declipsee

Mahen berlari mengejar seorang wanita yang berpakaian serba putih itu.

“Mama?”

Wanita itu berbalik saat tangan Mahen menyentuh bahunya.

Wanita yang dia sebut mama itu tersenyum.

“Ma? Mama mau kemana?”

“Sayang, mama udah gabisa ada disini. Disini bukan tempat mama.”

Mahen menggeleng. “Engga, ma tolong temenin Mahen ma.”

Wanita itu mengelus lembut kepala Mahen.

“Kamu sudah ada pengganti mama kan? Sana, kembali dan jaga dia, dia butuh kamu.”

Wanita itu berbalik dan berjalan menjauh tak menghiraukan panggilan Mahen.

“MAMA!” Mahen membuka matanya. Peluh membasahi sekujur tubuhnya membuat napasnya terengah.

Cuma mimpi.

Mahen menatap dirinya di cermin. Dia tampak kacau. Sepekan dia luntang-lantung mencoba mengembalikan kewarasannya namun nihil. Dia bahkan tak bisa lagi melihat sebuah cahaya yang akan menuntunnya keluar dari masalah ini.

Selama ini, gadis yang selalu menjadi bagian dari hari-harinya, gadis yang tanpa sengaja masuk ke dalam hatinya bahkan gadis yang sempat dia cium itu adalah adiknya.

Kenyataan macam apa ini? Pikir Mahen.

Suara berisik di kepalanya menuntun Mahen berandai-andai.

Andai saja hari itu dia tidak menolong Agatha dari sentuhan lelaki kurang ajar.

Andai saja Jaevan tidak memberi Agatha nomornya.

Andai saja dia tidak dalam keadaan terdesak yang mengharuskannya mengiyakan tawaran Agatha untuk menjadi bodyguard.

Mahen meninju tembok di sebelahnya yang tanpa sadar memberi memar di tangannya.

Dia mengingat satu nama, Hendra. Andai saja rivalnya itu tidak menjebaknya hari itu, maka dia tidak akan terjebak di kantor polisi dan akhirnya bertemu Agatha.

Mahen berdiri menyambar jaketnya lalu mengendarai motornya menuju ke suatu tempat.

Sagara masuk ke dalam flat tempat Agatha berada, disana sudah ada Kafka dan Jaevan.

“Ga, Mahen mana?” Tanya gadis itu menarik-narik jaket Sagara.

Putra Evans itu kini bingung harus mengatakan apa kepada Agatha.

Dia menatap Kafka membisikkan sesuatu membuat Jaevan menatap mereka bingung.

“Kalian kenal?”

Kafka hanya tersenyum canggung sedangkan si Putra Evans mengangguk.

Jaevan merasakan sesuatu yang aneh namun merasa sekarang bukan saatnya untuk bertanya macam-macam. Prioritas mereka sekarang adalah menghubungi Mahen dan membujuk lelaki itu agar kembali dan memikirkan jalan keluar dari masalah yang bahkan Jaevan saja belum tahu masalahnya apa.

“Mahen manasih?” Agatha sejak tadi panik menanyakan keberadaan lelaki itu.

Lelaki yang bilang bahwa dia akan mendapat izin dari Sagara dan memberikan kejelasan tentang hal yang mereka simpan sejak beberapa waktu terakhir. Hal itu menjadi semakin kuat sejak mereka akhirnya tinggal bersama di flat Jaevan ini.

Demi Tuhan, Agatha tidak pernah sepeduli ini kepada orang lain sebelumnya. Hanya lelaki itu, Nathan Mahendra.

“Jae, Mahen ada misi?”

“Ta, dengerin dulu.”

“Gamau, gue harus dengerin apa? Dia bilang gue gausah nunggu dia what the heck is going on?!!!” Suara Agatha mulai meninggi membuat Sagara mencoba memeluknya namun di tepis.

Don't fucking touch me, just go and find Mahen for me.She said, a liquid are in her eyes getting ready to shed.”

Agatha berbalik meninggalkan ketiga lelaki itu dan membanting pintu kamarnya.

Jaevan menghela napas. Dia kemudian menatap Kafka dan Sagara.

“Ada apa sih? Ka? Lo tau sesuatu kan? Kok gue gapernah tau lo kenal sama Sagara?”

“Duduk dulu, gue jelasin.” Ucap Sagara yang mendudukkan dirinya di sofa diikuti Kafka dan Jaevan.

“Jadi, Kafka ini temen gue. Gue sama dia lagi dalam misi membongkar semuanya.”

Jaevan mengernyit. “What 'membongkar semuanya' means?

“Lo tau golden nya si Mahen kan?”

Jaevan mengangguk.

“Nah itu Kafka.”

Seketika rahang Jaevan terjatuh mendengar hal itu. Jadi, selama ini orang dibalik golden itu adalah temannya sendiri yang entah darimana bekerja bersama Sagara, putra Evans.

“Tapi kenapa? Golden kan, ga. Maksud gue si Kafka nyuruh Mahen buat bales dendam, ke Evans. Keluarga lo?”

Sagara mengangguk paham. “Gue muak sama kelakuan nyokap. Dia dengan bantuan Jayden udah banyak ngorbanin orang ga bersalah.”

Kafka dan Jaevan masih tetap diam, menunggu penjelasan dari Sagara.

“Selain nyokapnya Mahen, nyokap gue juga udah ngelakuin banyak hal buruk dan hal yang ga gue sangka, bokap gue cuma diam selama ini padahal dia tau. Gue tau itu dari perawat yang ngasuh gue dari kecil. Apalagi nyokap Mahen, gue ngerasa bersalah banget soal itu. Awalnya gue sendiri yang pengen ngebongkar semuanya, tapi tiba-tiba Mahen akhirnya masuk dengan sendirinya di keluarga gue dan gue tau dia punya alasan buat ngelakuin itu apalagi pas gue tau kalau ternyata Kafka temenan sama Mahen. Its make everything easier kan? Makanya gue nyuruh Kafka jadi golden but i don't think he did well” Sagara menghela napas. Bekerja dalam diam untuk membongkar kejahatan keluarganya sendiri adalah hal yang tidak mudah. Awalnya dia ingin menyerah, tetapi setelah Agatha kembali bersama Mahen membuat dirinya merasa semakin malu. Apalagi saat dia tahu bahwa ibunya serta Jayden- saudara kandungnya mencoba mencelakai Agatha. Oleh karena itu, dia merancang semua ini.

Kalian tau? Punya keluarga kaya bukanlah segalanya. Sagara lebih memilih hidup seperti orang biasa daripada harus lahir di tengah keluarga yang seperti ini.

“Terus si Mahen kenapa?”

“Mahen ga sengaja denger tentang kebenaran lain tentang nyokapnya.”

“Apa?”

“Dia denger, kalo...” Sagara menatap pintu kamar Agatha dan mendekat ke arah Jaevan memelankan suaranya agar gadis itu tidak mendengar apa yang mereka bicarakan.

“Agatha, ternyata anak nyokapnya Mahen.”

WHAT THE FUCK?!!!” Spontan Jaevan berteriak membuat Kafka membekapnya.

“Jangan berisik anjing.”

“Jadi, selama ini? Mahen suka sama adeknya gitu?”

Sagara menggeleng. “You think im a mad guy, huh? Lo tau sendiri gue juga berperan dalam kisah Mahen-Agatha ini dan lo pikir dengan tahu semua ini, gue malah usaha bikin mereka bersatu? Gue masih waras.”

So what's the thing?”

“Agatha, dia emang bukan anak nyokap gue. Tapi dia juga bukan nyokapnya Mahen. Gue pengen jelasin ini ke Mahen tapi dia udah keburu emosi terus pergi.”

“Yah bodoh sih emang Mahen mah.”

“Eh tapi meskipun Mahen balik, apa lo yakin dia bisa percaya sama cerita lo ini?”

Kafka menghela napas, dia angkat bicara kali ini.

“Makanya, gue sama Sagara dalam misi buat bawa bukti itu.”

“Apa?”

Sebuah suara membuat ketiga lelaki itu menoleh.

“Bukti apa?”

Mereka saling melempar tatapan, Sagara memberi kode bahwa Agatha tidak boleh tahu hal ini sampai mereka selesai membuat Mahen mengerti.

“Bukti kalau gue ga korupsi, Ta.” Celetuk Jaevan seadanya.

“Oh. Yaudah.” Agatha melenggang pergi meninggalkan ketiga lelaki itu.

Stupid

“Ya emang ada ide lain? Gada kan?” Bela Jaevan.

Sagara menghela napas, semoga setelah ini semua masalah akan selesai satu persatu.

FLASHBACK

Mahen melangkah dengan riang memasuki pekarangan keluarga Evans. Oh iya, sejak hari itu dia dan Sagara semakin akrab dan tak jarang dia mengunjungi kediaman Evans ini untuk mengabari Keenan kabar anak gadisnya saat Agatha sedang tertidur atau menyuruhnya membeli makanan.

Hingga saat sebuah keributan menghentikan langkahnya.

“Kamu itu emang gapernah hargain aku Keenan!” itu suara mamanya Agatha- maksudnya mama Sagara.

“Liana, tidak seperti itu.”

Mom, please stop.

“Udahlah Sagara, lo ngapain nyuruh mama stop? Emang bener kan Papa gapernah hargain mama? Dia cuma mikirin Agatha sama mamanya yang rendahan itu.”

“Jayden!” Mahen melebarkan matanya saat sebuah tamparan mendarat di pipi Jayden.

“Jaga ucapan kamu! Risa bukan wanita rendahan!”

Napas Mahen tercekat, jantungnya seakan berhenti berdetak. Risa? Risa adalah nama ibunya. Apakah Risa yang Keenan Evans maksud adalah Risa ibunya?

“Kamu yang jaga sikap Keenan! Sejak Risa si pembantu rendahan itu hadir kamu jadi berubah. Meski kamu tahu Risa baru saja kehilangan suaminya serta memiliki anak laki-laki seumuran Sagara dan Jayden tapi kamu tidak bisa menahan diri mu dan berselingkuh dengannya bahkan sampai memiliki anak haram itu, si Agatha.”

Mahen langsung membuka pintu membuat para Evans itu terkejut. Apalagi Sagara.

“Mahen?”

“Apa yang anda maksud itu, Risa? Risa Winata?”

Keenan mengerutkan kening. “Darimana kamu tahu nama lengkap Risa?”

Mahen tersenyum rahangnya mengeras. Kepalanya seaakan terbentur sesuatu, semua omong kosong itu ditujukan kepada wanita yang dia sayangi. Risa- ibunya juga Agatha-yang berarti adalah adiknya.

“Dia ibu saya.”

Mereka semua terkejut kecuali Liana yang langsung tertawa. “Lucu sekali, apakah ibumu mengirim kamu untuk bertemu adikmu yang rendahan itu?”

“Mama!” Sagara langsung mendekati Mahen namun lelaki itu mundur.

Dia menatap putra Evans itu nanar. “Mahen.”

Mahen berbalik lalu pergi menjauh menaiki motornya. Sebelum itu dia mengetikkan beberapa pesan di hpnya.

Bye Agatha, see you ya.” Ucap Kafka tersenyum pada gadis itu.

“Awas ya Ta, abis ini ada singa ngamuk.” Bisik Jaevan pada gadis itu membuatnya mendapat tatapan tajam dari Mahen.

Agatha tertawa lalu menutup pintu.

Dia berbalik, menghela napas. Akhirnya hanya tersisa mereka berdua- Mahen dan dirinya.

Netra Agatha masih terpaku oleh milik Mahen sebelum lelaki itu akhirnya memutus kontak mata diantara mereka. Agatha mendekati Mahen membuat lelaki itu mau tidak mau berjalan masuk ke kamarnya menghindari seorang Agatha.

“Lo kenapa sih?” Tanya gadis itu menarik lengan Mahen agar dia berbalik menatap Agatha.

“Mahen?”

“Yaudah, what ever.” Agatha akhirnya berbalik namun lengannya ditahan oleh Mahen.

You know nothing or just pretend huh?He ask but the girl just stare at him with blankness. Because she really doesn't know the reason why the boy in front of her act very weird. Eventho, something pop up in her mind, so she just want an answer of her question on her head.

Agatha masih terdiam.

“Ah lo mah suka gitu Ta, gue males.”

“Apasih? What are you trying to say? Go on.

Mahen menghela napas dia memegang kedua bahu gadis itu dan menatapnya lekat. “”Agatha, look at my eyes and listen what i'll say carefully. Lo selama ini ngerasa ga ada yang beda diantara kita? Gue juga gatau ini apaan but my heart start beating faster when i saw you like what the fuck this feeling about? Gue selalu kesel kalau lo lebih deket sama Jaevan terus bercanda sama dia sedangkan sama gue lo cuma marah? Males gue.”

Agatha tersenyum. “Then? What you want? Say it.

Mahen mendecak. “Masa lo gangerti?”

Gadis itu hanya mengendikkan bahu.

“Males ah.”

“Lo minta izin dulu deh sama Sagara.”

Mahen mengerutkan kening. “Kok Sagara?”

“Ya, mau gimana pun dia yang bikin gue sadar sama apa yang gue rasain ke lo.”

Mahen tersenyum jahil, tangannya terangkat mengusap bibir bawah Agatha. “Emang lo ngerasain apa, hm?”

“Orang gila.” Dorong Agatha membuat Mahen mengangguk.

“Yaudah, gue ketemu Sagara sekarang.”

Go ahead.

Mahen membuka pintu kamar Agatha dan matanya langsung menangkap gadis itu yang meringkuk dibalik selimut.

Mahen baru tau, gadis macam Agatha juga takut suara petir. Pasalnya, lihat saja kelakuan dia selama ini? Tapi ya, he knows its a phobia and he isn't suppossed to think like that and yeah, there he is right now.

Dia duduk di ujung kasur gadis itu lalu menyentuhnya membuat Agatha tersentak.

Gadis itu memunculkan kepalanya lalu melihat Mahen.

“Mahen gue takut.” Ucapnya spontan lalu mendekat ke arah Mahen lalu melingkarkan tangannya ke pinggang lelaki itu layaknya seekor anak kuncing yang berlindung karena ketakutan.

Mahen tidak pernah berpikir bahwa seorang Agatha akan terlihat sangat menggemaskan.

Tanpa sadar tangannya mengelus kepala gadis itu memberikan ketenangan.

“Gapapa, im here.

Agatha bisa mendengar suara detak jantung berpacu secepat kereta api.

Dia tidak tahu, apakah itu detak jantungnya atau milik Mahen yang juga bisa dia dengar tepat di telinganya.

Coward

How dare you?!” Ancam Agatha di dalam pelukan Mahen membuat lelaki itu mengeratkan pelukannya.

“Gausah bacot, diem aja. Gue tinggalin tau rasa.”

Agatha tersenyum, dia merasa geli karena bisa-bisanya dia tersipu karena perkataan Mahen yang biasanya akan dia lawan dengan banyak hal seperti yang biasa dia lakukan. Dia juga ikut mengeratkan pelukannya sehingga mereka berdua menghabiskan malam dengan senyum merekah tanpa tahu satu sama lain.

Dalam senyumannya itu, Mahen mengirim pesan kepada seseorang.

Jaevan menatap Agatha memelas sementara yang ditatap memberi tatapan aneh.

What's wrong with this guy?

Tiba-tiba Jaevan menarik tangannya membuat Mahen spontan berdiri.

“Agatha, maafin gue ya. Gara-gara gue lo jadi gini.”

Mahen memutar matanya malas lalu menghentak tangan Jaevan yang memegang tangan Agatha.

“Widih posesif amat.” Sindir Kafka yang sejak tadi hanya memperhatikan mereka.

“Gue kan cuma minta maaf.”

Agatha tersenyum kecil. “Gapapa kok Jae, lagian juga mau taunya gimana dan dari siapa kan gada yang berubah.”

Jaevan hanya menunduk merasa bersalah.

Mahen menarik Kafka dan Jaevan membuat mereka berdiri.

“Udah sana pulang kalian.”

“Loh? Lo gimana?”

Mahen mematung. “Y-ya disinilah?”

“Kok grogi?” Gotcha Kafka memang selalu pintar membuat kawannya itu terdiam.

“Mahen kan bodyguard gue Ka, jadi ya gapapa tinggal disini aja bareng gue.” Jawab Agatha membuat Jaevan dan Kafka cekikikan.

Kafka mendekat lalu membisikkan sesuatu kepada Mahen. “Bodyguard zone, aren't you?

“Gue pukul lo Ka.” Sedangkan Kafka hanya menjulurkan lidahnya ditambah dengan Jaevan juga membuat Mahen mendorong mereka keluar dari sana.

cw // mentioning of kiss

Agatha menghela napas, dadanya bergemuruh sejak tadi karena menahan emosinya agar tidak meledak.

Hingga saat pintu rumah pohon itu diketuk.

“Masuk aja, ga dikunci.”

Sebuah sosok muncul dari balik pintu. Sosok itu tertatih menatap Agatha pilu.

Tatapan Agatha terpaku pada sudut bibirnya yang sobek.

“Mahen.”

Lelaki itu tetap terdiam dan berhenti di depan Agatha.

Nafasnya tersengal. Dia akhirnya bisa melihat gadis itu.

Tanpa tunggu lama, Mahen menarik Agatha ke dalam pelukannya.

“Mahen.”

“Diem. Gausah bantah.” Ucapnya dingin dan menusuk.

Namun, entah kenapa mendengar itu membuat air mata Agatha mengalir.

Mahen menutup matanya, tangisan ini adalah tangisan paling pilu yang pernah dia dengar dari seorang Agatha.

Malam itu, Mahen akhirnya sadar bahwa ada perasaan yang timbul di dalam dirinya untuk gadis itu.

“Maafin Jaevan, harusnya lo tau semuanya secara baik-baik. Ga kayak gini.”

Agatha menggeleng di dada bidang milik Mahen. “Bukan salah siapa-siapa, jangan dipukul anaknya. Lagian apa bedanya sih? Sama-sama nyakitin.”

Jelas gadis itu menarik diri dan menatap Mahen lekat.

From now on, rely on me Tata.

Agatha tersenyum. “Already did it, Sir.

Mahen mengangkat tangannya mengusap bekas air mata di pipi Agatha.

Dia menatap manik indah milik gadis itu seakan tenggelam di dalamnya.

Tatapannya turun ke bibir gadis itu. Bibir manis milik Agatha yang telah dia cium sebanyak dua kali.

Dia mengusap bibir Agatha dengan ibu jarinya.

Mahen kembali menatap mata Agatha menurunkan tangannya dan memegang tengkuk gadis itu.

Agatha menatap luka sobek di sudut bibir Mahen, dia menyentuhnya membuat lelaki itu meringis.

Gadis itu tersenyum.

“Ta.”

“Hm.”

“Pengen belajar berantem ga?”

Agatha memasang ekspresi bingung.

“Katanya tongue is the strongest muscle in human's body. Wanna fight?” Tanyanya menatap bibir kecil milik gadis itu, kata 'iya' atau bahkan anggukan kecil darinya dan Mahen akan kembali merasakan betapa manisnya bibir milik Agatha.

Namun, Agatha menginjak kakinya sehingga dia melepas pelukan mereka.

“Gue capek, mau tidur.” Ucap gadis itu dan langsung mengambil posisi dibatas matras yang sudah ada disana.

Mahen menghela napas, dia duduk bersandar di dinding kayu menatap Agatha.

“Lo ga tidur?”

“Tidur bareng?”

Agatha mendecak. “Dah sana gausah tidur sekalian.”

Mahen terkekeh, dia mengamati wajah tenang milik gadis yang entah sejak kapan mengisi hatinya itu.

Harus Mahen akui, dia memang jatuh hati pada gadis ini.

flashback

Agatha memasuki rumahnya dengan langkah yang besar. Papanya yang duduk di ruang utama langsung berdiri menatap anak gadis semata wayangnya itu.

What's going on sayang?

Liana menatap Agatha teliti. Gadis itu tampak ngos-ngosan karena emosi yang dia tahan sejak tadi.

Dad, just tell me. Where is my mom?

Keenan mengerutkan kening bingung sekaligus panik. Dia menatap Liana, takut istrinya itu akan menyebabkan masalah.

“Maksudnya apa sayang? Itu mama kamu, Liana Evans.”

Agatha menggeleng. “You are a lier. Sejak aku tumbuh di Amrik, aku selalu nanya sama diri aku sendiri kenapa keluarga aku ngasingin aku sendirian di negeri orang dan cuma di rawat sama perawat. Sampai tiba hari dimana Papa bilang kalau aku udah bisa balik ke Indo aku seneng banget karena aku mikir aku bakalan ketemu keluarga aku. Papa, Mama, sama dua saudara aku yang bahkan ga mengingkan aku ada disini.”

Keenan menggeleng. Dia mendekati putrinya itu namun Agatha menepisnya.

“Papa, aku tanya sekali lagi SIAPA MAMA KU DAN DIA DIMANA?!!”

PLAK

“Anak kurang ajar!” Agatha tersenyum saat pipinya terasa sangat panas karena tamparan dari mama— bukan Nyonya Liana Evans.

Mendengar keributan membuat Sagara dan Jayden berlari keluar melihat apa yang terjadi.

Tak seperti Jayden yang tenang, Sagara mencoba meraih lengan Agatha namun sekali lagi dia menepisnya.

“Jangan sentuh gue bajingan. Lo gausah bersikap baik, lo bahkan bukan saudara yang berasal dari rahim mama gue. Stop sok peduli.”

Liana mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah.

“Bau apa ini?” Dia menatap Agatha dengan tatapan jijik.

“Kamu minum-minum?” Dia menguncang bahu Agatha yang hanya menatapnya datar.

“Pa, mama macam apa yang perlakuin anaknya kayak gini? Anak cewek lagi? Tapi pantes sih, dia emang bukan mama aku. Aku sekarang sadar, kenapa Nyonya Liana Evans, Sagara, Jayden bersikap kayak gitu sama aku karena aku ga sedarah sama mereka. Mama mereka bukan mamaku, mamaku...” Agatha tertawa.

“Mamaku perempuan hina yang menawarkan diri kepada seorang Tuan Keenan Evans dibelakang istrinya dan akhirnya melahirkan aku.”

Mata Sagara membulat sempurna, rahangnya mengeras. Siapa yang memberi tahu Agatha?

“Agatha!” Tegur Keenan.

“Mamamu bukan wanita seperti itu!”

Agatha menatap Keenan dan tertawa. Saat itu juga Keenan menyesali perkataannya.

“Jadi bener kan?” Agatha kembali menatap Liana. “Jadi, Nyonya Liana. Tolong beritahu anak hina ini, siapa ibunya.”

Liana hanya terdiam, enggan menatap Agatha.

Agatha mengangguk paham. “Oke.”

Agatha berbalik menjauh dari mereka menuju pintu.

“Agatha.”

“Jangan ada yang ikutin aku kalau masih mau aku hidup, oh kalau.. tapi kayaknya gada yang berharap aku hidup ga sih?”

Ucap Agatha tepat saat dia meninggalkan kediaman Evans.

Agatha tersenyum kecil melihat Jaevan yang sedang kesal karena leluconnya ditanggapi datar oleh Kafka.

Entahlah, tapi ditengah keseruan ini dia tiba-tiba saja merindukan sosok Mahen yang pasti akan memukul belakang kepala Jaevan karena leluconnya yang garing itu.

Dia lagi-lagi tersenyum mengingatnya.

Kafka yang sedari tadi mengamati ekspresi Agatha membuka suara.

“Kenapa Ta?”

“E-eh? Ta?”

Sorry, refleks manggil Tata soalnya Mahen kalo ceritain lo make nama Tata.” Ucap Kafka terkekeh seperti tidak ada dosa.

Dia tidak tahu, perkataannya memberikan efek besar pada gadis itu. Pada apa yang dia rasakan dan apa yang dia yakini.

Dia mengambil segelas beer lalu kembali meneguknya.

“Eh Ta, udah. Jangan kebanyakan, entar Mahen marah.” Ingat Kafka yang tidak tahu bahwa toleransi alkohol Agatha lebih tinggi dari gadis pada umumnya.

“Eh anjir udah tipsy ya Ta heheheh.” Kafka mendecak, Jaevan pun sama.

“Eh Ta, kasian banget ya lo.”

Kening Agatha berkerut. “Kenapa?”

“Lo kan bukan anak kandung Liana Evans, cuma anak selingkuhan bokap lo. I feel so sorry about that ya Ta” Jelas Jaevan yang setengah mabok membuat mata Kafka melebar lalu memukul kepala kawannya refleks.

Agatha berdiri dan sengaja berjalan tertatih. “Eh gue mau pulang ya, udah berat banget kepala gue. Takut Mahen dateng terus ngomel heheheh.”

Kafka mengikuti gadis itu menawarkan sebuah antaran.

“Gue anter ya Ta?”

Agatha menggeleng. “Gausah, gue ada sopir kok.”

Kafka menghela napas dan hanya mengantar gadis itu hingga ke mobil.

Dalam hati, Kafka sangat cemas kalau-kalau gadis itu mendengar ucapan si tolol Jaevan.

Tetapi dengan keadaan seperti itu Kafka berpikir mungkin Agatha tidak akan mengingatnya, namun dia salah. Agatha masih sadar, dia tau dan mengerti maksud Jaevan.

“Yang cepet ya pak sampe rumah.” Ucapnya pada sopir lalu memejamkan matanya sejenak.

Sagara menatap Agatha yang juga menatapnya datar.

Di kamar rawat Agatha sekarang hanya ada dia dan Sagara sehingga entah mengapa rasa kesal menguasai dirinya.

“What are you looking at, fucker?” Tanya Agatha membuat mata Sagara membulat.

“Eh anjing, biasa aja dong. Gada syukur banget lo udah gue jagain juga.”

Agatha memutar bola matanya malas sesekali menatap ke arah pintu menunggu kedatangan Mahen.

Sagara yang paham itu langsung menghela napas menyandatkan punggungnya di sofa.

“Suka kan lo sama Mahen?”

Pertanyaan itu seakan terdengar seperti sambaran petir. Agatha berusaha menulikan pendengarannya, mengabaikan lelaki itu. Namun, jangan lupa mereka adalah Evans. Ego dan harga diri mereka sangat tinggi. Tak mungkin Sagara akan membiarkan Agatha mengacuhkannya begitu saja.

“Gue liat semuanya Agatha, lo gajawab juga gapapa. Because quite means yes.

“Anjing.”

“Kalo marah juga artinya iya sih, soalnya kalo engga lo gaperlu panik sampai lo harus spontan cursing karena kesel gitu. Lo ngerasa ketauan kan?” Sagara menyeringai, dia tau Agatha pasti memakinya di dalam hati.

“Kalo masih belum yakin, sini deh gue kasih tau. Lo pernah ga, ngebayangin kalo misalnya lo ga ketemu Mahen kayaknya hari-hari lo di Indo bakalan beda banget?”

Agatha mengerutkan keningnya. Dia tidak pernah memikirkan itu, terlalu buang-buang waktu.

“Kalo engga berarti lo emang suka sama Mahen.”

What the fuck, teori darimana anjing.”

“Karena bahkan hari-hari tanpa dia aja ga pengen lo bayangin kan?”

Nice catch. Sagara tersenyum.

“Lo udah bergantung sama dia dan tanpa sadar hal itu ngebuka ruang di hati lo.”

“Bener ga?”

“Apa yang bener?” Mata Agatha membulat saat Mahen tiba-tiba datang tanpa mereka sadari.

Sagara tersenyum puas melihat ekspresi Agatha yang kebingungan.

“Anu, itu.. Gue cantik kata Sagara.” Sagara menatap Agatha dengan alis terangkat mengejeknya membuat Agatha menatapnya tajam.

“Dih? Tumben lo?” Mahen mengalihkan pandangan ke arah Sagara.

“Ya emang salah? Orang adek gue kok, guenya aja cakep gini ya pasti lah adek gue cakep juga? Kenapa lo? Cemburu?”

Agatha semakin membulatkan matanya mengancam lelaki menyebalkan itu agar tutup mulut.

“Apaan dah.” Mahen menggeleng melihat kelakuan Evans ini. Makin hari dia mereka makin menunjukkan keanehan.