declipsee

Juan merogoh hp nya yang bergetar. Dia melihat nama Doni disana.

Doni yang sama yang selalu mengajaknya balapan saat masih di Indonesia.

“Yo?”

Tugas kemaren, clear

Mata Juan membulat sempurna, pasalnya dia tahu tugas apa yang Doni maksud.

Netranya meneliti bodyguard yang mengawasinya sembari berpikir kata apa yang akan dia ucapkan selanjutnya karena jika dia salah menjawab dan orang-orang papanya yang mengawasi hpnya mendeteksi itu maka rencananya akan gagal. “At your home?

Yep” Juan mengangguk.

“Saya mau kerjain project kampus di rumah Doni.” Pria berbadan besar itu mengangguk lalu mengikuti Juan yang sudah melajukan motornya.


Juan berlari memasuki rumah Doni. “Gimana?”

Doni mengangguk. “Ini.” Ucapnya memberikan hp nya kepada Juan.

“Beneran?”

“Iya, buru telfon.”

Juan menarik napas, jantungnya berdegup kencang.

Jarinya bergerak men-dial nomor itu. Tersambung.

Jarinya sibuk bergerak menunggu pemilik nomor itu mengangkat telfonnya.

Halo?

Juan menatap Doni senang.

Suara yang tidak pernah didengarnya setahun belakangan kini akhirnya terdengar oleh indranya lagi.

Juan serasa akan menangis dan berlari untuk pulang ke Indonesia sekarang namun itu adalah hal yang mustahil.

Ini siapa?

Ini Juan-nya Kana ucapnya dalam hati.

Iya, orang yang ditelfon itu adalah Kanaya.

Juan tahu pasti sekarang Kana sedang bingung karena Juan tidak mengucapkan apapun. Juan takut jika dia berbicara kepada Kana maka akan menempatkan gadis itu ke dalam keadaan yang bahaya.

Doni menatapnya dengan tatapan menuntut. Kenapa ga ngomong? Tanyanya tanpa suara dan Juan hanya menggeleng.

Halo? Aku matiin aja ya?

Satu

Dua

Tiga

Tutt terputus.

Juan terkekeh. “Nih, thank you ya?”

“Bego.” Umpat Doni. “Kok ga ngomong si?”

“Lo tau sendiri gue disini gimana, pasti bokap gue gabakalan tinggal diam kalo dia tau.”

Doni mendecak. “Apes bener idup lo Ju.”

Juan hanya tersenyum. Setidaknya suara Kana bisa mencerahkan hari-hari nya lagi.

Kana mendengus, dadanya sesak. Kerinduannya kepada sosok Juan sudah sangat menyiksa.

Bulir air mata menetes perlahan. Gadis itu memeluk lututnya erat.

“Juan..” lirih Kana.

“Juan kemana sih, kok gapernah hubungin Kana.”

Sebisa mungkin Kana menahan diri agar tak bersuara namun mustahil melakukannya.

Isak tangis mulai memenuhi kamarnya.

Hingga hp nya bergetar menunjukkan panggilan masuk.

Kana mengangkat kepalanya melirik hp nya, dia mengernyit.

Nomor tidak dikenal

Secepat kilat Kana menghapus bekas air matanya lalu menerima panggilan itu.

“Halo?”

“Ini siapa?”

Kana melihat kembali layar hp nya. Masih terhubung tapi kenapa tidak ada suara?

“Halo? Aku matiin aja ya.”

Kana memutuskan panggilan itu, bingung.

Siapa orang iseng ini.

Juan menghela napas kasar, bagaimana caranya agar dia bisa menghubungi Kana.

Hp nya diretas, saat ingin membeli yang baru anak buah Papa nya pasti melakukan segala cara agar yang dia beli itu hilang atau rusak.

Dia menatap langit yang cerah, menutup matanya merasakan angin yang berhembus menusuk kulitnya.

Sama seperti apa yang selalu dilakukan Kana.

Ah, dia sangat merindukan gadis itu. Pasti akan seru melihat Kana tersenyum dengan pancaran bahagia di matanya, bukan kekosongan lagi.

“Kana lagi apa?” Tanya Juan pada angin.

“Kana, Juan kangen sama Kana. Kana kangen ga sama Juan?”

Entah sejak kapan, cara panggil Juan berubah. Dari 'gue-lo' jadi 'Juan-Kana'.

Lelaki itu terkekeh membuat lesung di pipinya terlihat.

Meyakinkan diri untuk menyelesaikan study-nya agar bisa cepat kembali kepada Kana.

Hai Kanaya, ini Juan.

Kalau Kana udah baca surat ini berarti operasi Kana lancar kan? Juan seneng jadinya.

Sekarang, ga cuma ngerasain angin tapi Kana bisa liat pemandangan lagi tapi maaf ya Juan gabisa temenin Kana liat pemandangan dulu.

Maaf, Juan harus pergi dan ga bilang sama Kana. Keadaan maksa Juan buat lakuin ini, maaf ya?

Kana. Juan mau minta tolong boleh ga?

Tolong tunggu Juan. Kana bisa kan?

Juan bakalan balik nanti buat temuin Kana.

Kana harus tau, Juan sayang sama Kana.

Sayang banget, sampai Juan sanggup ngelakuin apapun buat Kana.

Kana, jaga diri ya? Kalau ada apa-apa, Kana bisa minta tolong sama Riki atau Sean.

Kana baik-baik ya disana, tunggu Juan pulang ya?

Semoga disuatu hari saat kita punya kesempatan buat ketemu lagi, kita bisa mulai semuanya lagi sama seperti apa yang udah kita lakuin.

Juan punya banyak wishlist kegiatan yang bakalan dilakuin kalau Kana udah operasi tapi ditunda dulu ya? Juan bakalan nemuin Kana nanti dan kita lakuin semuanya.

— Juan Ivander

Kanaya gugup, pasalnya hari ini perban yang menutupi matanya akan dibuka.

“Kanaya udah siap?” Tanya Dokter Rian.

Kana menangguk sebagai jawaban.

Disana ada ibu Lina, Riki juga Sean yang menunggu sama gugupnya.

Tangan Dokter Rian terulur membuka balutan perban itu.

Kana bisa merasakan cahaya semakin terang saat balutan perban yang menutupi matanya semakin tipis.

“Kanaya sekarang kamu bisa buka mata kamu, pelan-pelan ya.”

“Baik Dok.”

Kana membuka matanya perlahan.

Dia mengerjap beberapa kali saat sebuah siluet terlihat oleh netranya.

“Ibu?” Panggil Kana.

Ibu Lina menangis memeluk gadis itu bahagia.

“Ibu? Kana bisa liat ibu lagi.”

“Kanaya anak ibu.” Ibu Lina menumpahkan rasa bahagia itu dalam tangisan dan peluk yang ia berikan untuk Kana.

Dokter Rian tersenyum.

“Kanaya?”

Kana menoleh melepaskan pelukannya. “Dokter?”

Dokter Rian tersenyum. “Saya akan periksa dulu.”

Dokter Rian mendekat dan memeriksa mata Kana.

Dia tersenyum puas. “Sejauh ini hasilnya stabil. Kalau ada keluhan kamu bisa panggil saya, saya keluar dulu.”

“Terima kasih dokter.” Ucap Ibu Lina.

Senyuman Kana tidak terlepas dari wajahnya. Dia menoleh mendapati dua lelaki yang berdiri dengan senyuman yang tak kalah lebar.

“Gue Riki.”

“Gue Sean.”

Kanaya mengangguk. “Makasih ya udah temenin aku selama ini.”

Baik Riki maupun Sean mengangguk.

“Ohiya.”

Sean merogoh sakunya mengeluarkan secarik kertas lalu memberikannya kepada Kanaya.

Kana mengernyit. “Ini apa?”

Sean menatap Riki ragu. “Dari Juan.” Singkat Riki.

Seketika senyuman Kana memudar. Dia kembali teringat kepada lelaki itu, dimana dia sekarang? Kenapa dia tidak ada disini dan menjadi orang pertama yang Kana lihat?

Kanaya tersenyum singkat menertawai dirinya. “Makasih.”

“Yaudah nak, kamu istirahat dulu ya? Ibu mau beli makanan dulu untuk kalian.”

Kanaya mengangguk.

“Ibu saya ikut ya?” Tawar Sean yang diangguki ibu Lina sebagai sebuah jawaban.

Mereka keluar meninggalkan Riki dan Kana disana.

Kanaya mulai membuka lipatan kertas itu dan mulai membacanya.

Ohiya, sebelum Kana kecelakaan dia memang sudah sekolah sampai kelas 3 dan merupakan siswi yang pintar namun naas kejadian malang itu menimpanya sehingga dia harus menghentikan pendidikannya dan belajar di panti dengan huruf braile yang untung saja di sponsori oleh seorang donatur yang dermawan.

Riki hanya menatap gadis itu datar, dia masih kesal karena Juan menghilang tanpa mengatakan apapun.

Juan memasuki ruang kerja papanya dengan langkah mantap meski hatinya masih gelisah.

image

“Pa?”

Papanya berdehem tangannya sibuk membolak-balikkan dokumen.

“Juan setuju buat ke London, tapi tolong bantu Juan cari Kana pa.”

“Memangnya gadis itu kemana?” Papanya mengangkat kepala memandang anak semata-wayangnya itu.

“Gatau pa, Kana ilang.”

“Kamu curiga sama seseorang?”

Juan mengangguk. “Iya, namanya Travis Alexander dia musuh aku Pa. Sebelum Kana ilang aku sempet ketemu dia pas lagi sama Kana.”

Papa Juan mengangguk paham. “Baik, akan Papa urus. Kamu bisa pergi.”

Juan baru akan melangkah namun suara Papanya mengurungkan niatnya.

“Jangan lupa janji kamu, kamu sudah setuju untuk pergi ke London.”

“Iya Pa, Juan janji. Juan gabakal ingkarin Janji Juan.” Jelas Juan lalu melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu.

Juan berlari menuju ruang kerja papanya.

Dia terkejut, bagaimana bisa papanya mengetahui tentang Kana.

image

“Papa?” Napas Juan tersengal.

“Kenapa kamu?”

“Papa, kenapa papa tau soal Kana?”

Papanya mengangguk paham kearah mana pembicaraan mereka.

“Oh namanya Kana?”

Juan tidak menjawab, dia memilih diam menunggu jawaban dari pertanyaannya.

Papanya menegakkan bahu menatap Juan.

“Papa suruh bawahan buat ikutin kamu.”

Sejak saat pembicaraan mereka di ruang kerja beberapa waktu yang lalu Juan sudah curiga kalau papanya tidak akan tinggal diam. Ternyata benar, lelaki itu mengirim bawahannya untuk memata-matai Juan.

“Papa jangan sentuh dia.”

Papanya tergelak. “Kenapa memangnya? Pacarmu?”

“Kamu kenal Papa Juan, Papa tidak akan mengganggu seseorang jika dia tidak mencari masalah lebih dulu. Lagian kamu harusnya belajar pilih teman, jangan berteman dengan gadis seperti Kana. Cari teman yang bisa menguntungkan kamu bukan yang bikin rugi macam dua teman kamu yang berandal itu.”

Juan mendecak, memutar bola matanya malas.

Dia berbalik berjalan menuju pintu.

“Jangan lupa sama janjimu Juan Ivander.”

Juan hanya terus berjalan tidak niat memberikan respon.

Juan menemui papanya di ruang kerja. Dia bertanya-tanya apa yang akan disampaikan papanya sejak pesan itu dia terima.

image

Pasalnya, bahkan dari gaya mengetik papanya Juan bisa tau bahwa akan ada hal serius yang akan terjadi.

“Kenapa pa?” Tanya Juan kepada lelaki yang duduk membelakanginya itu.

Papa Juan memutar kursinya menghadap Juan.

“Papa mau kamu ke London untuk melanjutkan sekolah.”

Juan membelalak kaget. “Loh kenapa?”

Bukannya menjawab, lelaki yang ditanya itu hanya mengernyit bingung. “Kenapa?”

Dia melempar sebuah buku tipis yang ternyata adalah rapor Juan.

Juan melipat bibirnya, kalau seperti ini tidak akan ada alasan untuknya menolak permintaan papanya— tidak, dia memang tidak bisa menolak karena itu adalah sebuah perintah.

“Tapi pa..”

“Papa tidak mau dengar alasan Juan.”

“Pa tolong, beri Juan kesempatan untuk nentuin apa yang sebenernya pengen Juan lakuin.”

Papanya menatap Juan tegas. “Bisa apa kamu kalau kamu seperti ini?”

Namun Juan tidak menyerah. “Pa tolong, Juan akan buktiin ke Papa.”

Lelaki itu menghela napas kasar. “Baik, kalau tidak ada perubahan selama dua bulan kamu harus turuti kata Papa.”

“Loh? Bukannya harus tunggu aku lulus?”

“Gausah, papa akan urus semuanya.”

Juan mengangguk pelan. “Baik Pa, Juan ngerti.”

Rencana mengobrol agar Juan bisa sedikit tenang berakhir mereka duduk terdiam di dalam ruangan dokter Rian— dokter mata Kanaya.

“Jadi gimana dok?” Tanya Juan penasaran.

Dokter Rian menghela napas. “Kita bisa nunggu Kanaya bangun dulu, nanti saya jadwal ulang operasinya kalau keadaan Kanaya udah stabil.”

Juan mengangguk.

Hp nya berdering menampilkan nama Ibu Lina disana.

Juan beranjak. “Permisi.”

Riki dan Sean mengekor dibelakang lelaki berlesung pipi itu.

“Baik bu.” Juan menutup telfon menatap Riki dan Sean dengan mata berbinar.

“Kana sadar.”

“Gimana?” A voice entering his sense of hearing made Heeseung take his eyes off his handphone and staring at the girl who stand in front of him with a white dress.

Heeseung immediately amazed. Gadis itu terlihat sangat cantik layaknya seorang putri kerajaan yang berdiri anggun dengan wajah yang merona.

“You look so pretty.” Puji Heeseung so the girl widen her smile.

Heeseung tidak pernah berhenti bersyukur saat dia akhirnya memiliki gadis itu disisinya. Back at the day when she decided to agree to became a girl who always be there, in his daily life. Became a safest, warmest, coziest place to each other. Gadis itu bagaikan sebuah hadiah paling indah yang diberikan Tuhan untuknya, as her name- Grace is a girl sent by God to brighten the darkness that he has been through all this time.


“Kamu mau eskrim ga?” Tanya Heeseung yang dijawab dengan sebuah anggukan oleh Grace.

Lelaki itu menggenggam tangannya, berjalan menuju penjual eskrim yang ada di taman.

“Vanilla dua ya mas.” Ucapnya ramah.

“Ini mas.” Penjual eskrim itu memberikan dua corn yang berisi eskrim Vanilla pesanan mereka.

Grace meraihnya dengan penuh suka-cita menunggu Heeseung yang memberikan selembar uang sepuluh-ribu kepada penjual itu.

“Nih punya kamu.”

Mereka memutuskan untuk duduk di bawah pohon sambil memakan eskrim itu. The wind blows against their skin bothering Grace by flying her hair sehingga gadis itu sedikit kewalahan menahan rambutnya.

Heeseung yang melihat itu melahap eskrimnya dengan cepat lalu meraih helai-helai rambut Grace dan menguncirnya.

Grace tersenyum. “Makasih.”

“No problem.” Ucap Heeseung menatap gadis itu lembut.

Grace mengernyit mendapati lelaki itu menatapnya. “Kenapa?”

Heeseung shook his head. “Gapapa, aku cuma seneng aja liat kamu makan eskrim kayak gini. Lucu.”

She blushed. Tangan Heeseung terulur mengusap pipi gadis itu. “Aku bakalan selalu bikin kamu bahagia, Grace. Aku janji, i will do anything to keep you safe and also your beautiful smile.”

“I hate seeing your frowning face. Aku gapapa kalau harus selalu kuncirin rambut kamu tiap hari biar kamu bisa makan eskrim dengan tenang.”

Oh my God. Grace merasakan pipinya memanas, pelupuk matanya berat oleh bulir air mata yang memaksa agar menetes.

Tatapan serta senyuman yang dia berikan selalu berhasil memberikan rasa nyaman untuknya.

“You are an angel Heeseung.” Lelaki itu menggeleng tidak setuju. “No, you are the angel.”

Grace menghamburkan diri ke dalam pelukan lelaki itu tidak peduli lagi dengan eskrimnya yang terjatuh ke tanah. The only one she need is hugging this precious boy.

At this time she knew, no words spoken, no glances shared but just her and him.

Heeseung mengusap sayang kepala Grace saat dia sadar kaosnya telah basah karena air mata gadis itu.

Bertemu dengan Grace- the girl who hold his hand in the verge of shattering make his desire to live again ignite. They were the perfect one to each other.

“Kamu mah hobi banget bikin aku nangis.” Grace menarik dirinya mengusap bekas air mata di wajahnya sedangkan Heeseung hanya tertawa gemas.

“Aku cuma ngomong fakta Grace.”

She pouting her lips, memukul pelan lengan Heeseung lalu berdiri.

“Loh mau kemana?” Tanya Heeseung mendongak.

“Mau lari wle.” Seketika Grace berlari membuat lelaki itu tersenyum jahil dan mengejarnya.

“Kalau kamu ketangkep bakalan habis sama aku ya.”

“Gatakut wle wle.” Grace menjulurkan lidahnya meledek pacarnya itu.

Heeseung berlari pelan, dia bisa saja memperpanjang langkahnya untuk menangkap gadisnya itu namun dia mengurungkan niatnya memilih melihat Grace tertawa riang.

Tawa Grace adalah alunan musik yang sanggup di dengarkan Heeseung sepanjang waktu seakan tidak ingin tawa Grace memudar bahkan sedetik pun.

Senja itu mereka berbagi tawa dan tangis satu sama lain, creating another mesmerizing moment to be remembered.

“Heeseung, kamu tau ga? Aku sayang banget sama kamu, more than i love my own self.” Teriak Grace yang masih mencoba menghindar dari tangkapan Heeseung membuat lelaki itu berhenti mengejarnya dan berkacak pinggang.

Grace hanya tertawa gemas melihatnya dan terus berlari.

Hingga tanpa sadar Grace tersandung batu lalu terjatuh.

“GRACE!” Heeseung terbangun. Peluh membasahi tubuhnya, napasnya tersengal.

Dia bermimpi.

Matanya beralih menangkap gadis yang dicintainya masih terbaring dengan alat yang menempel di tubuhnya.

Grace sudah terbaring di bangsal rumah sakit selama satu tahun karena kecelakaan.

Bertahan disana dengan harapan yang Heeseung pegang sampai detik ini berharap Tuhan memberi keajaiban dan gadis itu bisa membuka mata lalu memanggil namanya.

Heeseung menatap jam yang melingkar di tangannya. Pukul 17.08, waktunya matahari untuk beristirahat.

He sighed, got up from the chair intending to go out to get some air. After the second step he took, elektrodiagram di meja tiba-tiba berbunyi. Lelaki itu panik, berlari keluar memanggil dokter.

Rasa gelisah merasuki dirinya, Heeseung merapalkan seluruh doa di dalam hatinya. Mencoba meminta pada Tuhan untuk tetap membiarkan gadis itu ada disini bersamanya, bahkan dalam keadaan koma sekalipun Heeseung tak masalah.

Heeseung menjauh membiarkan dokter segera mengambil tindakan. Matanya mulai berair, pikiran-pikiran buruk mulai menghantuinya.

Dia menggeleng. Tidak. Grace pasti bisa bertahan, pikirnya.

Dia menatap gadis itu sedih. Dokter telah menggunakan defibrilator dengan tekanan 300 joule.

Sesaat kemudian dokter itu berhenti melakukan kegiatannya disusul perawat yang mulai merapikan alat yang ada disana.

Matanya bertemu dengan mata milik dokter itu meminta jawaban.

The doctor shook his head. “Waktu kematian, 18.00 WIB. She is gone.”

Heeseung's body went limp, his tears are dripping.

Dokter dan perawat keluar dari ruangan itu meninggalkan Heeseung.

Heeseung menangis dalam diam. Dadanya sakit, suaranya tercekat. Dia tidak memiliki kekuatan untuk berdiri dan memeluk gadisnya itu.

Cahaya jingga menembus masuk melewati tirai ruangan itu menyinari tubuh Grace yang tertutup kain.

Heeseung grunts. In that light, he seemed to see her soul went came out and smile at him then leave along with the fading light.

Lelaki itu berdiri dan berjalan menghampiri Grace dengan lunglai. Menyingkap kain yang menutupi wajah cantik milik gadisnya itu. He stare at her for a moment, trying not to cry anymore because he is so sure that his girl would never want to see him shed a tears.

You gave me a sense of happiness that i have never experienced before and i doubt i could live this life after this Grace. I love you but sorry if someday i will meet you in an inappropriate way. he said, while gently caressing her pale cheeks.

Dia kembali menarik kain yang menutupi Grace tadi lalu berjalan keluar dari ruangan. Jiwanya telah kosong.

At the end he knew, they weren't the thing that would kept together- forever. His world was falling apart.