declipsee

Juan berjalan dengan lesu menuju kamar inap tempat Kana dirawat.

Tangannya memegang seikat bunga yang dia beli di jalan.

Riki membuka pintu agar Juan bisa masuk.

Namun saat berdiri di depan pintu matanya menangkap Kana yang tengah terbaring lemah dengan alat serta perban di kepalanya.

Air matanya kembali menetes.

Ibu Lina berdiri memeluk Juan menenangkan dirinya.

Sean dan Riki menatap sahabatnya sedih. Baru kali ini dia melihat Juan seputus asa ini.

Sedangkan Juan hanya diam, matanya masih menatap Kana dalam tangisnya.

Dia melepaskan diri dari pelukan Ibu Lina yang juga menangis.

“Kana..” panggilnya lirih.

Dia mendudukkan diri di kursi yang ada di samping tempat tidur.

Meletakkan bunga yang dia bawa di tangan Kana.

Hatinya sakit melihat Kana seperti ini. Sudah tiga hari tidak ada pertanda bahwa gadis itu akan sadar.

“Kana, Juan disini.” Ucapnya sambil mengusap air matanya yang dengan sengaja menetes lebih deras.

“Juan bawain Kana bunga loh.”

Tidak ada suara, Ibu Lina memilig untuk meninggalkan ruangan itu. Tidak sanggup melihat keadaan Kana maupun Juan.

“Kana, Kana jangan marah ya sama Juan. Ini bunganya Juan beli kok.” Juan menangis lagi, napasnya tercekat saat ingatan dimana Kana memarahinya karena memetik bunga di rumah orang.

“Juan ga metik punya orang lagi, ini Juan beli. Jangan marah ya.”

Sean dan Riki hanya diam menatap Juan.

Sean berbisik mengajak Riki keluar dari sana agar Juan bisa mengobrol dengan Kana.

Juan kembali menangis.

“Kana, Juan janji gabakal bolos lagi. Gabakal berantem lagi, tapi please Kana bangun ya? Juan disini tunggu Kana bangun.”

Hati Juan sangat sesak, air matanya tak tertahankan.

Kepalanya berat karena menangis terlalu banyak. Dia tidak mau kehilangan Kanaya.

Tidak akan.

tw // car accident, harshwords, mentioning of death, blood, panic attack

Juan berlari setelah turun dari motornya menuju rumah kosong yang tak jauh dari tempatnya berpijak.

Matanya menangkap Travis yang duduk di sudut ruangan dengan Kana yang terikat disana.

“TRAVIS ANJING!”

Lelaki itu menampilkan seringaiannya. “Lo jago juga bisa nemuin gue.”

Juan berjalan mendekati Kana dan Travis.

“Lo gila? Urusan lo sama gue bangsat, bukan sama dia.”

Lelaki jangkung itu mengernyit. “Suka-suka gue lah, lo sayang kan sama cewek buta ini?”

Travis mendengus menarik rambut Kana sehingga gadis itu mendongak, Juan bisa melihat air mata gadis itu mengalir dengan pancaran ketakutan di matanya yang kosong.

“Juan.” Suara Kana bergetar.

“Panggil, panggil Juan lo itu.” Kata Travis di samping telinga Kana.

“Travis lepasin tangan kotor lo dari Kanaya.”

“Kalo gue gamau?”

Juan tersenyum, seketika rumah kosong itu penuh dengan bodyguard kiriman dari papanya beserta Riki dan Sean yang juga muncul.

Air muka Travis berubah, namun dia tidak berhenti.

“Lo salah kayak gini sama gue Juan.”

Travis melepas ikatan Kana dan menyeretnya keluar lewat pintu belakang.

Para bodyguard itu mulai melangkah namun Juan menahannya.

“Ikutin saya dari belakang saja, saya takut dia menyakiti Kanaya.” Satu perintah dari Juan membuat mereka tetap tenang mengikuti Juan dari belakang.

“Juann, Juan tolong aku Juan.” Teriak Kana saat dirinya diseret menjauh oleh Travis.

“Diem!” Bentak Travis.

Kana menangis, perasaannya tidak enak seakan sesuatu yang buruk mendekat entah itu kepadanya atau kepada Juan.

“Tolong lepasin aku.” Rengek Kana.

“Gue bilang diem ya diem bangsat!”

“Travis!” Itu Juan.

“Brengsek.”

Travis mengangkat tubuh Kana dan berlari mendekati jalan besar di pinggir kota.

Juan berlari mengejar lelaki itu.

Travis berlari dengan semberono membuat Juan mendecak kesal bercampur rasa gelisah yang berkecamuk di dada nya. Bagaimana jika dia tidak bisa mengambil Kana dari Travis? Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Kana?

Namun pikiran itu terpecah begitu saja saat sebuah suara decitan ban mobil yang bergesekan dengan jalan yang dipaksa untuk berhenti menusuk indra pendengaran Juan.

Matanya membulat, Travis dan Kana terlempar jauh.

Seketika kaki Juan berat untuk melangkah.

“Tuan muda.” Ucap salah satu bodyguard yang baru sampai.

“Juan! Itu Kana kecelakaan.” Ucap Sean memegangi Juan.

Tiba-tiba saja keringat dinginnya mengucur membasahi tubuhnya. Tangannya menjadi dingin dan tubuhnya menegang.

Dia mengingat hari dimana mamanya juga mengalami kecelakaan dan berujung meninggalkan dia selamanya.

Dada Juan terasa sesak.

“Riki, tolongin Kana.” Ucapnya pelan.

Sean menatap Riki memberi isyarat agar dia menghampiri Kana.

“Ini Tuan Muda.” Bodyguard berbadan besar itu memberikan botol air mineral untuk diminum oleh Juan.

“Ju minum dulu.”

Juan menarik napas, meneguk air itu dan mencoba menenangkan diri.

“Kami sudah memanggil ambulance Tuan muda, mereka akan sampai dalam hitungan menit.” Lapor bodyguard itu.

Juan mengangguk pelan. Terlihat dari jauh Riki berlari kecil menggendong tubuh Kana yang sudah dilumuri darah.

Air mata Juan menetes. “Kana...” Suaranya bergetar, ada ketakutan disana.

“Gapapa, Kana kuat Ju. Dia pasti bakal baik-baik aja.” Ucap Sean.

Juan berlari setelah turun dari motornya menuju rumah kosong yang tak jauh dari tempatnya berpijak.

Matanya menangkap Travis yang duduk di sudut ruangan dengan Kana yang terikat disana.

“TRAVIS ANJING!”

Lelaki itu menampilkan seringaiannya. “Lo jago juga bisa nemuin gue.”

Juan berjalan mendekati Kana dan Travis.

“Lo gila? Urusan lo sama gue bangsat, bukan sama dia.”

Lelaki jangkung itu mengernyit. “Suka-suka gue lah, lo sayang kan sama cewek buta ini?”

Travis mendengus menarik rambut Kana sehingga gadis itu mendongak, Juan bisa melihat air mata gadis itu mengalir dengan pancaran ketakutan di matanya yang kosong.

“Juan.” Suara Kana bergetar.

“Panggil, panggil Juan lo itu.” Kata Travis di samping telinga Kana.

“Travis lepasin tangan kotor lo dari Kanaya.”

“Kalo gue gamau?”

Juan tersenyum, seketika rumah kosong itu penuh dengan bodyguard kiriman dari papanya beserta Riki dan Sean yang juga muncul.

Air muka Travis berubah, namun dia tidak berhenti.

“Lo salah kayak gini sama gue Juan.”

Travis melepas ikatan Kana dan menyeretnya keluar lewat pintu belakang.

Para bodyguard itu mulai melangkah namun Juan menahannya.

“Ikutin saya dari belakang saja, saya takut dia menyakiti Kanaya.” Satu perintah dari Juan membuat mereka tetap tenang mengikuti Juan dari belakang.

“Juann, Juan tolong aku Juan.” Teriak Kana saat dirinya diseret menjauh oleh Travis.

“Diem!” Bentak Travis.

Kana menangis, perasaannya tidak enak seakan sesuatu yang buruk mendekat entah itu kepadanya atau kepada Juan.

“Tolong lepasin aku.” Rengek Kana.

“Gue bilang diem ya diem bangsat!”

“Travis!” Itu Juan.

“Brengsek.”

Travis mengangkat tubuh Kana dan berlari mendekati jalan besar di pinggir kota.

Juan berlari mengejar lelaki itu.

Travis berlari dengan semberono membuat Juan mendecak kesal bercampur rasa gelisah yang berkecamuk di dada nya. Bagaimana jika dia tidak bisa mengambil Kana dari Travis? Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Kana?

Namun pikiran itu terpecah begitu saja saat sebuah suara decitan ban mobil yang bergesekan dengan jalan yang dipaksa untuk berhenti menusuk indra pendengaran Juan.

Matanya membulat, Travis dan Kana terlempar jauh.

Seketika kaki Juan berat untuk melangkah.

“Tuan muda.” Ucap salah satu bodyguard yang baru sampai.

“Juan! Itu Kana kecelakaan.” Ucap Sean memegangi Juan.

Tiba-tiba saja keringat dinginnya mengucur membasahi tubuhnya. Tangannya menjadi dingin dan tubuhnya menegang.

Dia mengingat hari dimana mamanya juga mengalami kecelakaan dan berujung meninggalkan dia selamanya.

Dada Juan terasa sesak.

“Riki, tolongin Kana.” Ucapnya pelan.

Sean menatap Riki memberi isyarat agar dia menghampiri Kana.

“Ini Tuan Muda.” Bodyguard berbadan besar itu memberikan botol air mineral untuk diminum oleh Juan.

“Ju minum dulu.”

Juan menarik napas, meneguk air itu dan mencoba menenangkan diri.

“Kami sudah memanggil ambulance Tuan muda, mereka akan sampai dalam hitungan menit.” Lapor bodyguard itu.

Juan mengangguk pelan. Terlihat dari jauh Riki berlari kecil menggendong tubuh Kana yang sudah dilumuri darah.

Air mata Juan menetes. “Kana...” Suaranya bergetar, ada ketakutan disana.

“Gapapa, Kana kuat Ju. Dia pasti bakal baik-baik aja.” Ucap Sean.

Juan melajukan motornya cepat menuju taman. Dia khawatir Kana akan menunggu lama karena tiba-tiba ada pertemuan dirinya dengan Papa nya yang entah darimana mengetahui tentang Kana.

Seperti dugaannya, lelaki usia kepala empat itu melarangnya mendekati Kana.

Juan akui, papanya adalah orang yang hanya berhubungan dengan orang yang akan memberikan keuntungan untuknya.

Hidup adalah bisnis. Kata papanya.

Juan memarkirkan motornya dan berlari ke arah bangku taman tempat dia dan Kana selalu duduk namun dia tidak menemukan keberadaan gadis itu.

Juan mengernyit bingung, apa gadis itu berkeliling karena bosan menunggunya?

Akhirnya lelaki itu memutuskan mengelilingi taman untuk mencari Kana namun nihil.

Apa udah pulang?

Juan bergegas menuju panti.


“Ibu, Kana ada?”

Ibu Lina mengernyit bingung. “Loh bukannya sama nak Juan?”

“Saya tadi udah di taman terus keliling tapi ga ketemu bu.”

Ibu Lina sontak panik, menatap Juan dengan mata berair. “Nak, tolong cari Kanaya. Ibu khawatir.”

Juan mengangguk. “Baik bu, saya akan nyari Kana.”

Ibu Lina menatap punggung Juan yang menjauh dengan sedih bercampur khawatir.

Dimana Kanaya?

Juan berjalan lesu memasuki panti asuhan, dia memikirkan perkataan papanya tadi.

“Kakak Naya ada kakak Juju nih.” Teriak Lila yang langsung berlari menjauh membuat kepala Juan terangkat.

Tak lama sosok yang dipanggil itu terlihat oleh netra Juan yang membuat senyumannya kembali terlukis dengan indah.

“Juan?”

“Iyaaaa.” Juan berjalan menghampiri Kana yang juga sedikit berlari.

“Eh pelan-pelan.” Juan mencoba meraih Kana namun sebelum tangannya meraih gadis itu, tersandung dan akhirnya terjatuh.

“Astaga.” Juan berjongkok memegangi bahu gadis itu khawatir.

“Lo gapapa?”

“Kana? Hey.” Suara Juan melembut.

Gadis itu mengangkat kepalanya dengan senyuman jahil. “Gapapa.”

Wajah Juan kembali datar. Dia sudah sangat khawatir tapi ternyata gadis itu tidak kenapa-kenapa.

Kana masih terkekeh mencoba berdiri namun karena terjatuh cukup keras tangannya tergores lantai tanah panti yang keras.

“Eh ini luka tangannya.” Juan menarik tangan itu khawatir. “Kan gue udah bilang hati-hati”

Juan menuntun Kana untuk duduk di kursi. “Duduk sini gue ambil p3k dulu.”

Kana tersenyum dalam diam mengetahui bahwa Juan khawatir padanya.

Lelaki itu duduk disebelahnya dengan telaten mengoles sebuah cairan yang menimbulkan rasa perih pada lukanya.

Gadis itu sesekali meringis membuat Juan berhenti dan menatapnya.

“Sakit ya?”

Kana mengangguk.

“Juan.”

Lelaki itu berdehem. “Kenapa?”

“Kenapa kamu khawatir sama aku?”

Juan hanya menghela napas lalu melanjutkan kegiatannya.

Kok diem? Tanya Kana dalam hati.

Dia menunduk bersamaan dengan sentuhan akhir Juan di tangannya dengan plester.

“Lo berharga buat gue.” Ucap Juan pelan namun bisa terdengar oleh Kana.

Gadis itu mengangkat kepalanya. “Kenapa? Aku bahkan bukan siapa-siapa Juan, aku juga ga sempurna dan gabisa lakuin sesuatu buat kamu. Aku cuma beban, kenapa aku berharga?”

Lelaki itu masih menggenggam tangan Kana menatap tepat di netranya.

Simple karena lo adalah Kana. Lo adalah orang yang sabar nunggu gue terbuka, lo ga maksa. Lo bikin gue ngerasa hidup lagi selama bertahun-tahun. Lo bukan beban Kanaya, gue bersyukur bisa kenal lo. Kalau bukan karena lo, gue mungkin masih nyimpen semua sedih gue sendirian. Lo penyelamat gue.”

Mata Kana berair, bulir air mata di pelupuknya mencoba bertahan untuk tidak menetes namun secepat kilat Juan menariknya dalam rengkuhannya sehingga bulir air mata itu tidak bisa tertahankan.

Tangan Kana terulur membalas pelukan Juan.

Juan tersenyum, memang benar kata Riki. Dirinya luluh akan bagaimana seorang Kana memperlakukannya sehingga membuat dirinya melihat sebuah harapan lagi dalam hidupnya. Dia juga sadar perubahan yang dia alami setelah bertemu dengan gadis itu. Juan yang dulunya hidup seperti batu akhirnya mulai terkikis oleh air hujan. Itu Kanaya Belvana.

“Halo Kana.”

Seperti biasa, gadis itu selalu tampak bahagia dengan senyuman manis yang menular kepada semua orang yang melihatnya.

Riki tersenyum, pantas saja Juan melakukan semua hal untuk gadis ini. Semua energi positif memang terpancar darinya, mendengar tawanya saja membuat yang mendengarkannya juga ikut tertawa.

“Kakak Iki?” Riki berjongkok mensejajarkan tingginya dengan gadis kecil yang menyapanya itu.

“Halo cantik, kangen ga sama kakak Iki?” Lila tersenyum lalu menoleh ke arah Sean lalu mlambaikan tangannya ceria. “Halo Kakak Ean.”

“Halo Lila.” Jawab Sean lantas gadis kecil itu membuka kedua tangannya menatap Sean dan dengan cepat Sean menggendongnya membuat Riki memasang wajah terkejut yang dilebih-lebihkan.

Sementara Juan mengamati lalu mengangguk paham sepersekian detik setelahnya.

“Wah Lila jahat banget Kakak Iki ga dipeluk.”

“Biarin wle.” Ejek Lila mengundang tawa mereka.

“Yaudah yuk kita main.” Ajak Sean dijawab dengan anggukan semangat dari Lila.

Riki menyusul meninggalkan Juan dan Kana berdua.

“Jadi itu artinya?” Gumam Juan.

Kana menoleh. “Apa?”

“Eh engga, pas gue nginap Lila rentangin tangan gitu tapi karena gue gangerti dia malah ngambek.” Juan mendesis, dia harus belajar banyak.

Kana tertawa membuat lelaki di sampingnya menatap netranya lekat.

Semoga netra itu bisa memperlihatkan keindahan dalam waktu yang dekat. Pintanya.

“Lila emang suka minta gendong, anaknya manja.”

Juan mengangguk. “Ya sorry, gue gapaham.”

“Gapapa.”

“Ohiya, kata dokter lo harus jaga kesehatan. Hati-hati juga biar ga kenapa-kenapa. Kalo mau ke taman sama gue aja, nanti minta tolong Ibu Lina buat ngehubungin gue soalnya jadwal operasi lo belum ada karena rumah sakit masih nyari pendonor.”

Kana mengangguk. “Gapapa kok, kamu udah bantu gini aja aku seneng banget. Kamu kayak malaikat.”

Juan mengernyit bingung. “Mana ada malaikat suka balapan terus berujung tonjok-tonjokan. Gada Kana.”

“Ih malaikat itu gapernah marah, hatinya lembut, dan selalu berbuat kebaikan. Kamu gitu Juan, terlepas dari hal jelek yang kamu pikir ada dalam diri kamu ada banyak hal baik yang kamu sembunyiin. Malaikat emang gapernah ngeclaim diri mereka malaikat, tapi orang disekitarnya bisa rasain.”

Tak ada habisnya kekaguman Juan terhadap cara pikir gadis ini.

Dia mendengus dan ujung bibirnya tertarik membentuk sebuah lengkungan.

Tak jauh dari mereka berdiri, Riki dan Sean juga ikut tersenyum melihat sahabat mereka akhirnya menemukan sebuah lentera untuk hidupnya yang selama ini dirundung kegelapan.

Dan itu adalah Kanaya Belvana.

Juan menarik napas sebisanya.

Pasti Papanya sedang ada masalah di kantor pikirnya.

Juan mengambil hp nya niat menanyakan soal Kana kepada Riki namun dia tertegun saat gadis itu sudah berjalan mendekat dengan menggerakkan tangannya mencari Juan.

Langkahnya tertatih.

Jadi, dia denger semuanya?

Juan mengetikkan sesuatu kepada Riki namun jawaban Riki membuatnya mendecak.

image

Riki yang melihat Kana muncul memutuskan untuk pergi. Kana sudah ada disana, pasti Juan tidak akan kenapa-kenapa.


“Kana?”

Kana menoleh ke asal suara Juan berasal.

Raut wajahnya sedih, matanya memerah dan ada bekas air mata di pipinya.

Juan menghela napas kasar.

Berusaha berdiri namun perutnya terlalu sakit.

Kana akhirnya duduk perlahan di dekat Juan.

Mengangkat tangannya mengusap pipi Juan yang juga basah.

Juan tersenyum. Dia mulai menyukai saat tangan milik gadis itu mengusap pipinya memberikan ketenangan.

Nafasnya yang berderu serta detak jantungnya yang memburu sudah kembali normal karena melihat gadis itu.

“Juan..” Panggil Kana dengan suara yang bergetar.

“Eh kenapa nangis?” Juan panik.

“Juan pasti sakit banget ya? Maaf ya, aku gabisa ngeliat jadi gabisa bantu obatin luka kamu. Maafin aku.” Katanya dengan nada penyesalan.

Dada Kana sakit hanya bisa diam dan menangis setelah mengetahui hal yang dialami Juan barusan.

Juan menutup matanya, menahan bulir-bulir yang memaksa untuk meneteskan diri di pelupuk matanya.

Namun Juan gagal.

Dia mulai menangis. Tangisan yang tak pernah dia perlihatkan pada siapapun kecuali Kana.

Kana mengusap air matanya menarik Juan dalam peluknya.

Juan meraung, mengeluarkan semua rasa sesak yang dia tahan selama ini.

Juan menenggelamkan kepalanya di ceruk leher gadis itu.

Tangan Kana terangkat mengusap lembut kepalanya.

Rasanya kayak Mama ada disini.

“Kana gue capek.” Keluh Juan.

“Iya Juan, aku tau. Gapapa, mengeluh aja sama aku. Kanaya disini untuk Juan.”

Mama, mama sengaja kirim Kana buat aku ya Ma?

Tangis Juan makin menjadi-jadi.

Dalam hatinya yang paling dalam dia sangat berterima kasih kepada siapapun orang di langit sana yang membuatnya bertemu dengan Kana.

tw // violence, mentioning of death

Juan menarik lengan Kana masuk ke dalam rumahnya. Rencananya mereka akan pergi untuk konsul lagi namun Juan lupa membawa dompet, oleh karena itu mereka mampir ke rumah lelaki itu terlebih dahulu.

Tepat saat mereka masuk suara deru mobil terdengar. Jantung Juan tiba-tiba berdetak sangat cepat. Gugup serta rasa takut menggerogoti dirinya.

Dia menarik Kana ke kamar tamu.

Mengambil hp nya dan mengetikkan sesuatu disana.

Dia menatap Kana yang kebingungan.

“Kana sorry, tapi lo disini dulu ya. Gue ada urusan mendadak, kalo denger suara motor lo keluar secepat yang lo bisa. Pegangan sama tembok aja gada guci kok jadi bisa nuntun lo ke pintu depan atau munculin diri lo aja nanti Riki pasti langsung liat lo dan bawa lo pergi. Ok? Disini ya.” Juan menepuk lengan Kana.

Tanpa membiarkan Kana menjawab, Juan keluar menutup pintu dengan pelan.

“Juannnn!!!!” Teriakan dari sebuah suara berat terdengar membuat Kana tersentak.

Kana mendekat kearah pintu. Sebenarnya dia sangat ingin keluar saat itu juga dan membantu Juan namun sepersekian detik selanjutnya dia kembali berpikir 'bagaimana jika keberadaannya hanya akan memberburuk suasana?' maka dari itu, dia hanya berdiri di pintu. Mendengarkan semuanya.

Pa, papa kenapa? Mabok lagi?

Ah. Itu papa Juan, pikir Kana.

Kenapa hah?! Kenapa kamu harus lahir di dunia ini dan menjadi kesayangan Mama mu? Kenapa?!

Deg. Mata Kana membulat, tanpa sadar matanya mulai berair.

Bagaimana bisa? Seorang ayah mengatakan hal seperti itu kepada anak satu-satunya?

Hati Kana ikut sakit mendengar semua itu.


Di sisi lain Riki yang tiba tidak berani melewati gerbang karena ada Papa Juan serta Juan di ruang tamu.

Hatinya sakit melihat sahabatnya, seorang Juan Ivander yang merupakan raja sirkuit kini bersujud kaku dengan tubuh yang gemetar menerima lecutan ikat pinggang di punggungnya.

Matanya berair. Juan sorry, gue gabisa masuk dan bantuin lo. Gue cuma gamau bikin lo makin disiksa kalo ada gue disana.

Riki memutar ingatannya saat dimana dia dan Sean baru mengetahui keadaan Juan yang sebenarnya.

“Please kalaupun suatu hari nanti lo pada liat bokap gue mukul gue jangan pernah ada pikiran buat bantuin gue.”

“Lah kenapa? Entar lo mati gimana? Protes Sean tak terima.

Juan hanya menggeleng. “Please jangan, dengan diamnya kalian itu bisa bantu gue biar ga mati kok.”

Dan disinilah Riki sekarang, rasanya dia ingin lari karena tak sanggup melihat Juan diperlakukan seperti itu namun dia juga terlalu shock untuk mengangkat kaki dari sana.

“Anak ga berguna!” Maki Papa Juan disusul dengan sebuah tendangan di perutnya membuat Juan terbatuk.

Dengan langkah lunglai Papa Juan yang mabuk kini keluar dari rumah.

Riki langsung menyembunyikan diri.

Mobil Pajero Sport itu kini melaju dengan cepat meninggalkan halaman rumah Juan.

Juan menuntun Kana langkah demi langkah memasuki rumah sakit.

“Juan ini kita mau kemana sih?” Tanya Kana bingung.

“Ada, entar juga lo tau.”

Kana cemberut. Juan selalu datang dengan segala kejutan yang tak pernah dia bayangkan.

Bahkan saat bertanya pun Juan akan menjawab dengan kalimat yang sama. Entar juga tau yang tanpa Juan sadari menjadi hal yang sudah tertanam dalam di kepala Kana.

Ga janji Kana.

Gue gapapa.

Entar juga tau adalah tiga frasa favorit Juan.

Frasa yang tidak akan pernah ketinggalan saat dia berbicara dengan lelaki itu.

Juan masih sangat keras pada dirinya sendiri sehingga Kana akan mencoba memberikan afeksinya kepada Juan agar lelaki itu bisa lebih terbuka.

Meskipun hal itu adalah hal yang sulit namun Kana menikmati setiap prosesnya.

“Janji atas mba Kanaya ya?” Kana mengernyit saat seorang wanita menyebut namanya.

“Iya sus.”

“Sebentar ya, bisa duduk dulu.” Juan mengangguk.

Sus? Suster? “Juan kita dimana sih?”

Juan mendudukkan gadis itu di salah satu kursi di ruang tunggu lalu menatapnya lekat.

“Kana, kita bakapan ketemu dokter mata. Lo pengen bisa liat lagi kan?”

Kana terdiam.

“Kanaya, lo mau kan? Terima bantua gue ya?”

“Kenapa?” Tanya Kana.

“Alasan kamu ngelakuin ini apa Juan?”

“Karena lo berhak, lo berhak buat ngeliat kehidupan indah yang lo jalani selama ini. Lo berhak tersenyum dengan tatapan indah dari mata lo. Lo tau ga? Mata lo bantu banget buat bikin orang ngerasa tenang meskipun cuma ada kekosongan disana. Makanya gue mau, lo nerima bantuan gue ya? Biar orang lain bisa ngeliat kehidupan disana. Biar orang bisa punya semangat hidup lagi dengan cara natap lo.”

“Tapi kalau aku bisa ngeliat, berarti kamu gabakal bisa nangis lagi di deket aku. Kamu kan gasuka diliatin kalo lagi nangis.”

Juan tersenyum. “Gausah mikirin gue Kana, lo nih jangan keseringan put everyone at the first place beyond yourself.

Kana tersenyum. “Juan, makasih banyak ya?”

Juan mengangguk.

“Mbak Kanaya udah bisa masuk.”

Juan meraih tangan Kana dan menuntunnya masuk ke dalam ruangan.

Hari itu, mereka menciptakan ikatan tak kasat mata saat kedua tangan mereka saling terpaut.

Kanaya yang dipertemukan dengan dunia serta Juan yang dipertemukan dengan rumahnya.

“Nak Juan? Masuk nak.”

“Iya bu, Kana ada bu?”

Ibu Lina mengangguk. “Ada, bentar ya ibu panggil dulu.”

Juan duduk di sofa tua ruang tengah panti.

Dia mengamati anak-anak yang sedang berlarian dan tak jarang menyapanya.

“Ini ada nak Juan.” Ucap Ibu Lina yang datang bersama Kana.

Lagi. Mendengar nama Juan membuat gadis itu tersenyum cerah.

“Juan?”

Juan berdiri menatap ibu Lina. “Ibu saya ajak Kana jalan-jalan boleh kan bu?”

Wanita paruh baya itu mengangguk. “Boleh.”

Kana yang mendengar itu tersenyum antusias.

Dia di papah Juan berjalan menuju mobil.


Kana tersenyum, menutup matanya merasakan angin yang menembus kulitnya. Sejuk.

“Ngapain lo?”

Kana menoleh masih dengan senyumannya. “Aku yakin pemandangan di depan aku cantik dan bagus banget tapi karena aku gabisa liat, aku bakalan ngerasain anginnya. Coba deh, sejuk banget.”

Juan menatap Kana lama.

Cara gadis itu mendefinisikan sesuatu benar-benar menyentuh sesuatu di dalam dada Juan meski Juan tidak tau apa itu.

Lelaki itu menghela napas. Menatap pemandangan di depannya. “Ada banyak pohon hijau.” Juan melihat gadis itu memeluk dirinya. “Ada banyak kabut juga, makanya dingin.”

“Iya agak dingin hehe.”

Juan memegang kedua bahu Kana menuntunnya untuk duduk.

Mereka duduk berdampingan menatap ke depan.

Kenangan demi kenangan tanpa permisi mengetuk ingatan Juan dan terputar disana.

“Mama gue dulu suka kesini bareng gue.”

Kana mengangkat kedua alisnya. Meski sedikit terkejut karena baru kali ini Juan cerita tentang sesuatu, dia mencoba diam. Mendengarkan Juan.

“Setiap dia berantem sama Papa gue, dia pasti ngajak gue kesini. Hari itu gue belum ngerti makanya gue cuma ikut terus lari-lari sama lemparin batu tiap sampe kesini. Tapi..” Napas Juan sudah terasa berat.

“Juan kalau kamu gabisa cerita gapapa.” Kana mencoba meraih lengan Juan, mengusapnya lembut memberi lelaki itu ketenangan.

Juan meneggelamkan kepalanya di kedua lipatan tangan yang bertumpu pada lututnya.

Air matanya menetes, dia sangat merindukan Mama nya.

“Dulu, gue anak yang rajin banget Kana. Gue rajin sekolah, rajin ekskul, rajin les dan karena itu juga gue gabisa liat Mama gue untuk yang terakhir kali.” Juan mendengus.

Dia menatap Kana yang juga terlihat sedih karena ceritanya.

Bisa Juan liat pelupuk mata gadis itu sudah penuh oleh air mata yang siap untuk menetes

“Tapi karena itu juga, hidup gue akhirnya ikut mati sama Mama gue. Papa jadi sering mukul gue karena bolos sekolah, keluar dari tempat les dan masih banyak lagi. Satu-satunya pelarian gue cuma ikut balapan.”

Lelaki itu tersenyum kecil menyadari tangan Kana masih mencoba memberikan kekuatan untuknya.

“Kalo kata temen gue, Juan idup lo enak bener udah kaya, anak tunggal lagi gue cuma ketawa. Soalnya kenyataannya ga gitu. Tapi yaudahlah, udah terjadi juga.”

Juan meraih tangan Kana di lengannya mengembalikan tangan itu di pangkuan Kana.

Kana menghela napas. “Juan, makasih ya.”

Juan mengernyit. Makasih buat apa? Tanya Juan dalam hati.

“Makasih karena kamu udah bisa bertahan sampai hari ini, makasih karena udah kuat lewatin hari-hari sedih dan ada disini sekarang. Makasih karena udah jadi anak yang baik, you did great Juan. Aku bangga sama kamu. Makasih juga udah percaya sama aku buat cerita tentang ini yang dimana aku tau pasti susah banget.”

Tangan Kana kembali terangkat, mengusap pipi Juan yang basah karena bekas air mata.

Anehnya, tangan Kana selalu tepat sampai pada tempat air mata itu tinggal sehingga dia tidak perlu susah-susah mencari.

“Ini kedua kalinya gue nangis di depan lo Kana.”

Kana menggeleng pelan. “Gapapa, menangis bukan berarti kita lemah Juan. Kamu bahkan nyembunyiin diri kalau nangis yang dimana menurut aku itu hebat banget karena kamu gamau buat orang lain ngerasa sedih kalo liat kamu nangis. Mama kamu pasti bangga punya Juan yang kuat.” Senyuman itu lagi.

“Makasih Kana.”

“Juan, kalau suatu hari kamu ngerasa sedih atau butuh teman cerita buat ngenang memori kamu sama mama aku siap temenin kamu. Gaperlu mikir lagi, tinggal temuin aku di panti dan aku bakalan ada di samping kamu. Kamu bisa nangis dan gaperlu khawatir kalau aku bakalan sedih. Aku gangeliat kamu nangis kok, jadi gapapa. Meskipun aku gabisa bantu apa-apa dan cuma dengerin aja tapi kamu harus inget Kana ada disini, buat Juan.”

Juan tertegun. Ucapan Kana hari itu tanpa sadar benar-benar berdampak pada diri Juan dan bagaimana cara dia melihat Kana.