gimana?”

“Enakk.” Zeva tersenyum.

“Yaudah makan, gue tungguin.”

Kiel mengerutkan keningnya. “Terus?”

“Terus gue balik pulang.”

“Loh ga balik ke kantor?” Zeva menggeleng.

“Mau nganterin nenek ke klinik.”

Kiel ber-oh ria. “Lo kok jago masak sih kak?”

Tanya Kiel penasaran.

“Ya karena dirumah cuma gue yang bisa dan harus masak, jadi ya gitu.”

Kiel mengangguk paham.

“Enak banget tau, bubur ayam kak Zeva.”

Zeva tersenyum, bersama Kiel adalah satu-satunya saat dimana dia bisa tersenyum lepas.

Kiel berjalan dengan antusias melewati koridor kantor maminya dan berhenti di depan ruangan dengan tag 'Bagian Keuangan' di depan pintunya.

Dia memunculkan kepalanya dibalik pintu.

“Kak Zevaaaaa.” Panggilnya dengan suara yang sengaja dibulatkan.

“Eh Kiel, pasti nyari Zeva ya?” Tanya seorang pegawai.

“Om Janu, kak Zevanya ada ga?”

Pegawai yang akrab Kiel panggil dengan Om Janu itu menunjuk lemari besi di ujung ruangan dengan dagunya.

“Jangan direcokin, anaknya lagi sortir berkas.”

Kiel hanya cekikikan sambil mengangkat jempolnya.

Dia menemukan gadis itu dibalik lemari tengah berkutat dengan tumpukan dokumen.

“Kak Zevaaaaa.” Panggilnya.

“Hm, gue lagi kerja.”

“Gue tau.” Kiel mengambil posisi disamping gadis itu.

Kiel memangku dagunya memperhatikan ekspresi serius dari gadis yang lebih tua dua tahun darinya.

Dia tidak tahu entah sejak kapan dia sangat suka mempehatikan gadis itu saat tengah sibuk dengan pekerjaannya.

Sejak hari dimana maminya mempertemukan dia dengan Zeva— anak magang dikantor maminya untuk membantu dia mengerjakan tugas akuntansi yang sama sekali tidak dia mengerti membuatnya menempeli gadis itu selama tiga bulan belakangan.

Zeva menoleh, di dapatinya netra Kiel yang mengunci tatapan kearahnya

“Kenapa liatin gitu?”

Kiel mengerjap dan mengalihkan pandangan dengan cepat saat dia sadar Zeva menatapnya.

Dia gugup.

Kiel menggeleng. “Gue mau pamer, boleh ga?”

Zeva mengerutkan kening.

“Gue kan dah bilang, pamer tuh gabaik.”

Kiel cemberut sedih membuat Zeva mendecak.

“Yaudah mau pamer apa Kiel?” Tanya nya lembut.

Anak lelaki itu menyodorkan buku yang berisi gambar jurnal khusus disertai sebuah paraf dan nilai A+ disana.

“Tugas gue dapet nilai paling bagus dikelas.”

Zeva tersenyum bangga.

Mengangkat tangannya mengelus kepala Kiel lembut. “Pinter banget bayi.”

“Gue bukan bayi ya, gue udah 18 tahun. Udah punya KTP!” Sangkal Kiel yang malah membuat Zeva tertawa.

Kiel ikut cengengesan. “Tapi gapapa kan pamer?”

Zeva mengangguk membuat senyum Kiel kian merekah.

0723955ba56c52412333193cdc046fbc

Kana, Juan serta Sean kini tertawa bersama menikmati piknik yang sudah sejak lama mereka lakukan.

“Kana emang jago banget masaknya.” Puji Sean membuat Kana tersenyun lebar.

Hingga sebuah donat membuat ekspresinya berubah.

“Sean kenapa?”

Sean menghembuskan napas berat.

Dia merogoh sakunya mengambil hp nya dan menatap potret dirinya, Juan serta Riki.

acd7acd20739ee07c47475a4efaa2cb0

Juan ikut memasang ekspresi yang sama.

“Kangen Riki ga sih Ju?”

Juan mengangguk. “Semoga Riki bisa tenang ya disana.”

Plak

“Anjing.” Umpat Juan saat sebuah pukulan mendarat dikepalanya.

“Mulut lo dijaga bangsat.”

Juan hanya cengengesan sementara yang memukul mengambil donat yang dipegang Sean.

“Kana liat tuh masa gue digodain mulu.” Rengeknya.

Kana tertawa. “Kalian berdua jangan gitu sama Riki ih, iseng banget.”

Riki menjulurkan lidahnya ke- arah Juan dan Sean.

“Rasain.”

“Kana pacar Juan bukan si? Kok belain Riki mulu?” Cibir Juan.

“Lo mah sebenernya pemaen cadangan Ju maaf ya.”

“Yeu anjing lo.”

Mereka berempat akhirnya tertawa bersama.

Melepaskan semua beban, semua kekhawatiran serta semua kesalahpahaman yang pernah ada diantara mereka.

Kini Juan telah berdamai dengan papanya, Sean akhirnya mengambil cuti setelah sekian lama dan Riki— Kana mendengus mengingat hari dimana lelaki itu akhirnya bangun dari koma dan menertawai Kana yang sedang menangisinya.

Gue ga mati Kana, stop nangis. Katanya.

Kana hanya berharap, Tuhan senantiasa memberikan kebahagiaan ini. Mereka sudah banyak menangis, sekarang waktunya untuk tersenyum.

So you can tell that they were struggled, but they fought, and the fight paid off in the end.

Kana, Juan serta Sean kini tertawa bersama menikmati piknik yang sudah sejak lama mereka lakukan.

“Kana emang jago banget masaknya.” Puji Sean membuat Kana tersenyun lebar.

Hingga sebuah donat membuat ekspresinya berubah.

“Sean kenapa?”

Sean menghembuskan napas berat.

Dia merogoh sakunya mengambil hp nya dan menatap potret dirinya, Juan serta Riki.

acd7acd20739ee07c47475a4efaa2cb0

Juan ikut memasang ekspresi yang sama.

“Kangen Riki ga sih Ju?”

Juan mengangguk. “Semoga Riki bisa tenang ya disana.”

Plak

“Anjing.” Umpat Juan saat sebuah pukulan mendarat dikepalanya.

“Mulut lo dijaga bangsat.”

Juan hanya cengengesan sementara yang memukul mengambil donat yang dipegang Sean.

“Kana liat tuh masa gue digodain mulu.” Rengeknya.

Kana tertawa. “Kalian berdua jangan gitu sama Riki ih, iseng banget.”

Riki menjulurkan lidahnya ke- arah Juan dan Sean.

“Rasain.”

“Kana pacar Juan bukan si? Kok belain Riki mulu?” Cibir Juan.

“Lo mah sebenernya pemaen cadangan Ju maaf ya.”

“Yeu anjing lo.”

Mereka berempat akhirnya tertawa bersama.

Melepaskan semua beban, semua kekhawatiran serta semua kesalahpahaman yang pernah ada diantara mereka.

Kini Juan telah berdamai dengan papanya, Sean akhirnya mengambil cuti setelah sekian lama dan Riki— Kana mendengus mengingat hari dimana lelaki itu akhirnya bangun dari koma dan menertawai Kana yang sedang menangisinya.

Gue ga mati Kana, stop nangis. Katanya.

Kana hanya berharap, Tuhan senantiasa memberikan kebahagiaan ini. Mereka sudah banyak menangis, sekarang waktunya untuk tersenyum.

So you can tell that they were struggled, but they fought, and the fight paid off in the end.

declipsee

tw // car accident, blood, panic attack

“Kana!”

Gadis yang dipanggil menoleh tepat saat dirinta terdorong lalu terjatuh.

Sedangkan Riki, kini sudah terlempar dan bersimbah darah.

Kana terkejut bukan main, kepalanya sakit. Mengingat serpihan-serpihan kejadian yang menimpanya beberapa tahun lalu membuat kakinya lemas tak mampu menghampiri Riki yang sudah ramai dikerumuni orang banyak.

Dia mengetik pesan kepada Juan dan Sean semampunya.

Gadis itu lalu merangkak mendekati Riki.

Kana memangku kepala Riki memastikan agar lelaki itu tetap membuka matanya.

“Riki.” Panggil Kana dengan air mata membasahi wajahnya.

Riki tersenyum menatap Kanaya sebisanya.

Dia memberikan hapenya kepada Kanaya. “Simpan hp gue ya Kana, nanti kasih Juan. Ada bukti disana.” Ucapnya tertatih.

Kana hanya terus menangis memangku kepala Riki.

“Riki tolong tetep disini sama Kana ya? Tunggu ambulance datang ya? Kana ga pergi, Kana disini Ki.”

Riki tersenyum. “Makasih ya Kana, atas semuanya. Kana bahagia ya.” Lirih Riki pelan.

Kana menggeleng. “Rikii, Riki liat Kana.”

Namun lelaki itu mulai menutup matanya.

Riki menegakkan punggungnya saat Kana keluar dari panti.

Sepertinya gadis itu akan pergi ke suatu tempat.

Riki mengikutinya dalam diam. Dia sengaja melakukan ini karena sedang merindukan Kana namun belum memiliki keberanian untuk menemui gadis itu secara langsung.

Dia menganati Kana dari jauh hingga hp nya berdering.

Juan.

Ada perlu apa dia? Riki mendengus, sudah sejak lama.

“Apa?”

Pengen ngobrol berdua.

“Atur aja. Eh, Kana!”

Sean menghela napas berat. “Aneh-aneh aja idup lo Ju.”

Sean menggeleng setelag mengetahui cerita yang tidak dikatakan Juan selama ini termasuk cerita tentang Adel.

“Terus sekarang gimana?”

Juan menggeleng. “Gue takut dia beneran nyentuh Kana.”

“Yaudah bareng Kana aja terus.”

“Lo tau dia masih marah sama gue.”

“Ajakin ngobrol, Kana pasti mau.”

Juan menunduk tak yakin.

“Coba dulu Ju, for God's sake

Juan menghela napas, suasana kali ini terasa sangat berbeda.

Baik dia maupun Kana tidak mengeluarkan sepatah katapun selama hampir satu jam.

“Kalau gada yang mau diomongin, Kana mau pulang aja. Udah malem.”

Juan menatap gadis itu.

“Kana.”

“Kalau gamau nganterin pulang gapapa, Kana bisa sendiri atau nelfon Riki juga bisa.”

Mendengar nama Riki membuat Juan tertawa. “Kana udah suka sama Riki ya?”

Dia tertawa dengan nada berbeda. Sedikit meremehkan(?)

Kana menatap lelaki itu tak habis pikir. “Juan ngajak ketemu cuma buat bahas Riki?”

“Abisnya betah banget sama Riki, pake pamer ke twitter segala. Juan sampe ga dichat atau apa gitu. ” Sarkas Juan.

“Riki cuma mau bikin Kana ga sedih lagi.”

“Kana emang gasadar atau pura-pura gasadar sih? Riki itu nyari kesempatan biar bisa deket sama Kana.” Nada bicara Juan mulai terdengar tidak biasa. Ada kekesalan disana.

Kana menghela napas. “Juan, Riki ga kayak yang kamu pikirin.”

Juan mengernyit. Kamu?

“Terus gimana? Bukannya jelas? Dia suka sama lo, Kana. Dia bakalan lakuin apapun biar bisa deket terus ngambil lo dari gue.”

Kanaya berdiri. “Kamu bisa ngajak aku ketemu lagi nanti, tenangin pikiran masing-masing dulu.”

Namun Juan menahan tangannya. “Terus apa? Nanti lo jadian sama Riki?”

Kana berbalik menatap Juan. “Juan, kalau emang tujuan Riki sama kayak yang kamu pikirin dia udah lakuin itu jauh sebelum kamu balik ke Indo. Kamu tau sendiri 5 tahun cukup buat dia kalau dia mau, tapi apa? Aku masih disini sekarang, di depan kamu nyoba buat nyelesein masalah diantara kita tapi kamu masih tetep kekeuh buat bahas Riki.”

“Bahkan lo belain dia Kana.”

Kanaya menggeleng. “Aku gabelain siapa-siapa. Aku cuma ngomongin fakta yang sekiranya kamu gatau karena kamu terlalu asik sama cewek baru kamu itu.”

“Gausah bawa-bawa Adel dia gatau apa-apa.” Sela Juan datar.

Kana tersenyum, mencoba menahan diri agar tidak menangis.

“Juan, aku ga marah kalau kamu ternyata suka sama orang lain. Aku ga bakal ngeluh kalau kamu gasuka sama aku lagi toh selama ini aku emang gapernah ngeluh kan? Tapi hari ini kayaknya pertama kali aku ngerasa kecewa sama kamu. Pertama kalinya aku ngeluh soal kamu. Kamu bahkan gabisa liat tujuan Riki sebenernya itu apa, kamu cuma nuduh dia tanpa alasan. Riki sahabat kamu Ju, kamu harusnya kenal Riki gimana.”

“Kamu gatau gimana sedihnya dia karena harus mukul kamu hari itu. Ohiya, siapa bilang aku gapernah nyoba buat ngehubungin kamu?”

Kana merogoh hp nya memperlihatkan sesuatu disana.

“Ini lihat sendiri.”

Juan mematung. Jadi selama ini, dia yang berpikir Kanaya tidak peduli dengannya ternyata salah.

Namun, setelah dia sadar Kanaya sudah pergi dari sana.

Juan menghela napas saat dirinya harus berakhir di salah satu toko sepatu di mall yang ada di Jakarta.

Bersama gadis paling menyebalkan akhir-akhir ini.

Adel.

Mimpi apa Juan sehingga gadis cengeng itu kembali untuk mengganggu ketenangan hidupnya.

Adel yang manja itu tak mau melepaskan Juan. Tangannya terkait di lengan Juan yang bergerak mencoba melepaskan diri.

Mereka telah sampai di basement hingga tiba-tiba gadis itu mengaduh.

“Juan.”

Juan menatapnya bingung.

“Kenapa lo?”

Gadis itu menoleh dengan mata tertutup dan berair.

“Juan perih banget, there is something in my eyes.

Juan panik mencoba mendekat. “Eh kok bisa?”

Adel hanya menggeleng.

Juan mendecak. “Sini gue liat.”

Juan mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu lalu mencoba meniup matanya.

Adel mengerjap.

“Udah?”

Gadis itu mengangguk. “Better

Namun tiba-tiba sebuah teriakan mengalihkan perhatian mereka.

“JUAN ANJING!”

Juan menoleh dengan dahi berkerut. Riki?

Namun setelahnya matanya membulat karena dia tersungkur oleh bogeman Riki yang tiba-tiba.

“Eh lo kenapa?” Riki tidak menjawab, hanya terus menghujamnya dengan tonjokan.

“Lo brengsek bajingan!”

Adel hanya berdiri dengan air mata yang mengalir karena terlalu kaget.

“Yaelah anjing udahan woe.” Sean. Itu Sean.

Dia menarik Riki menjauh sedangkan Juan dibantu oleh Adel.

“Juan kamu gapapa?” Tanya Adel.

Juan hanya diam saat netranya menatap gadis yang datang bersama Sean.

“Kana?” Gadis itu hanya diam menatapnya dengan datar.

Kana menghela napas mengalihkan pandangan menatap Riki.

“Riki gapapa?”

Juan kaget, jelas-jelas dirinya yang babak belur namun Kana hanya menanyakan keadaan Riki.

Juan tersenyum singkat. “Lo kenapa si Ki?”

“Lo yang kenapa bangsat? Kenapa lo ngelakuin ini? Lo kalo gasuka sama Kanaya bilang jangan kayak gini!”

“Ki udah. Ini ada apasih?”

Riki menghentakkan tangan Sean yang menahannya sedari tadi. “Itu liat temen lo, biarin Kanaya sedih mikirin dia karena khawatir gara-gara ngilang gada kabar tapi ternyata dia mesra-mesraan sama ni cewek. Pake nyium segala lagi.”

Sean terkejut beralih menatap Juan. “Seriusan Ju?”

Juan menggeleng. “Engga kayak gitu Ki, lo salah paham.”

“Salah paham apaan bangsat gue jelas-jelas liat lo. Gausah ngelak! Lo gakasian apa sama Kanaya? Dia nunggu lo 5 tahun balik-balik lo campakin dia terus nyari cewe baru? HAH?!!”

Juan menatap Riki bingung. “Gue bilang lo salah paham Ki. Gue ga kayak gitu, lagian lo kenapa si? Lo suka sama Kanaya?”

“Iya gue suka sama Kanaya, kenapa? Gue udah mulai ikhlasin dia karena gue tau mau sampai kapanpun di hatinya dia ada lo tapi kelakuan lo kayak gini.” Riki tersenyum remeh. “Gue jadi mikir dua kali Ju.”

Perkataan Riki membuat Juan naik pitam. Dia mencoba melangkah memberi pelajaran namun tangannya ditahan oleh Adel.

Dia menoleh mendapati Adel yang tengah menangis. Sepertinya dia terkejur akan hal yang baru saja terjadi.

Dia menatap Kanaya, gadis itu masih setia dengan kebungkamannya. Kana hanya menatap Juan dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Juan, take me home please” Rengek Adel.

Juan menutup matanya, menetralkan emosinya lalu berbalik.

“Cepet.” Ucapnya datar.

Dia menuntun Adel menuju mobil dan berlari kecil menuju kursi kemudi.

Dalam langkahnya dia tetap mengunci pandangannya kepada Kanaya yang juga menatapnya lekat.

Tanpa kata yang terucap, mereka berdua terluka.

Riki berjalan dengan senyuman cerah keluar dari sport-stasion yang ada di salah satu mall di Jakarta.

Tiba-tiba saja dua orang melintas tak jauh dari tempatnya berdiri.

Salah satunya adalah sosok yang sangat dikenalinya.

Dia bersama dengan satu orang lainnya memasuki salah satu toko sepatu yang ada disana.

Rahang Riki mengeras. Dia mengekori kedua orang itu dan menunggunya untuk keluar.

Tak lupa dia mengetikkan sesuatu di hp nya.

Hingga tak lama kedua orang itu keluar dari sana.

Gadis yang tak pernah dia kenal kini merangkul tangan sahabatnya— Juan.

Riki mengikuti mereka hingga ke basement.

Sampai dimana mereka berhenti lalu Juan terlihat mendekatkan wajahnya ke gadis itu.

Mata Riki membulat. Berlari menghampiri kedua orang itu.

“JUAN ANJING!”

Yang dipanggil menoleh dan bug.

Satu bogeman tepat mengenai wajahnya.

Sementara gadis itu terperanjat kaget.

Riki tidak diam, dia mengambil semua kesempatan menonjok wajah Juan karena dia tahu jika dia lengah sedetikpun maka dia yang akan habis hari ini.

“Lo brengsek bajingan.”

Dari jauh terdengar suara yang mereka kenal.

“Yaelah anjing woe udah.” Itu Sean dengan seorang gadis yang ikut dibelakangnya— Kanaya.