declipsee

Juan memasang wajah masam, pasalnya hari ini dia sudah harus pulang ke rumahnya.

Sebenarnya dia sangat ingin tinggal lebih lama, bahkan jika selamanya dia pun tak apa namun dia menghindari hal-hal yang tidaj diinginkan. Apalagi jika papanya tau, bisa berbahaya. Bagi Kana dan seisi panti.

“Hati-hati ya nak Juan.” Ucap Ibu Lina.

Juan mengangguk sopan. “Iya bu, makasih ya bu udah nampung Juan tiga hari hehe.”

“Eh gapapa nak, nanti kalau mau nginep lagi gapapa. Panti selalu kebuka buat nak Juan.”

“Makasih banyak ya bu.” Juan mengalihkan tatapannya ke arah Kana, gadis itu masih diam sejak tadi.

Ibu Lina yang menyadari itu langsung menyenggol pelan lengan Kana. “Kana gamau nyampein sesuatu ke Juan?”

Mendengar itu Juan mengangkat kedua alisnya. Ada sedikit harapan ditatapannya.

Kana tersenyum lagi. “Juan yang rajin ke sekolah ya? Jangan bolos terus.”

Lelaki itu hanya menggaruk tengkuknya terkekeh. “Ga janji Kana.”

Gadis itu hanya tersenyun maklum menatap ke depan dengan tatapan senang meski kosong.

Juan menghela napas, berat rasanya beranjak dari sana.

“Yaudah gue balik ya Kana.”

Gadis itu mengangguk pelan. “Hati-hati.”

Juan mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Kana.

“Pagi kakak Juju.” Sapa Lila.

Juan tersenyum kecil. “Pagi Lila.”

“Kakak Juju pasti cari kakak Naya kan?”

Juan mengangguk malu.

Lila merentangkan kedua tangannya membuat Juan menatapnya bingung.

Juan diam menunggu Lila mengatakan maksudnya namun Lila juga diam menunggu Juan melakukan permintaannya.

Karena Juan tidak juga bergerak gadis kecil itu langsung memasang wajah cemberut lalu pergi dengan menghentakkan kakinya keras.

Juan mengernyit menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung.

Tiba-tiba seseorang menabrak punggungnya.

Juan meringis.

“Eh kamu gapapa?”

Itu Kana.

“Gapapa.” Juan berbalik menatap Kana, akhirnya dia menemukan gadis itu.

“Beneran? Terus kenapa kamu kayak kesakitan pas aku tabrak?”

“Engga Kana, gue gapapa. Mending ikut gue sini.” Juan menarik tangan Kana pelan.

Gadis itu melangkahkan kakinya mengikuti kemana Juan membawanya.

“Juan ini dimana?” Tanya Kana saat menyadari dia melewati arah yang tidak pernah dilaluinya.

“Ini taman baru Kana.”

Kana terlihat bahagia. “Beneran taman baru?”

Juan tersenyum mengangguki pertanyaan Kana.

“Iya.” Juan jelas berbohong. Tempat ini hanya trotoar pinggir jalan kompleks yang kebetulan ada kursi disana.

Juan menuntun Kana untuk duduk.

“Tunggu disini.”

Lekukan terbentuk di dahi Kana, penasaran terhadap apa yang dilakukan Juan.

“Ini.” Juan meletakkan dua tangkai bunga di tangan Kana.

“Bunga?” Tanya Kana antusias.

“Iya.”

“Kamu dapet darimana?”

“Punya orang, itu dirumah disana bunganya bagus. Jadi gue cabut.”

Ekspresi Kana berubah menjadi ekspresi terkejut.

Juan menatap Kana bingung.

“Kenapa muka lo kayak gitu?”

“Juan kenapa dicabut punya orang? Gaboleh.” Ucapnya sedih.

“Emang kenapa?”

“Kamu kan gatau bunga ini bisa aja favorit pemilik rumah dan selama ini dia bener-bener ngerawat bunganya hati-hati tapi kamu malah nyabut.” Kana menghela napas.

Juan lagi-lagi kagum dengan cara pikir gadis di depannya ini.

Bagaimana bisa dia berpikir tentang pemilik bunga ini padahal sebelumnya dia terlihat sangat senang.

“Lain kali jangan cabut punya orang ya.”

“Ga janji.”

“Jangan berantem sama Travis juga.”

Juan terkejut, bagaimana Kana bisa tau?

“Aku denger kamu ngomel semalem.”

Juan menghela napas lega, semalam dia memang meracau memaki Travis karena gara-gara dia bibirnya jadi luka dan susah untuk makan.

“Ga janji lagi.”

tw // violence

Juan mengetuk pintu ruang kerja papanya.

“Masuk.” Suara berat dari dalam membuat dirinya gemetar.

Apalagi saat ini penampilannya acak-acakan dan luka di bibirnya. Ah Travis brengsek

Juan masuk dengan ragu.

“Darimana kamu?” Tanya Papa nya dingin.

Juan tidak sanggup menjawab, lidahnya kelu. Bahkan dengan dia menjawab pun tidak akan merubah apa yang akan dia alami beberapa menit kemudian.

Juan hanya berlutut dan menatap lantai. Bersiap dengan segala kemungkinan yang ada.

“Kamu itu kalau ditanya ya jawab.” Bisa Juan tau rahang Papanya mengeras.

Juan menutup mata hingga lecutan dari ikat pinggang Papanya mengenai punggungnya.

Juan meringis, rasa perih datang begitu cepat secepat lecutan kedua.

Tubuh Juan tersentak karena lecutan ketiga menyusul dengan cepat.

Air matanya mulai menetes. Tangannya mengepal.

“Papa mati-matian nyari uang buat kamu sekolah biar masa depan kamu cerah tapi kamu malah gak becus! Emang anak ga berguna!”

Lecutan demi lecutan kembali terasa seiring dengan makian yang diberikan Papanya.

Rasa perih yang tadi dia rasakan di punggungnya berpindah ke dadanya.

Papanya sudah seringkali memaki dirinya namun mengapa hatinya masih sakit.

Bahkan punggungnya hanya terasa kebas, tak ada lagi rasa perih disana.

Tetapi dadanya sesak, tenggorokannya sakit karena menahan tangisannya agar tak terdengar.

Papanya menghela napas kasar. “Papa capek negur kamu, gada habisnya kamu berulah.”

Langkah kaki Papanya menjauh disertai bantingan pintu dan dengan waktu yang sama tubuh Juan menjadi lemas.

Tangisannya kemudian memenuhi ruang kerja ayahnya.

tw // blood

Riki tersenyum remeh ke arah Travis dan kawan-kawannya.

“Padahal udah tau Juan gapernah kalah, masih aja keras kepala. Kasian kan kehilangan anak kesayangan lo ini.” Riki berdecak sementara Juan hanya menyeringai mendengar racau-an dari temannya itu menatap Travis yang terlihat kesal.

“Bacot lo anjing.” Maki Travis.

“Kalau kalah mah kalah aja Vis, jangan ngatain.” Tambah Sean membuat emosi Travis memuncak apalagi saat melihat Juan yang hanya menatapnya remeh. Dia tidak suka.

Travis maju menonjok Juan tiba-tiba sehingga suasan menjadi panas.

Juan menyeringai menatap Travis tajam. Bibirnya berdarah. Dia meludahkan darahnya itu kearah Travis membuat lelaki jangkung itu semakin kesal namun kedua temannya menariknya menjauh.

“Cupu lo anjing.” Ucap Juan dengan jari tengahnya yang mengacung sehingga Travis mencoba kembali mendekati Juan.

“Vis udah, kita pembalap anjing bukan preman.” Travis menghentakkan tangan Justin berjalan menjauh dari arena.

Tiba-tiba hp Juan berbunyi memunculkan pesan yang membuat wajahnya kembali masam.

“Gue duluan.”

“Lah ini motor gimana?” Tanya Sean.

“Simpen aja.”

Riki menggeleng heran. “Ini orang, gue tau lo kaya tapi mubassir nya tiap hari anjing.”

Juan hanya melambaikan tangannya.

Juan menekan tombol play dengan ragu.

Tiba-tiba suara Kana terdengar.

Juan makasih hari ini, maaf aku lupa bilang hehe. Nanti dateng lagi ya.

Singkat. Namun berhasil mengundang lengkungan di bibir Juan.

1

2

3

Juan mengerjap. Dia baru saja tersenyum.

Seorang Juan, yang kehilangan hidupnya lima tahun lalu karena mamanya pergi meninggalkan dia kini kembali tersenyum untuk pertama kalinya.

Dan itu karena seorang Kana.

Juan menyingkirkan semua pikiran aneh yang menghantuinya.

Tidak. Dia berpikir apa? Dia hanya terlarut oleh moment hari ini, bermain bersama anak-anak panti membuatnya sedikit bersemangat. Oleh karena itu, dia tersenyum.

Bukan karena Kana. Bukan. Iya, bukan....

Riki mengedarkan pandangannya ke setiap titik sudut panti asuhan itu.

Banyak anak kecil yang menghampirinya menimbulkan sebuah senyum kecil di wajahnya.

“Kakak, kakak namanya siapa?” Tanya anak kecil yang mendongak ke arahnya itu.

Riki mensejajarkan dirinya dengan berjongkok. “Nama kakak, kakak Riki.”

“Kakak Iki?” Ucapnya.

Riki tersenyum gemas. “Iyaa kakak Iki.”

Dia menoleh menatap kedua temannya dengan ekspresi aneh. “Gemes banget anj—” Riki melipat bibirnya sebelum kata itu lolos dari sana.

Riki terkekeh.

Seorang wanita paruh baya menghampiri mereka dengan memapah seorang gadis yang Juan kenal.

Dia Kana.

Sean menyenggol lengan Juan yang melamun. “Gebetan?”

Juan hanya membalas dengan tatapan malas yang malah mengundang ejekan dari Sean dan Riki.

“Pantesan, gue bingung kenapa Juan tiba-tiba pengen kesini. Ternyata.” Bisik Riki agak keras sengaja agar Juan mendengarnya.

“Brisik anjing.” Balas Juan dengan suara yang dikecilkan sebisa mungkin.

“Saya ibu Lina, yang ngurus panti nak.”

Sean mengambil tangan ibu Lina menciumnya sopan dan disusul Riki dan Juan.

“Nak Juan kan? Yang kemarin anterin Kanaya pulang?” Tanya Ibu Lina saat menatap Juan.

Juan mengangguk.

“Makasih ya nak udah bantuin Kanaya.”

“Sama-sama bu, bukan apa-apa juga kok cuma nganterin aja.”

Ibu Lina tersenyum. “Ibu masuk dulu kalau begitu, Kanaya temenin mereka dulu ya? Ibu mau buat minuman.”

Kanaya mengangguk. “Iya bu.”

“Hai Kanaya, gue temennya Juan.” Riki mengulurkan tangannya. “Gue Riki.”

Gadis itu tersenyum ramah tanpa membalas uluran tangan dari Riki dia menjawab. “Panggil Kana aja ya Ki.”

Riki mengangkat kedua alisnya menatap Sean bingung.

Mereka berdua beralih menatap Juan.

Juan hanya memberikan jawaban dengan menggerakkan tangannya yang bisa langsung mereka mengerti.

“Kalo gue Sean.”

“Halo Sean.” Sapa Kana membuat Sean tersenyum.

“Kakak Naya, kakak ganteng ini siapa?” Tanya seorang gadis yang tadi menanyai Riki.

“Ini kakak Iki.” Jawab Riki.

“Bukan kakak Iki, tapi kakak ganteng ini.” Gadis kecil itu menggeleng lalu menunjuk Juan yang mengundang gelak tawa mereka. Kecuali Riki tentunya.

“Kakak namanya Juan.”

“Ooo Kakak Juju. Kalo ni?” Tanya nya kembali menunjuk Sean.

“Aku kakak Sean.”

Gadis kecil itu mengangguk. “Kakak Iki, kakak Ean, Kakak Juju. Pacarnya Kakak Naya yang mana?”

Mata Kanaya membulat. “Sayang, kakak Naya gapunya pacar. Gaboleh pacaran dulu, belum gede.”

Jawaban Kanaya membuat Riki dan Sean terkikik meledek Juan sedangkan gadis kecil itu merenggut sedih.

“Yauda aku pergi dulu, kalo balik lagi kakak Naya harus punya pacar ya.” Gadis kecil itu terkikik lalu berlari menjauh.

“Lucu banget, namanya siapa Kana?” Tanya Riki.

“Namanya Lila.”

Riki mengangguk.

Mereka menghabiskan sore dengan gelak tawa akibat lelucon dari Riki.

Juan hanya mengamati Riki yang jahil yang akhirnya bisa berbaur dengan anak panti dan bermain bersama dengan Sean.

Dia menatap gadis di sebelahnya yang tersenyum.

“Kok lo senyum senyum sendiri?”

“Aku seneng, anak-anak bisa ketawa puas banget. Meskipun aku gabisa liat, aku tau mereka pasti seneng banget main sama Riki sama Sean.”

Juan mengangguk. Lagi-lagi gadis ini membuatnya penasaran.

“Kana senyum dikit, gue fotoin ya.”

Kana mengangguk senang dan tersenyum lebar membuat matanya menyipit.

“Yeu Juan malu-malu kucing lu ye.” Protes Riki saat melihat Juan tak masuk dalam frame.

Juan tidak menjawab, hanya mengacungkan jari tengah.

010

Riki mengedarkan pandangannya ke setiap titik sudut panti asuhan itu.

Banyak anak kecil yang menghampirinya menimbulkan sebuah senyum kecil di wajahnya.

“Kakak, kakak namanya siapa?” Tanya anak kecil yang mendongak ke arahnya itu.

Riki mensejajarkan dirinya dengan berjongkok. “Nama kakak, kakak Riki.”

“Kakak Iki?” Ucapnya.

Riki tersenyum gemas. “Iyaa kakak Iki.”

Dia menoleh menatap kedua temannya dengan ekspresi aneh. “Gemes banget anj—” Riki melipat bibirnya sebelum kata itu lolos dari sana.

Riki terkekeh.

Seorang wanita paruh baya menghampiri mereka dengan memapah seorang gadis yang Juan kenal.

Dia Kana.

Sean menyenggol lengan Juan yang melamun. “Gebetan?”

Juan hanya membalas dengan tatapan malas yang malah mengundang ejekan dari Sean dan Riki.

“Pantesan, gue bingung kenapa Juan tiba-tiba pengen kesini. Ternyata.” Bisik Riki agak keras sengaja agar Juan mendengarnya.

“Brisik anjing.” Balas Juan dengan suara yang dikecilkan sebisa mungkin.

“Saya ibu Lina, yang ngurus panti nak.”

Sean mengambil tangan ibu Lina menciumnya sopan dan disusul Riki dan Juan.

“Nak Juan kan? Yang kemarin anterin Kanaya pulang?” Tanya Ibu Lina saat menatap Juan.

Juan mengangguk.

“Makasih ya nak udah bantuin Kanaya.”

“Sama-sama bu, bukan apa-apa juga kok cuma nganterin aja.”

Ibu Lina tersenyum. “Ibu masuk dulu kalau begitu, Kanaya temenin mereka dulu ya? Ibu mau buat minuman.”

Kanaya mengangguk. “Iya bu.”

“Hai Kanaya, gue temennya Juan.” Riki mengulurkan tangannya. “Gue Riki.”

Gadis itu tersenyum ramah tanpa membalas uluran tangan dari Riki dia menjawab. “Panggil Kana aja ya Ki.”

Riki mengangkat kedua alisnya menatap Sean bingung.

Mereka berdua beralih menatap Juan.

Juan hanya memberikan jawaban dengan menggerakkan tangannya yang bisa langsung mereka mengerti.

“Kalo gue Sean.”

“Halo Sean.” Sapa Kana membuat Sean tersenyum.

“Kakak Naya, kakak ganteng ini siapa?” Tanya seorang gadis yang tadi menanyai Riki.

“Ini kakak Iki.” Jawab Riki.

“Bukan kakak Iki, tapi kakak ganteng ini.” Gadis kecil itu menggeleng lalu menunjuk Juan yang mengundang gelak tawa mereka. Kecuali Riki tentunya.

“Kakak namanya Juan.”

“Ooo Kakak Juju. Kalo ni?” Tanya nya kembali menunjuk Sean.

“Aku kakak Sean.”

Gadis kecil itu mengangguk. “Kakak Iki, kakak Ean, Kakak Juju. Pacarnya Kakak Naya yang mana?”

Mata Kanaya membulat. “Sayang, kakak Naya gapunya pacar. Gaboleh pacaran dulu, belum gede.”

Jawaban Kanaya membuat Riki dan Sean terkikik meledek Juan sedangkan gadis kecil itu merenggut sedih.

“Yauda aku pergi dulu, kalo balik lagi kakak Naya harus punya pacar ya.” Gadis kecil itu terkikik lalu berlari menjauh.

“Lucu banget, namanya siapa Kana?” Tanya Riki.

“Namanya Lila.”

Riki mengangguk.

Mereka menghabiskan sore dengan gelak tawa akibat lelucon dari Riki.

Juan hanya mengamati Riki yang jahil yang akhirnya bisa berbaur dengan anak panti dan bermain bersama dengan Sean.

Dia menatap gadis di sebelahnya yang tersenyum.

“Kok lo senyum senyum sendiri?”

“Aku seneng, anak-anak bisa ketawa puas banget. Meskipun aku gabisa liat, aku tau mereka pasti seneng banget main sama Riki sama Sean.”

Juan mengangguk. Lagi-lagi gadis ini membuatnya penasaran.

“Kana senyum dikit, gue fotoin ya.”

Kana mengangguk senang dan tersenyum lebar membuat matanya menyipit.

“Yeu Juan malu-malu kucing lu ye.” Protes Riki saat melihat Juan tak masuk dalam frame.

“Suka-suka gue lah.”

Kana mengernyitkan dahinya, mempertajam pendengarannya.

Dia mendengar sebuah tangisan tak jauh dari tempatnya berdiri. Iya, meski Tuhan tidak memberinya kesempatan untuk melihat tetapi dia diberi anugerah dengan indra yang lain yang lebih peka.

Dia melangkahkan kakinya dengan hati-hati. Kana memang sengaja tak memakai tongkat agar dia tidak dikasihani orang lain.

Dia menggerakkan tangannya dan tak sengaja mengenai seseorang.

Orang yang merasakan sentuhan tangan Kana menghapus air matanya dan berbalik.

“Loh? Lo cewek yang kemaren gue serempet kan?” Tanya orang itu.

Kana tersenyum, dia mengenali suara itu.

“Iya, kamu ngapain disini?” Kana melangkah memutari bangku taman dan duduk disebelah Juan. Ya, dia adalah Juan.

“Cari angin.” Jawab Juan singkat.

Tiba-tiba tangan Kana terangkat meraih pipi Juan.

Jari lentiknya mengusap beberapa kali disana. “Bohong, kamu nangis kan?” Cercah Kana saat merasakan pipi Juan yang basah karena bekas air mata.

Juan mengerjap, menatap mata coklat milik Kana yang terlihat sangat indah meski dengan kekosongan yang terlihat disana.

Juan menghela napas, menurunkan tangan Kana.

“Eh maaf, aku ga bermaksud lancang.” Gadis itu menunduk bersalah.

“Gapapa, gue agak kaget aja. Baru kali ini gue ketauan nangis sama orang.”

Hati Kana mengenyuh. “Kamu ada masalah?”

Juan menggeleng. “Gapapa.”

Kana tersenyum, dia paham. Lelaki di sampingnya ini pasti tidak percaya untuk mengeluh kepada orang baru yang tiba-tiba saja bertanya perihal masalah yang dialaminya.

“Apapun itu, kamu pasti bisa lewatinnya. Percaya deh, akan selalu ada hikmah dibalik semua yang terjadi. Everything happens with a reason.” Ucap Kana dengan sebuah senyuman.

Setelah bertahun-tahun mama Juan pergi akhirnya dia melihat lagi sebuah senyuman tulus yang menenangkan hatinya.

“Ohiya, gue Juan. Juan Ivander.” Tangan Juan terulur.

“Aku Kanaya Belvana, panggil Kana aja.” Jawab Kanaya masih dengan senyuman di wajah cantiknya.

Juan memiringkan kepalanya, menarik tangannya yang tadi menunggu sambutan dari tangan gadis itu. Dia lagi-lagi lupa bahwa Kanaya tidak bisa melihat.

“Lo ngapain disini?”

“Aku emang sering kesini kalau sore, kamu nyerempet aku kemaren kan disini juga.” Kana terkekeh mengingat kejadian beberapa hari yang lalu.

Juan meringis. “Sorry.”

Kana tertawa. “Gapapa kok.”

Lagi, Juan terpaku melihat tawa Kanaya. Bagaimana bisa gadis itu bisa tersenyum dan tertawa tanpa beban bahkan saat keadaannya yang seperti sekarang?

Juan penasaran, pernahkah gadis itu mengeluh dan merasa lelah hingga rasanya ingin menyerah dengan kehidupan?

Apakah setiap malam Kana menangisi kehidupan tidak adil yang diberikan Tuhan kepadanya?

Juan merasa kecil di dekat gadis ini.

“Kamu ini, anak sekolah ya?” Tanya Kana.

Juan mengangguk dengan spontan. “I-iya, SMA.”

“Seru pasti ketemu orang sebaya kamu.”

Juan tersenyum. Engga juga.

“Eh udah hampir gelap, gue anterin balik ya?”

“Gapapa? Ga ngerepotin kan?”

“Engga.”

Kana kembali tersenyum. “Yaudah, makasih ya Juan.”

Juan mendecak kesal saat dirinya terlempar dari motor karena menghindari seorang gadis yang entah darimana berada di tengah jalan sehingga dia harus membanting dirinya sedikit lebih ke kanan.

Namun karena terlambat menghindar gadis itu juga terserempet motor Juan.

Juan semakin kesal ketika hp nya bergetar beberapa kali memperlihatkan notifikasi dari temannya. Dia mengetik pesan balasan dengan cepat lalu kembali menatap gadis yang masih duduk itu.

“Lo gimana sih?! Mata lo dimana?! Nyebrang sembarangan bikin orang jadi celaka tau ga?”

“Maaf, aku emang gabisa liat.” Ucap gadis itu pelan.

Juan membulalakkan matanya, melipat bibirnya karena merasa bersalah.

“Eh sorry, gue gatau. Sini gue bantu.” Juan meraih tangan gadis itu membantunya berdiri.

Gadis itu meringis, lututnya perih karena tergores aspal.

“Lo bisa jalan ga? Gue bawa kerumah sakit deh ya?” Risau Juan.

Gadis itu menggeleng. “Gapapa, tapi kalo kamu ga keberatan bisa bawa aku pulang aja?”

Juan mengangguk seakan gadis itu bisa melihatnya. “Tunggu.”

Juan mengambil motornya, menuntun gadis itu untuk naik. “Bisa ga?”

“Iya bisa.”

Setelah gadis itu naik, Juan melajukan motornya menuju alamat yang disebutkan gadis itu.

  • cipbfip

Sunghoon berlari menyusuri koridor rumah sakit bersama Jay hingga matanya menangkap Jake yang tengah duduk memegang kepalanya.

“Jake.” Yang dipanggil mengangkat kepala dan dengan cepat memukul Sunghoon dengan tinjunya.

Serangan Jake yang tiba-tiba membuat Sunghoon tersungkur.

“Jake tahan.” Jay menengahi mereka agar perkelahian tidak berlanjut.

Jake memundurkan langkahnya, dia terduduk di lantai membuat kedua temannya itu menatapnya bingung.

Merasa ada yang tidak beres membuat Sunghoon meraih kerah bajunya.

“Jake, Elsa mana?!”

“Hoon sabar, ini rumah sakit.” Sela Jay mencoba menarik Sunghoon.

“Jake jawab!” Suara Sunghoon kian meninggi saat air mata Jake menetes tiba-tiba.

“Puas kan lo?” Sunghoon mengernyit. Genggamannya di kerah baju Jake melonggar.

“Selama ini Elsa ngelakuin semuanya buat lo Hoon. Meskipun udah gue tolol-in berkali-kali, gue bego-begoin dia tetep gamau dengerin gue dan masih milih buat jalanin rencana goblok lo itu. Apa? Couple in public, besfriend in private?

Jay mengernyit mendengar perkataan Jake. “Hah? Maksudnya gimana?”

Jake tertawa. “Sorry Jay, lo jadi satu-satunya pihak yang gatau apa-apa. Kalo bisa milih, gue juga bakalan milih buat gatau kesepakatan brengsek temen lo ini.”

Jake menatap Sunghoon yang menunduk. “Awalnya gue marah, marah banget. Gue sampe pengen bikin lo babak belur karen perlakuin Elsa kayak gini, lo ga ngehargain perasaan dia. Dia sesayang itu sama lo anjing! Dia rela ngelakuin apa aja biar bisa di samping lo biar ga dideketin cewek ganjen, tapi lo bahkan ga ngelakuin apa yang seharusnya Elsa dapetin. Perlindungan.”

Sunghoon mengangkat kepalanya. Dia tau benar apa yang dimaksud Jake, kesepakatannya dengan Elsa.

Tapi, apa yang dikatakan Jake memang tidak salah. Dia yang salah sejak awal, harusnya dia lebih berani dan bisa berpikir lebih dewasa bukan malah menempatkan Elsa— gadis yang ia sayangi di posisi yang membuatnya merasakan sakit.

“Lo temen dia dari lima tahun lalu, tapi gue tanya Hoon. Lo tau apa tentang Elsa? Gada kan? Lo tau ga bokapnya balik lagi mukulin dia? Makanya dia ngilang, ngejauh dari lo karena dia mau ke Jepang nyusul ibunya besok tapi takdir berkata lain. Hari ini dia niat buat selesein semuanya sama lo, dan Jenny yang ternyata ngajak dia ketemuan.” Jake mengeluarkan hapenya, memperlihatkan chat yang diketik Elsa sebelum dia kecelakaan.

Sunghoon membacanya dengan seksama, air matanya mengalir. Jantungnya berdetak sangat kencang.

“Tapi setelah gue baca ini, gue kasian sama lo. Seenggak pengennya lo kehilangan dia sampe lo nyakitin dia kayak gini. Lo brengsek. Gue bahkan belum bilang sama Elsa kalo gue sayang sama dia Hoon, bahkan di saat terakhirnya dia masih pengen ketemu sama lo.”

Sunghoon menatap Jake. “Elsa mana Jake.”

Jake menggeleng, tangisannya menjadi-jadi.

“Gada, lo telat. Elsa udah pergi.”

Badan Sunghoon menegang, pikirannya seakan kosong.

“Lo bohong kan? LO BOHONG KAN? ELSA GAMUNGKIN.. GAMUNGKIN DIA NINGGALIN GUE!” Sunghoon berdiri, dia tidak bisa menerima kenyataan ini.

Dia bersikap seperti orang brengsek selama ini agar Elsa tetap di sisinya, bukan seperti ini.

“Engga..”

“Hoon, lo mau kemana?” Jay menarik lengan Sunghoon.

“Elsa Jay, Elsa.” Racau Sunghoon hingga dia merasa kepalanya berat dan nafasnya tercekat.

Penglihatannya menghitam.